web analytics

Hari Teater Sedunia: Perayaan Rasa Kemanusiaan

“Tak akan ada keadilan tanpa kemanusiaan” (Yolande Mukasana)

Sanggar Kesenian APAKAH Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) merayakan Hari Teater Sedunia, Jumat (27/3). Hujan lebat memang menghambat beberapa hadirin untuk datang sesuai jadwal semula, yaitu pukul tujuh malam. Untungnya, pembawa acara tidak kehabisan kata-kata hingga para hadirin betah menunggu. Hampir pukul delapan, Justimun (Divisi Musik APAKAH) membuka acara dengan lantunan lagunya. Setelah itu, Ketua Sanggar, Ketua Divisi Teater, dan Pemimpin Produksi memberikan sambutan kepada seluruh hadirin.

 

Acara ini tidak hanya menarik perhatian mahasiswa FH UGM, tetapi juga kawan-kawan undangan dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. Para alumni Sanggar pun turut bergabung dalam kehangatan pagelaran malam itu. Keakraban yang menyeruak semakin membuat para hadirin lekat pada selasar depan sekretariat Sanggar sampai Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia.

 

Lakon pendek Puntung CM Pudjadi berjudul “Ayo” diadaptasi dengan mapan. Pendalaman peran terasa kental pada hampir semua pemeran. Pencahayaan yang bersahaja cukup mendukung ekspresi mereka. Membuka lakon dengan santai dan lincah, Justimun turut menghidupkan pementasan ini. Efek suara jenaka dan lagu-lagu memantapkan penekanan yang hendak disampaikan sutradara.

 

Panggung dikuasai dengan gemilang oleh tujuh mahasiswa FH UGM angkatan 2014. Mereka adalah Fiaruska Raynaldo, Clara Natalia, Achmad Caesar, Adinda Sekarwangi, Keiy Anugerah, Dharma Satya, dan Nicolaus Oscar. “Ini (latihannya) satu bulan, lima belas kali latihan. Hebat-hebat mereka semuanya,” ujar Febriansyah Sunarya, sang sutradara.

 

Selama sekitar setengah jam, penonton dibawa ke sebuah kampung di bawah pemerintahan kerajaan yang semena-mena. Meski telah lama sejak reformasi terjadi, lakon klasik ini masih saja menggelitik. Potret pemuda Indonesia, lagi-lagi, difokuskan pada ketidakmatangan ambisi. “Ceritanya bagus, menggambarkan masyarakat Indonesia yang cuma ngomong tapi nggak berani berbuat menegakkan keadilan,” kata Jessica, salah seorang hadirin. Memang, pesan dalam lakon ini “hanya” disisipkan secara implisit. Sebelum lakon dipentaskan, pembawa acara telah mewanti-wanti para hadirin agar memperhatikan dengan baik.

 

“Kita jangan melihat segala sesuatu dari sebelah mata saja. Ketika kita berteriak-teriak keadilan, di satu sisi pun ada hal (korban babak belur aparat negara–red) yang harus ditolong. Masyarakat jangan mudah terprovokasi,” jelas Febriansyah yang juga merupakan Ketua Divisi Teater.

 

Perayaan Hari Teater Sedunia adalah salah satu hal segar yang dilakukan APAKAH. Febriansyah berharap agar pementasan semacam ini dapat digelar rutin. “Entah tiga bulan sekali, empat bulan sekali, atau setahun sekali,” tambahnya. Semoga terwujud. Salam budaya! (Jati, Oliv)

Leave a Reply

Your email address will not be published.