web analytics

Taman Impian

Jalan ditutup dan dibongkar, itulah yang sekilas terlihat di sepanjang jalan antara Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), lebih tepatnya di sepanjang Jalan Sosio Humaniora. Penutupan jalan dimulai pada awal tahun ajaran baru 2014, pada bulan Agustus. Jalan tersebut rencananya akan disulap menjadi sebuah Ruang Terbuka Hijau (RTH), yaitu sebuah taman asri yang dikenal dengan nama Taman Soshum. Taman Soshum ini merupakan bagian dari proyek yang mengacu pada Wisdom Park. Wisdom Park sendiri adalah upaya penambahan RTH yang terbagi dalam tiga zona, yaitu: zona pertama adalah bagian dari lembah ke arah utara, zona kedua adalah bagian dari lembah ke arah selatan, dan zona ketiga adalah di sepanjang Jalan Sosio Humaniora. Pembuatan taman soshum sudah direncanakan dari tahun 2013, tetapi baru dapat terealisasikan pada Agustus 2014.

Taman tersebut merupakan bagian dari walkable area, di mana area itu diperuntukkan bagi pejalan kaki dan pesepeda. Namun terdapat pengecualian untuk kendaraan emergency karena masih diperbolehkan melewati area tersebut. Pembuatan taman di jalan tersebut sesuai dengan Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK) Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2005-2015. Di dalam RIPK dijelaskan visi pengembangan kampus UGM, yaitu educopolis. Educopolis adalah suatu lingkungan yang kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks pengembangan kolaborasi multidisiplin dan tanggap terhadap isu ekologi demi mencapai visi universitas[1].

Saat ini ruang terbuka yang dimiliki oleh UGM adalah 67%. Ruang terbuka ini masih terus diupayakan untuk diperluas menjadi 75%. UGM sendiri sudah melarang untuk pembangunan gedung baru di ruang terbuka. “Boleh merubuhkan bangunan lama, namun untuk membangun bangunan baru hanya dapat menggunakan 75% bagiannya”, ujar Arifah dari Bagian Perencanaan dan Pengembangan. Itu artinya ruang terbuka akan bertambah. Dari presentase tersebut, sebenarnya ruang terbuka di lingkungan UGM tidak bisa disebut kurang. Namun, ruang terbuka tidak ada artinya jika sebagian besarnya adalah tempat parkir ataupun jalan beraspal.

Lokasi taman dipilih di Jalan Sosio Humaniora (soshum) karena memang kluster soshum terlalu padat akan gedung. Selain itu, dulunya sepanjang jalan ini adalah tempat parkir mobil mahasiswa FEB. Alasan lain yang menjadi pertimbangan adalah banyaknya mahasiswa FIB yang cenderung belajar di luar kelas (ruang terbuka). Dari masing-masing pihak fakultas sendiri, yaitu FEB dan FIB sudah memiliki rencana untuk mengembangkan RTH di lingkungan fakultasnya. Akhirnya, dibuatlah taman soshum ini yang mendapat bantuan anggaran dari Kementrian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Taman yang akan dibuat di sepanjang jalan tersebut telah dirancang sedemikian rupa supaya dapat memberikan kenyamanan. “Jadi taman nanti akan menjadikan mahasiswa lebih sehat karena harus berjalan kaki. Dengan berjalan kaki kalau ketemu temennya kan bisa saling sapa. Kan dengan sehat secara fisik dan sosial, negara ini menyenangkan”, kata Ikaputra yang merupakan dosen arsitektur sekaligus sebagai Komisi Perencanaan. Selain itu, akan terwujud lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif untuk mahasiswa.

Ditanya tentang sosialisasi, Arifah mengatakan, “Sebenarnya kita itu sosialisasinya ke pimpinan fakultas”.

Pembangunan taman di Sepanjang Jalan Soshum memunculkan beragam reaksi dari mahasiswa. Pembuatan taman dapat menambah ruang terbuka hijau. Namun ada aspek lain juga yang harus diperhatikan. Dengan ditutupnya jalan tersebut, akan mengganggu akses kendaraan para mahasiswa. Mahasiswa FEB dan FIB harus memarkir kendaraan mereka di lembah, maskam, sekitar Grha Sabha Pramana (GSP), bahkan ada yang di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisipol). Dari tempat parkir tersebut mereka harus berjalan ke fakultas. Tentu saja ini akan memakan waktu yang lebih lama untuk akses ke kampus. Akibat dari mahasiswa FEB dan FIB yang memarkir kendaraan mereka di tempat-tempat tersebut, kendaraan bermotor  semakin membludak. Lahan parkir yang tersedia tetap, namun volume kendaraan bertambah. “Sebagian mahasiswa kan ada yang memarkir kendaraan di Fisipol, dikhawatirkan akan terjadi konflik antarfakultas”, ujar Agung mahasiswa FEB. Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi karena seperti yang sudah diketahui, tempat-tempat parkir memang sudah penuh.

Pendapat berbeda dari Sigit, seorang mahasiswa pascasarjana FIB, “Kalau mau melakukan penghijauan, mending memanfaatkan lahan fakultas, jangan hanya ditanami rumput doang. Selain itu, dengan membongkar jalan yang terbuat dari aspal, harus dipikirkan juga aspal-aspal tersebut akan dibawa kemana, karena aspal sendiri tidak dapat didaur ulang”. Pembuatan taman bisa dengan memanfaatkan lahan tidak terpakai di dalam lingkungan fakultas sendiri, bukan mengambil akses jalan umum seperti yang dilakukan sekarang..

Terlepas dari masalah akses kendaraan dan tempat parkir, sebagian mahasiswa juga mendukung dibangunnya RTH ini. Tujuan utama dibuatnya RTH menurut Ikaputra adalah memang agar jumlah kendaraan bermotor, khususnya di wilayah kampus itu semakin berkurang. “Dengan begitu, polusi dapat berkurang dan juga konsumsi bahan bakar minyak (BBM) berkurang. Sekarang ini kan konsumsi bbm paling banyak adalah dari sepeda motor, setiap motor menggunakan bahan bakar 0,2%”, ujar Ikaputra.

“Sebenarnya ini hanya permasalahan pola pikir mahasiswa yang harus membawa kendaraannya sampai depan kelas,” ujar Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang) Bapak Sulaiman. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh mahasiswa adalah mengubah pola pikir mereka tentang memandang suatu perubahan untuk menjadi yang lebih baik. (Daffah Ulfi Rahmatillah, Regina Nawawi)


[1] RIPK 2005-2015, hal. 55

Leave a Reply

Your email address will not be published.