web analytics

Budaya Srawung Masyarakat Yogyakarta sebagai Penekan Radikalisme

Ada sekitar dua puluh orang pemuda dan pemudi berkumpul di rumah salah satu warga kampung pada malam yang cerah itu. Mereka duduk membentuk lingkaran dengan segelas teh hangat di hadapan masing-masing, mereka datang dalam pertemuan rutin antara bulan ramadhan sampai Idul Adha dengan tuan rumah yang bergantian. Selain dalam waktu-waktu tersebut mereka juga sering berkumpul dan saling mengunjungi satu sama lain.

“Kalau dalam bahasa kami, Mas, itu disebut srawung. Ya, semacam bersosialisasi dan menjaga kerukunan bersama. Intine ben guyub lan rukun,” ucap seorang pemuda bernama Saqib dalam bahasa Indonesia dan Jawa fasih.

Lawatan saya ke Yogyakarta dimulai di Suronatan, salah satu kampung yang kental dengan budaya religiusnya. Kampung ini terletak di jantung Kota Yogyakarta. Kampung Suronatan bertetangga dengan Kampung Kauman yang merupakan kampung halaman pendiri organisasi Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Di beberapa tempat di dunia, Islam seringkali diidentikan dengan ekstrimisme dan kekerasan. Namun, sifat itu tidak terlihat di sudut kota ini.

Pemuda pemudi di sini sangat ramah dan berseri-seri seperti kebanyakan warga Yogyakarta lainnya. Mereka sangat bersemangat dan antusias ketika menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan. Sekali waktu mereka menampakkan raut muka tidak nyaman ketika saya menyinggung soal islam dan terorisme. Namun, dalam sekejap mereka tersenyum kembali .

“Itu kan cuma oknum saja, Mas. Islam di sini nggak seperti itu. Kami tidak pernah diajarkan kekerasan,“ kata Saqib yang juga merupakan ketua Himpunan Mahasiswa Sosiatri Universitas Gadjah Mada.

Kemudian saya bertanya bagaimana jika ada salah satu orang yang ternyata berpikiran ekstremis. Mereka lalu mangatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin karena mereka selalu srawung. Kata itu seakan akan menjadi kunci dalam mencegah permasalahan di di lingkungan mereka termasuk juga penyebaran paham radikalisme.

Saya dibawa menyusuri gang-gang sempit kampung ini menuju  Kauman.  Kami melewati deretan lampu jalan klasik yang menyala kuning dan rumah-rumah tua yang masih menampakkan gaya arsitektur kolonial dengan jendela besarnya, menuju sebuah tempat berdirinya monumen perjuangan. Monumen ini disebut Monumen Syuhada Fisabilillah. Letaknya berada di dekat Masjid Agung Kauman, pusat kegiatan spiritual Keraton Yogyakarta sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Monumen ini terbuat dari batu hitam yang tingginya mencapai sekitar dua meter. Di monumen ini terukir nama-nama penduduk  yang gugur saat berjuang memprtahankan kemerdekaan dari tahun 1945 sampai 1949.

Mohammad Daroki merupakan satu diantara puluhan nama yang terukir di sana. Ketika dijelaskan mengenai latar belakang dibangunnya monumen itu, saya dapat merasakan betapa bangganya masyarakat di sini akan sejarah kampung mereka dan heroisme pejuang-pejuang zaman dahulu. Saqib menceritakan bahwa perjuangan para pahlawan adalah perjuangan demi tanah air melawan tirani penjajah yang ingin menguasai Indonesia. Pada masa revolusi, tokoh-tokoh agama dan ulama sering mengatakan bahwa perjuangan mempertahankan tanah air sama dengan membela agama dan berjihad di jalan Allah. Hal tersebut dilakukan untuk membakar semangat para pejuang. Mereka seakan ingin menunjukkan kepada saya tentang pemahaman jihad yang lebih mulia.

“Jangan dikira kami yang hidup di sini tidak pernah berjihad, Mas. Dulu, kakek-nenek kami rela mati demi membela agama dengan mengusir londo-londo itu dari Indonesia,” terang Saqib.

Tradisi sebagai perekat Kesatuan

Tujuh belas kilometer dari Suronatan, saya tiba di sebuah desa bernama Drono yang terletak di kabupaten Sleman. Letaknya tak jauh dari komplek kantor pemerintah kabupaten. Di sekitar wilayah tersebut masih berjajar deretan sawah milik warga sekitar. Saya disambut di rumah salah seorang penduduk desa yang juga kawan lama saya bernama Agma atau  El Capitano, panggilan akrabnya. Seperti yang telah saya duga sebelumnya, saya disambut dengan kopi dan rokok kretek. Dua kombinasi tersebut merupakan sambutan hangat khas warga Nahdliyin.

Agma menceritakan kepada saya tentang berbagai macam tradisi yang ada di desa ini, sama seperti kampung yang sebelumnya saya kunjungi di sini masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kerukunan melalui budaya srawungnya. Di sini setiap warga desa sangat terbuka satu sama lain, tidak ada orang yang berusaha menjauhkan dirinya dari lingkungan atau menjadi anti sosial. Salah satu tradisi unik yang saya jumpai di sini adalah adanya tradisi genduren atau di beberapa daerah disebut kenduri.

