web analytics
Babak Baru Bara Agni

Babak Baru Bara Agni

Rabu (06/02/2019), Rifka Annisa 一 Pusat Pengembangan Sumber Daya untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, mengeluarkan rilis pers sebagai tindak lanjut dari kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Teknik UGM berinisial HS terhadap mahasiswi FISIPOL UGM ‘Agni’ pada saat KKN di Pulau Seram, Maluku, pada tahun 2017. Kasus ini pertama kali terkuak ke publik lewat tulisan Balairung Press yang bertajuk “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” dan langsung mendapat perhatian dari masyarakat.

 

Kasus dugaan kekerasan seksual ini kembali menuai atensi publik setelah Rektorat UGM mempertemukan pihak penyintas dan terduga pelaku untuk menyelesaikan masalah secara non-litigasi di internal UGM. Di lain sisi, masyarakat mengkritisi dengan keras pemilihan penyelesaian secara “damai.” Masyarakat berharap kasus ini diteruskan ke meja hijau agar terduga pelaku kekerasan seksual mendapat sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Rilis pers yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa merupakan penjabaran atas rasionalisasi pihak penyintas untuk memilih penyelesaian menggunakan non-litigasi alih-alih ke pengadilan.

 

Dalam rilis pers tersebut, Rifka Annisa mengemukakan bahwa pihaknya lebih mementingkan penyelesaian yang resikonya paling minimal, paling memenuhi rasa keadilan, serta paling melindungi hak-hak penyintas. Penyelesaian secara litigasi dinilai lebih berpeluang untuk memberikan tekanan yang besar bagi kondisi psikis penyintas, karena dalam perkembangannya, posisi penyintas sangat tidak diuntungkan. Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain adalah adanya ketidaksesuaian antara narasi yang dibuat Balairung Press dengan fakta di lapangan yang dapat mengindikasi bahwa Balairung Press telah menyebarkan berita bohong dan karenanya berpotensi untuk dikriminalisasi. Baik Rifka Annisa maupun penyintas tidak ingin hal tersebut terjadi.

 

Rifka Annisa sendiri sangat keberatan dengan diksi “damai” yang digunakan media massa untuk melaporkan hasil penyelesaian secara non-litigasi yang dilakukan penyintas dan terduga pelaku. Sebab, kata “damai” memberikan anggapan bahwa penyintas telah menyerah dan seolah-olah membuat perjuangan yang telah dilakukan penyintas selama satu setengah tahun bak tanpa hasil. Padahal, lewat jalur non-litigasi ini, tuntutan-tuntutan penyintas justru dapat dipenuhi, sehingga lebih memenuhi rasa keadilan bagi penyintas dibandingkan dengan jalur litigasi.

 

Penyelesaian secara non-litigasi ini merupakan penyelesaian dengan prinsip victim-oriented, di mana yang menjadi titik tumpu dalam kasus ini adalah penyintas selaku korban. Sebab sejak terjadinya kejadian tersebut, penyintas mengalami gejala-gejala depresi, bahkan berpikiran untuk mengakhiri hidupnya. Adanya trauma pasca kejadian yang dialami penyintas menunjukkan bahwa penyelesaian yang dibutuhkan dalam kasus ini bukan penyelesaian yang semata-mata ditujukan untuk menghukum terduga pelaku seberat-beratnya, melainkan penyelesaian yang juga harus memulihkan hak-hak penyintas yang hilang karena adanya kejadian tersebut.

 

Hasil dari penyelesaian secara non-litigasi ini yang pertama adalah permintaan maaf dari HS selaku terduga pelaku kepada Agni selaku penyintas dengan disaksikan oleh Rektorat UGM. HS juga diharuskan untuk mengikuti mandatory counselling dan kelulusannya ditunda sampai psikolog klinis menyatakan mandatory counselling HS telah tuntas. Kedua, menjamin dengan jelas hak-hak Agni sebagai penyintas. Ketiga, adanya klausula perbaikan sistem mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual agar kasus seperti ini tidak terjadi di kemudian hari. Dalam hal ini, FISIPOL juga telah menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat Fakultas, sambil mengupayakan penyelesaian terhadap kasus-kasus sebelumnya. Keempat, membangkitkan kepedulian, dukungan, dan gerakan dari masyarakat untuk mendorong penyelesaian kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang kerap tidak tuntas dan mengabaikan pemenuhan hak-hak penyintas. Terakhir, UGM wajib memberikan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian studi penyintas setara dengan komponen dalam beasiswa bidik misi dengan alasan karena adanya kejadian ini, penyintas menjadi tidak fokus dalam menjalankan perkuliahannya dan UGM wajib bertanggung jawab atas hal tersebut.

 

Kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini tentu bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Masih banyak kasus di luar sana yang masih belum terungkap dan perlu penanganan serius. Dengan terbukanya kasus ini ke khalayak luas, penyintas berharap semua kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dapat diselesaikan dengan mengutamakan hak-hak penyintas, agar dikemudian hari tidak ada lagi kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan. (Nesya-Ejak)

Leave a Reply

Your email address will not be published.