web analytics
‘3’ yang Sakit-sakitan [1/4]

‘3’ yang Sakit-sakitan [1/4]

Kebiasaan siswa setelah menjadi alumni adalah membuka aib sekolahnya sendiri!” kata guru Kimia legendaris saya.

Sebagian besar orang memandang sekolah negeri sebagai sekolah panutan. Banyak siswa yang merebutkan kursi sekolah negeri untuk melanjutkan studinya. Namun, di balik nama besarnya, tak sedikit pula di antara sekolah negeri yang katanya favorit itu mengalami kebobrokan. Mulai dari sistem rekrutmen siswanya yang penuh ‘pelicin’ , guru-guru yang tak berkompeten, hingga praktik penilaian yang seenaknya.

Saya dalam kesempatan kali ini ingin membuka kesadaran pembaca mengenai hal-hal yang tersembunyi di sebagian sekolah negeri favorit. Di sini saya mengambil beberapa pengalaman pribadi saat menghadapi ‘kotor’-nya birokrasi selama menempuh pendidikan di salah satu SMA terbaik Kota Tangerang. Bukan tanpa sebab penulis ingin agar para pembaca memahami bahwa tak semua yang terlihat ‘baik-baik saja’ benar-benar ‘baik’. Bila dibedah isinya masih banyak sekali kekurangan yang harus diperbaiki untuk kebaikan di masa depan. Tulisan ini secara umum saya buat untuk pemerhati pendidikan, dan secara khusus untuk guru dan kawan-kawan saya.

Pengantar

Bagi setiap alumnus yang kini telah berpencar ke berbagai kampus dan tempat kerja, tentu memiliki sejarahnya masing-masing di bangku SMA. Mulai dari kisah asmara yang indah, bermain di sela-sela jam kosong, hingga belajar mati-matian menjelang kelulusan, semuanya menjadi kenangan tersendiri. Tak jarang pula, beberapa kisah mengenai hukuman karena tak pakai atribut saat upacara, main handphone di jam pelajaran, ataupun datang sekolah terlambat. Hal demikian menjadi kisah yang lucu untuk diceritakan di masa depan.

Kawan-kawan seangkatan saya sering sekali menuliskan tentang kisah-kisah menariknya di sekolah. Isinya mengenai kenakalan-kenalakan ringan yang menarik dan berkesan baginya. Saya pun punya kisah yang menarik tersendiri selama 3 tahun di sekolah yang merubah pandangan hidup saya. Kisah ini saya rasa belum pernah dituliskan oleh kawan-kawan maupun senior saya, karena biasanya pascalulus orang-orang sudah tidak mau memikirkan masa kelam putih abu-abunya. Hal ini tak berlaku bagi saya, sebab bagaimanapun ‘kelam’nya, saya memiliki tanggung jawab untuk memperbaikinya, setidak-tidaknya dengan memperingatkan dan berbagi dengan adik-adik kelas.

Saya menuliskan hal-hal berikut ini sebagai sejarah di hari depan. Mungkin bagi anak-anak saya, ataupun anak-anak dari kawan-kawan saya. Dengan harapan, semoga sejarah kelam masa SMA saya ini tak terulang di masa depan. Nama-nama pelaku beberapa saya coba rahasiakan (doakan agar kelak terungkap!). Perasaan yang bergejolak apabila hanya disimpan, suatu saat akan meledak. Ledakan tersebut terjadi sekarang!

Tahun Pertama: Mengenal Kemunafikan

 

Pertama kali masuk SMA pada 2015 lalu, saya sangat bahagia karena bisa bergabung di salah satu SMA terbaik di Kota Tangerang. Konon katanya, SMA ini sudah menjadi sekolah favorit sejak tahun 1980-an. Di masa itu, saya benar-benar melihat bahwa sungguh hebat sekolah saya ini, sebelum saya mengetahui kebobrokan di dalamnya.

Saya heran saat melihat jumlah angkatan saya. Dalam PPDB 2015, tercatat bahwa jumlah siswa angkatan saya seharusnya 267 orang, tapi justru faktanya menunjukan, hingga saya lulus, ada sekitar 410 siswa. Sungguh banyak surplus pelajar yang diterima oleh sekolah di tahun penerimaan saya. Bahkan sampai salah satu wakil kepala sekolah bidang kurikulum mengakui saat upacara bendera, “Seharusnya jumlah angkatan kalian itu 32 anak perkelas, bukan 40 anak atau lebih.” Lalu mengapa bisa ada kelebihan? Andaikan apabila satu anak ‘tambahan’ ini rata-rata memberi uang pelicin 10 juta rupiah (beda saluran beda harga!), lalu dikali 150 anak ‘jalur belakang’ (anggap rata), maka dalam tahun ajaran baru 2015, dari jalur belakang sekolah bisa mendapatkan ‘pemasukan liar’ sebesar 1,5 miliyar rupiah! Dipakai untuk apa dan dibagikan kemana? Tidak ada kejelasan, dan dinas pendidikan setempat tak pernah mempersoalkan.

