web analytics

Oh, Charlie!

Oleh Moses Ompusunggu

Charlie Hebdo bikin geger dunia. Bukan tentang kartun-kartun hasil rekacipta artis-artisnya, tapi ini tentang sebuah kebiadaban. Dua belas orang pegawainya meregang nyawa di tangan Said dan Cherif Kouachi, Rabu, 7 Desember 2015 kemarin. Tentu sangat disayangkan mengapa keduanya bisa sedemikian lalap. Kebebasan berekspresi di Perancis-yang melahirkan kreativitas kelas tinggi sejak Kota Jakarta masih bernama Batavia- seperti remuk seketika dalam pertarungan yang berat sebelah. Kouachi bersaudara memanggul bedil, di sisi lain, para korban hanya berbekal pena dan buku sketsa.

Saat tulisan ini dibuat, otoritas keamanan di Perancis sedang berburu Said dan Cherif yang tersudutkan di dalam sebuah gedung di daerah Dammartin-en-Golle, Seine et Marne. Laman viva.co.id pada hari Jumat, 9 Januari 2015, pukul 18.07 waktu Indonesia, setidaknya mewartakan keberadaan tank polisi dan helikopter ambulans demi meringkus si jahat. Terlihat jelas bagaimana respon kilat pemerintah Perancis akan perkara ini, dimana sebelumnya Francois Hollande, sang presiden, telah mengizinkan aparat melakukan operasi penyergapan. Kita berdoa saja supaya bapak-bapak polisi di sana tidak berlaku kalap, karena memang ini bukan urusan jiwa-ganti-jiwa. Ini adalah sebuah pemerkosaan kepada kebebasan, meski dengan adanya penyerangan ke kantor Charlie Hebdo memang patut diramu kembali norma-norma yang menjaga kebebasan biar tak lepas bablas.

Mari kembali ke nusantara. Negeri ini seperti tak bosan diciduk para freak yang mengaku sebagai pembela nilai-pancasila-yang-paling-luhur. Atas nama agama tertentu, mereka merongrong publik dengan tindak-tanduk yang tak menunjukkan bahwa mereka bertuhan. Berdalih supaya masyarakat tak tersusupi faham-faham ekstrim, panggung intelektual (baca: kampus) mereka duduki dengan langgam bak prajurit kesiangan. Demi mempertahankan dalil sebagai pembela surga, mereka rontoki ekspresi kelompok-kelompok tertentu supaya tak lagi mulutnya mencecar.

Saat ini mereka yang tertawa paling keras. Puas karena berhasil menakuti orang-orang. Senang karena banyak kelompok masyarakat yang memilih membisu, supaya tak lagi digembosi. Seperti para penyerang Charlie Hebdo, mereka tak jelas berlabuh pada falsafah apa, atau dibisiki oleh siapa sehingga bisa begitu lepas menjadi polisi moral yang amoral. Ini telah menahun. Kebebasan berkumpul dan berpendapat, seperti yang dicita-citakan dalam reformasi, lambat laun terkikis oleh mereka-mereka yang lancung ini.

Jika di Perancis ada Charlie Hebdo, di Indonesia ada Senyap. Efek Senyap telah membuat para freak di Indonesia menjadi semakin tak tahu gentar. Joshua Oppenheimer sang sineas jadi semakin terkenal, tapi tangan-tangan para pengacau tak berhenti mengepal. Parahnya, Universitas Gadjah Mada malah memilih menjadi si penakut!

Sejak pemutaran Senyap di Fisipol sebulan silam dirisak oleh sekelompok beringas berhoodie, acara serupa setelahnya di UGM urung terlaksana. Di Fakultas Hukum, rencana pemutaran oleh seorang dosen, yang dijadwalkan pada tanggal 27 Desember 2014, menguap begitu saja. Hari ini, pemutaran yang diinisiasi oleh Mahkamah juga tak digolkan oleh pihak kampus. Di menit-menit terakhir, Mahkamah dipalangi dengan dalih “menjaga keamanan kampus dari oknum-oknum tertentu di luar sana”. Izin yang sebelumnya telah diteken oleh dekanat menjadi tak berarti, hanya karena kampus lebih berpijak pada ketakutan.

Harkat UGM sebagai mimbar intelektual yang bebas seperti tak lagi dipedulikan oleh kampus. Dwikorita Karnawati, Rektor UGM, memang mengutuk peristiwa pembubaran screening di Fisipol melalui sebuah rilisan pers. Namun ucapan-ucapannya pascaperisakan itu tak berimbas apa-apa pada penjunjungan kebebasan di dalam kampus. “Oknum-oknum tertentu” tersebut seperti dibiarkan terus rajin ke dalamnya mengendus.

Senyap memang tidak melumuri Yogyakarta dengan darah, seperti halnya Charlie pada kota Paris. Film berdurasi 98 menit itu juga tak lekas mencuci habis otak penontonnya supaya membenci rezim pelaku pembunuhan massal. Atau malah jadi bersimpati kepada marxisme dan komunisme, seperti yang menjadi rasio Forum Umat Islam kala jago-jagoan di Fisipol Desember silam. Namun karena Senyap, sang kampus kerakyatan telah bersalin rupa menjadi si kampus ketakutan.

Lagi-lagi, yang tersenyum paling cerlang adalah Forum Umat Islam, Fourm Anti Komunis Indonesia, serta Forum/front lain yang menganggap satu-satunya kebebasan adalah bebas merusak ketenangan masyarakat. Sejatinya, ini bukan lagi tentang pelarangan Senyap di UGM. Ini tentang pemerkosaan kebebasan, seperti Charlie di Paris dan Charlie-Charlie lain di luar sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published.