web analytics
Burhan, Pengendara Motor Abadi di Kampung Lele

Burhan, Pengendara Motor Abadi di Kampung Lele

Oleh Ade Wulan Fitriana, FH UGM 2016

Sudah menjadi mitos tersendiri di Kampung Lele untuk tidak berkendara pada malam hari. Bagi yang melanggar akan meninggal secara tragis seperti Burhan.

Raden Bagus Burhanuddin Syafe’i, seorang lelaki pendiam yang hidup dalam keramaian. Ia tampan, sopan, dan cerdas. Kecerdasannya telah dibuktikan dengan hasil prestasi dan nilai yang bagus semasa kuliah. Maka tak salah, orangtuanya selalu bangga menceritakan keberhasilan anak semata wayangnya itu kepada tetangga maupun sanak keluarga.

Namun sungguh disayangkan, cerita keberhasilannya itu selalu diiringi dengan cemoohan orang-orang. Mereka mencemooh karena Burhan tidak bisa berkendara. Jangankan motor, diboncengi sepeda oleh temannya saja ia terjatuh.  Kejadian waktu SMP itu menimbulkan luka yang amat besar dan membekas. Traumalah dia hingga tidak mau belajar berkendara roda dua.

Sungguh sakit hati Burhan setiap kali ada pertemuan dengan tetangga dan keluarga. Lidah-lidah lawan bicaranya menggeliat dengan luwesnya kalau sudah membicarakan kegagalannya itu. Burhan hanya bisa tertunduk malu. Walaupun bisa mengganti topik pembicaraan, pasti pembicaraannya tentang merek-merek motor terbaru. Apalah daya, tak bisa berkendara sudah menjadi label tersendiri bagi Burhan.

Pernah sekali, Burhan dipaksa ayahnya untuk belajar bersepeda dengan keponakan-keponakan yang umurnya sepertiga dari dirinya. Malu, kesal, dan tertekan dirasakannya ketika menduduki saddle sepeda yang kecil dan keras. Pada permulaan, ia disuruh untuk melintasi jalan menurun di sekitar rumahnya. Setiap kali mencoba, ia selalu mengerem mendadak saat pertengahan. Ketika terus dipaksa untuk mengayuh, Burhan malah menangis membayangkan semua cercaan yang ia dapatkan kalau gagal. Akhirnya Burhan memutuskan untuk berhenti, pulang ke rumah, masuk kamar, dan menangis keras di balik bantal kesayangannya.

Tak disadari Burhan, ada seorang nenek tua yang melihat seluruh kejadian itu. Nenek tersebut menceritakan apa yang terjadi kepada keluarga dan beberapa orang di kampung. Dengan cepat, label Burhan sebagai orang yang tak bisa berkendara menyebar ke seluruh warga Kampung Lele. Semakin jelaslah bahwa salah satu aibnya yang terbesar telah dibuka.

 Semenjak itu, Burhan sudah tidak mau lagi mengetahui apa itu sepeda, apa itu motor, dan apa itu berkendara. Burhan selalu berjalan kaki ketika berpergian. Kalau jauh, barulah pakai kendaraan umum. Ketika ada pertemuan silaturahmi yang diadakan Kampung Lele dan keluarga, ia tidak pernah hadir. Sekalipun hadir karena paksaan orangtuanya. Lama kelamaan, hal itu menjadi kebiasaan yang mana membuatnya menjadi nyaman.

Hingga suatu hari setelah sekian lama ia tidak mengunjungi bibinya di kota, keluarga Burhan datanglah ke sana. Dalam rangka acara khitan anaknya, sang bibi khusus mengundang mereka dan membiayai semua biaya transportnya. Dengan berbagai paksaan dan bujukan manis orangtua, Burhan akhirnya luluh dan ikut ke kota.

Setelah sampai di sana, mereka berbincang-bincang mengenai kabar masing-masing. Kemudian menjerumus pembicaraan pendidikan Burhan. Seperti perbincangan biasanya yang monoton, si bibi ini sudah mulai menjurus, “Apa Burhan udah bisa naik motor?”

“Sepeda aja belum bisa!” ejek ibunya seperti biasa. Hati Burhan yang sudah lama damai serasa dihujam seribu jarum bertubi-tubi. Wajahnya merah dan nafasnya terengah-engah, “Lebih baik tidak bisa naik motor daripada tidak bisa punya anak!”

Betapa terkejutnya mereka, betul-betul pukulan keras bagi bibi dan anaknya yang kebetulan juga ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Memang, anak dari bibinya Burhan adalah hasil adopsi dari salah satu panti asuhan yang sejak bayi sudah tidak tahu orangtuanya siapa. Mendengar hal itu, orangtua Burhan sangat malu dan menyuruh Burhan untuk pulang ke rumahnya di Kampung Lele sendirian.

Selepas pulang, ia kemudian duduk di kursi halaman rumahnya. Langit sudah semakin gelap, dirinya juga sudah lelah. Di dalam keheningan, ia kembali menangis dengan rasa sedih yang amat dalam. Ia menundukkan kepala dan menutup wajahnya yang merah dengan kedua tangannnya.

“Rasanya ingin kutukar segala yang aku punya dengan kemampuan untuk bisa berkendara,” sesal Burhan.

Puas menyesal, Burhan membuka wajahnya. Pandangannya mengarah pada sepeda motor salah satu tetangganya yang sedang terparkir. Entah apa yang merasuki diri Burhan, ia mendekati motor itu dan mendudukinya. Kebetulan kunci motornya masih menggantung dengan kuat. Tanpa pikir panjang, Burhan mencoba menyalakan mesinnya dan mencoba mengendarainya.

Sungguh ajaib, motor itu ternyata dapat ditunggangi Burhan dengan lancar. Menyadari hal itu Burhan sangat senang dan tertawa lebar sepanjang jalan yang dilewatinya. Ia berteriak sekeras mungkin agar seluruh kampung tahu bahwa Burhan bisa membuang jauh-jauh label yang telah lama disandangnya. Di sisi lain, tetangga yang diambil motornya meneriaki maling Burhan. Seketika berlarian para warga laki-laki mengejarnya.

Burhan yang berkeringat dingin mempercepat motor tetangganya itu. Suasananya menjadi tak terkendali. Pandangan Burhan jadi tidak fokus, sehingga motor tersebut oleng dan akhirnya jatuh di persawahan. Wajahnya berlumuran darah segar yang bercampur lumpur sawah. Setelah diperiksa, Burhan sudah tidak bernyawa.

Setelah kejadian itu, para warga tidak ada yang berani keluar dengan menaiki kendaraan ketika matahari mulai terbenam hingga terbit esoknya. Sudah menjadi mitos tersendiri di Kampung Lele untuk tidak berkendara pada malam hari. Bagi yang melanggar akan meninggal secara tragis seperti Burhan. Terkadang walapun warga berjalan kaki, sering terlihat sosok Burhan yang sedang mengendarai motor dengan menoleh ke arah mereka. Mungkin itu adalah pelampiasan dendam Burhan yang ketika hidupnya selalu dicibir tidak bisa berkendara. Sebagai pelampiasan dendam, Burhan ingin ketika malam semuanya menjadi tidak bisa berkendara seperti dirinya ketika hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published.