Awal kelas 10 saya sudah menemukan kejanggalan-kejanggalan. Pada September 2015, seorang guru Fisika menawarkan kepada murid-murid sebuah diktat seharga 15 ribu rupiah. Hampir seluruh anak IPA angkatan saya membelinya. Berbulan-bulan dan sampai kami lulus pun diktat itu tak pernah diberikan! Dan uangnya mungkin dipakai untuk ongkos pulang kampung atau membayar cicilan motor (sebab ia sering curhat di sela-sela mengajar). Saya sudah pernah menanyakan kepadanya mengenai transparansi ini, namun ia hanya berjanji akan memberikan tanpa adanya tindakan nyata sedikit pun. Saat saya kelas XI, kawan-kawan dari kelas IPA-4 pun sudah sering menggugatnya, dan justru si guru Fisika ini malah ‘tak mau’ mengajar lagi di kelas mereka selama beberapa minggu.

Oknum guru Fisika ini sudah memiliki cap buruk di angkatan saya. Banyak kawan yang sering menjelek-jelekannya dari belakang. Saya sudah sering menantang kepada kawan-kawan untuk bersatu melawan, namun mereka hanya diam ketakutan. Guru Fisika ini cukup ‘cerdas’ dalam mencari uang tambahan. Dimulai dari membuka les pascapulang sekolah, menjual berbagai buku dengan harga cukup mahal (pernah teman saya tidak dapat bukunya yang seharga 60 ribu!), dan memanfaatkan remedial ujian dengan memungut sejumlah uang per anak senilai 7 ribu rupiah untuk alasan fotokopi soal, bahkan pernah remedial tersebut tidak jadi dilaksanakan dan ia justru pulang kampung!

Selain guru Fisika ini, ada pula oknum guru Matematika dan Bahasa Inggris yang memungut biaya remedial ujian dengan tarif 3 ribu sampai 5 ribu rupiah per anak. Saya ingat pernah menemani kawan untuk menyerahkan uang-uang tersebut kepada guru yang bersangkutan secara diam-diam. Gerah sekali hati saya ketika itu. Masa kelas 10 saya belum menjelma menjadi siswa yang kritis dan ‘agak’ radikal.

Di kelas 10, kebencian saya pada Pramuka dipupuk oleh sekolah, padahal Pramuka itu adalah organisasi yang cukup menarik, bahkan sahabat-sahabat saya pun adalah aktivis pramuka. Saya tidak membenci organisasinya, namun oknum elitnya! Mereka seenaknya mengatur dan buat jadwal untuk kelas X & XI, meminta uang kas 2 ribu perminggu tanpa transparansi (saya hampir tidak pernah bayar!). Saya lebih muak lagi ketika diwajibkan membeli topi baret dan tali kur (dan berbagai perlengkapan lain) di sekolah, padahal harga di luar jauh lebih murah!

Saya cukup mengapresiasi bagaimana pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh kawan-kawan IPS terhadap pemaksaan kegiatan Pramuka yang monoton. Mereka memulainya dari protes, dobrak gerbang, hingga kabur dari sekolah. Namun yang sangat disayangkan adalah masih banyak kawan angkatan yang konservatif, masih takut dengan ancaman tidak naik kelas! Akan sangat kuat perlawanan saat itu apabila kita semua kompak. Namun, mau bagaimana lagi? Banyak yang belum punya taring! (tapi masih punya akal!).

Suatu hari saya pernah menulis gugatan-gugatan tentang sisi gelap Pramuka di sekolah beserta fakta dan buktinya untuk dikirimkan kepada Kepala Sekolah. Saya mendiskusikan hal ini dengan kawan baik saya (kini ia melanjutkan studi di Pendidikan Sejarah UNJ) mengenai konsekuensi tindakan ini. Namun, baginya tindakan itu terlalu terburu-buru, mengingat kami kekurangan massa yang sepaham. Tulisan sudah jadi, tapi tidak jadi saya kirim. Saya juga mempertimbangkan apakah Kepala Sekolah juga terlibat dalam aksi ‘gelap’ Pramuka di atas?

Ada fenomena lucu menjelang kenaikan kelas XI. Wali kelas X saya me-request untuk dibelikan tas bermerek oleh teman-teman sekelas sebagai hadiah perpisahan. Saya sungguh kaget melihat kelakuan guru Bahasa Indonesia tadi meminta hal demikian, mengingat di hadapan kami ia terlihat sederhana. “Jangan melihat orang dari luarnya”, kata pepatah. Ada pula guru Seni Budaya yang menyuruh membuat batik, kemudian dalam satu semester hanya untuk membatik. Tiap anak dikenakan 15 ribu rupiah untuk membeli peralatan. Ujung-ujungnya batik-batik itu dibawa olehnya entah kemana.

