web analytics
Rekonsiliasi Harga Mati

Rekonsiliasi Harga Mati

“Jika Negara Dibangun dalam Situasi Rapuh, Segalanya Proses Ke Depannya Pasti Akan Rapuh”

Upaya rekonsiliasi terkait kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lalu harus dipandang secara luas, artinya tidak semata melihat kepada penderitaan korbannya saja. Rekonsiliasi bisa dilihat sebagai pilar pembangunan Indonesia ke depannya.

“Jika tidak dimulai dari sekarang, tidak menutup kemungkinan ke depannya akan muncul percikan-percikan persoalan”, demikian ujar Guntur Narwaya, Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), dalam kesempatan wawancara dengan BPPM Mahkamah, di sela-sela kegiatan Bedah Buku “Berpijak di Dunia Retak” dan Peluncuran Website mahkamahnews.org, Sabtu (29/3) di Djendelo Koffie.

Guntur, yang juga menulis buku “Kuasa Stigma dan Represi Ingatan” tersebut, menjelaskan pula arti penting dari rekonsiliasi. “Sederhana saja, inti dari rekonsiliasi kebenaran. Artinya pengungkapan fakta itu sendiri. Hal terpenting adalah harus ada keberanian untuk mengungkap kebenaran. Selama ini sudah banyak dilakukan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia-red), tapi banyak unsur politisnya. Pendekatan kultural itu mulai sekarang harus dicoba”, tegas pria yang saat ini juga sedang menempuh  studi Doktoral Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada itu.

Dalam kesempatan yang sama BPPM Mahkamah juga mewawancarai Baskara T Wardaya, sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang kebetulan bersama Guntur Narwaya didaulat menjadi pembicara dalam Bedah Buku BPPM Mahkamah tersebut. Baskara menyatakan bahwa pada dasarnya seluruh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia di masa lalu harus dituntaskan.

“Membicarakan pelanggaran HAM berarti konteksnya adalah manusia itu sendiri. Jika kita masih mempercayai kemanusiaan menuntaskan kasus-kasus terdahulu itu harus dilakukan. Tetapi harus diambil mana dahulu yang prioritas. Realistislah, ada yang bisa ditangani dahulu, ya itu yang jadi prioritas”, kata pria yang dua tahun silam memperoleh kesempatan menjadi Fulbright Scholar in Residence di University of California-Riverside, Amerika Serikat itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.