Tradisi genduren ini sering ditemui di daerah daerah yang masih mempertahankan budaya lokal. Bentuk dari tradisi ini adalah perayaan peristiwa tertentu dengan mengundang para pria dan pemuda di kampung untuk berdoa bersama. Biasanya, acara tersebut dibarengi dengan pembagian makanan untuk dibawa pulang ke keluarga masing-masing. Peristiwa yang diperingati pun sangat beragam, mulai dari pernikahan, khitanan, hingga peringatan meninggalnya seseorang. Agma bercerita bahwa baru tiga hari yang lalu diadakan Genduren untuk memperingati tujuh bulanan salah satu warga desa.

“Peristiwa yang bisanya diperingati dengan genduren itu banyak sekali, malah sepertinya sudah jadi semacam kewajiban warga yang punya hajatan karena kalau tidak diadakan ya sabenarnya tidak ada sanksi apa-apa tapi cuma dirasani.”

Di desa ini, tradisi genduren tidak hanya dilaksanakan untuk memperingati peristiwa dari masyarakat dengan agama tertentu saja. Namun, setiap orang dengan latar belakang agama apapun dapat menyelenggarakan genduren.

“Awal tahun ini saya pernah diundang di acara genduren saat ada orang meninggal. Akan tetapi, yang meninggal orang Nasrani. Jadi, kita di sini yang memakai cara Hindu dan mendoakan dengan cara Islam.” Salah seorang warga bernama Orlando berkata kepada saya sembari tertawa kecil.

Ketika seluruh warga desa mempunyai keterikatan dengan budaya seperti itu, tentu dapat memberikan manfaat sendiri bagi lingkungan mereka. Tradisi genduren yang saya temui di sini bisa menjadi contoh simpul perekat yang baik antar masyarakat. Hal tersebut bisa menjadi alat kontrol sosial melalui adanya interaksi yang didasari dengan nilai kebersamaan, yang sudah jarang ditemui di kota-kota besar yang masyarakatnya semakin apatis satu sama lain.

Kontrol sosial dalam melawan radikalisme

Bukan tanpa sebab jika kebanyakan berita tentang terorisme di media masa sering memberitakan tentang sifat pelaku teroris yang menutup diri dari masyarakat. Kasus ditembakmatinya teroris oleh Densus 88 di Terminal Pasir Hayam kecamatan Cilaku, Cianjur, Jawa Barat pada pertengahan Mei lalu, miaslnya. Terduga teroris bernama Batti Bagus Nugraha dikenal pendiam dan jarang bersosialisasi dengan masyarakat.

“Saya mah nggak heran si Batti terlibat yang begituan (aksi terorisme). Dulunya pas tinggal di sini dari gelagat atau gerak-geriknya udah kebaca. Dia menutup diri dari lingkungan,” kata Yati, tetangga Batti, dilansir tribunnews.com.

Di kasus lain, yaitu kasus insiden bom meledak di Rusun Wonocolo, Taman Sidoarjo, keadaannya tak jauh berbeda. Dikutip dari tribunnews.com, Kapolda Jawa Timur Irjen Mahfud Arifin membocorkan cara orangtua mendoktrin anak-anaknya.

“Faktnya,selama ini anak mereka di paksa mengaku home schooling padahal tidak bersekolah sama sekali,” terang Mahfud.

“Usaha ini agar anak mereka tidak berinteraksi dengan orang lain,” lanjutnya.

Ada cerita menarik di kasus teroris Sidoarjo ini. Salah seorang anak terduga teroris berinisial HAR mengaku menolak ideologi orangtuanya dan memilih tinggal bersama neneknya dan tetap bersekolah.

Dua kaus diatas memberikan pandangan jelas tentang betapa ideologi radikal dapat tumbuh jika tidak ada interaksi sosial yang baik di masyarakat. Para penganut paham radikal akan menyembunyikan diri dan orang terdekat mereka dari lingkungan agar ideologi yang mereka anut tidak “luntur” karena ditekan oleh masyarakat yang memiliki nilai berbeda.

Srawung adalah sebuah produk budaya masyarakat Jawa yang berperan sentral dalam pembentukan ciri suatu masyarakat yang toleran, guyub dan memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap sesama. Ciri masyarakat tersebut dapat tumbuh salah satunya adalah karena adanya budaya srawung yang membuat setiap warga masyarakat dapat berinteraksidengan baik.

Semakin intens interaksi yang dilakukan individu dalam masyarakat maka semakin besar pula pengaruh masyarakat terhadap individu itu atau dengan kata lain masyarakat semakin dapat melaksanakan fungsi kontrol sosialnya. Kontrol sosial adalah suatu mekanisme dimana masyarakat secara aktif berusaha untuk menjamin bahwa setiap individu yang hidup dalam masyarakat tersebut menaati nilai-nilai dan aturan yang telah disepakati secara luas. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh bapak sosiologi Amerika Serikat Edward Alsworth Ross dan disempurnakan kembali oleh Sosiolog Travis Hirschi.

Budaya srawung sangat membantu menekan penyebaran paham radikalisme karena memungkinkan masyarakat untuk menempatkan perhatian kepada setiap individu dengan baik dan selanjutnya memperbaiki atau melakukan kontrol terhadap nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai dan norma di masyarakat itu.  Dalam masyarakat yang mengenal budaya srawung, setiap anggota masyarakat itu akan mempunyai intensi yang kuat untuk saling mengenal dan bersosialisasi dengan orang lain.

Selain dengan srawung, upaya untuk menekan paham radikalisme dapat diwujudkan dengan menguasai kembali basis strategis penyebaran ideologi seperti masjid-masjid dan surau di setiap daerah. Seringkali orang mengeluh tentang adanya orang-orang tertentu yang  menampilkan ceramah berbau radikal di masjid mereka. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, sudahkah kita memakmurkan masjid sendiri? (Hizbullah Hanif)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.