Kelas X adalah masa di mana saya masih beradaptasi dengan segala praktik-praktik kotor yang terselubung. Pernah pada akhir kelas X, sekolah kami tertipu (entah tahu atau tidak) oleh lembaga les Bahasa Inggris bodong. Saya termasuk orang yang ikut program belajar Bahasa Inggris instan tersebut (progam belajar Bahasa Inggris 9 bulan langsung bisa), namun saya baru membayar 20%, hingga akhirnya lembaga les bodong tersebut kabur entah kemana setelah 3 bulan program.

Dari kejadian penipuan ini, guru-guru Bahasa Inggris sekolah yang bersangkutan dengan program ini nampaknya tidak begitu peduli dan tidak melakukan penyelidikan. Sebagian besar kawan saya telah membayar program ini 100%, dan mereka tidak menggugat sama sekali. Di sini terlihat sekali bagaimana sekolah masih asal-asalan dan belum siap bekerja sama dengan pihak luar sehingga murid-muridnya sendiri yang menjadi korban!

Masa kelas X cukup manis dan pahit bagi saya. Namun, sejarah tahun kedua nanti akan lebih seru lagi.

Penulis: Savero
Ilustrator: Selma
Editor: Faiz Al-Haq

 

 

6 thoughts on “‘3’ yang Sakit-sakitan [1/4]

  1. Dari tulisan diatas sebenernya banyak pelajaran yang dapat diambil dan tulisan yang disampaikan menurut saya tidak terdapat mention nama secara langsung baik guru ataupun sekolah sehingga penulis disini bertujuan bukan untuk menjelekkan atau penghinaan terhadap sekolah ataupun pihak sekolah, melainkan untuk sharing yang bertujuan untuk perbaikan sistem pendidikan secara khusus perbaikan di sekolah almamater penulis. Kejadian yang dipaparkan tersebut mungkin juga banyak dirasakan oleh siswa lainnya hanya saja tidak siswa lain tidak mengungkapkannya.
    Menurut saya, Jika kita ingin melakukan perubahan yang lebih baik bukankah harus menyadari kesalahan atau penyimpangan yang ada, baru setelah itu kita dapat melakukan langkah untuk menyelesaikan masalah tersebut. untuk pihak sekolah yang bersangkutan lebih baik menganggap krikan ini sebagi bentuk kepedulian alumni untuk dapat mengungkapkan penyimpangan sistem pendidikan disekolah tersebut agar terjadi perbaikan kearah yg lebih.
    Tapi mungkin perlu diperhatikan untuk penulis sebaiknya sebelum artikel dimuat terlebih dahulu ada pembicaraan langsung kepada pihak sekolah sehingga pihak sekolah mengetahui penyimpangan tersebut dan mungkin bisa ada pemecahan masalahnya tanpa harus publikasi ke umum. Jika memang nantinya pihak sekolah tidak menerima penyimpangan yang dirasakan penulis dan pihak sekolah dinilai tidak ada usaha untuk mencari solusinya, baru deh penulis bisa mencari solusinya sendiri salah satunya dengan publikasi umum agar awareness mengenai hal ini bisa meningkat, sehingga hal hal yang disebutkan tidak menjadi hal yang biasa dan akhirnya dianggap bukan sebuah bentuk penyimpangan

  2. melanjutkan mengenai penyimpangan pada sistem pendidikan menurut saya, bukan hanya dilakukan oleh pihak sekolah/guru melainkan juga oleh siswa . Banyak siswa yang melakukan kegiatan nyontek ketika ujian atau ketika mengerjakan tugas sekolah (simple nya mereka menganggap itu nanya ke temen bukan nyonyek liat media buku atau sumber lainnya) tapi bukannya itu sama ajaa judulnya nyontek juga. kegiatan ini karena sering dilakukan menjadi hal biasa yg membuat orang nyontek seperti normal siswa sedangkan siswa yang tidak nyontek malah dianggep anaeh “di bilang sombong, sok pinter dll”. sebenernya hal sepele ini bisa membuat mental siswa yg tidak menyontek jadi minder dan bahkan bisa membuat mereka malah jadi ikut ikutan nyontek. Gimana nantinya kita bisa berharap siswa menjadi penerus bangsa yg jujur dan memiliki kompetensi yang baik.
    Nah disini juga ada fungsi guru sebagai pendidik untuk membangun kesadaran siswa atas menyontek.
    Semoga sistem pendidikan indonesia menjadi lebih baik dan baik guru maupun siswa bisa menjalankan perannya dengan semestinya.

Leave a Reply to Obscure Cancel reply

Your email address will not be published.