web analytics
Diskusi Panel Bersama KPK: Mengawal Integritas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi    

Diskusi Panel Bersama KPK: Mengawal Integritas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi  

Selasa (10/09/2019), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan diskusi panel dengan tajuk “Mengawal Integritas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Diskusi ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan Festival Konstitusi dan Anti Korupsi yang berlangsung di Fakultas Hukum (FH) UGM.

Dengan dipandu oleh Oce Madril, S.H., M.A, diskusi ini menghadirkan tiga pembicara ahli yaitu Dr. Abraham Samad, mantan pimpinan KPK periode 2011-2015, Bivitri Susanti S.H., LL.M., Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, serta Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LL.M., dosen Hukum Tata Negara UGM.

Sepanjang berjalannya diskusi, isu calon pimpinan KPK dan RUU KPK yang kontroversial menjadi bahasan utama dalam forum. Abraham Samad mengatakan bahwa proses seleksi Capim KPK sendiri sudah cacat sejak awal secara yuridis. Ia menjelaskan bahwa pansel telah mendegradasi Pasal 29 (k) dalam UU KPK dimana tertulis bahwa syarat terakhir seorang Capim adalah wajib untuk melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) baik sebelum maupun sesudah menjabat. Namun, saat ini syarat tersebut tidaklah bersifat mutlak.  Hal tersebut, senada dengan yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LL.M.,. Menurut Zainal,  logika dasar keseriusan presiden dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dari kualitas panselnya.

“Pansel itu kebanyakan adalah ‘cek kosong,’” tuturnya setelah menyampaikan duka atas prosesi bernegara beberapa waktu terakhir. Menurutnya, tidak adanya kejelasan tentang bagaimana mekanisme kerja dan konsep Pansel disebabkan pada undang-undang yang hanya mengatur Pansel dibentuk oleh Presiden. Akibatnya Pansel memiliki ‘rasa’ yang berbeda dalam setiap pemilihan calon komisioner KPK dan bergantung pada Presiden.

Dalam poin berikutnya, Abraham Samad mengatakan bahwa KPK sejatinya membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas paripurna, yaitu memiliki keberanian dan kejujuran. Sehubungan dengan itu, ia mengklasifikasikan upaya pelemahan KPK yang berasal dari luar dan dari dalam. Dari luar yang dimaksud adalah melalui teror sedangkan dari dalam dapat berupa upaya dalam pelemahan sistem, termasuk pemilihan capim KPK. Menurutnya, kita tidak bisa berharap bahwa tahap fit and proper test dapat menghasilkan nama Capim yang berintegritas. Langkah yang lebih bisa diharapkan adalah pada tahap profile assesment. Mantan komisioner KPK tersebut menjelaskan mekanisme profile assessment yang menyerahkan pelaksanaan pada pihak ketiga ahli (dalam hal ini psikolog) memberikan hasil objektif dimana pimpinan KPK dipilih berdasarkan ‘kesehatan’ jejak moralnya bukan jejak hukumnya pun instansi terdahulunya.

Pembahasan mengenai RUU KPK mendapat kecaman banyak pihak, terutama oleh masyarakat sipil. Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar SH., LL.M., tidak ada alasan bagi presiden untuk terburu-buru menanda-tangani RUU tersebut apabila presiden tidak memiliki kepentingan tersendiri. Hal ini disebabkan karena RUU KPK  didorong ketika DPR sendiri usianya tinggal 10 hari dan RUU tersebut tidak pernah masuk dalam prolegnas prioritas. Selain itu, Presiden memiliki tenggat waktu 60 hari untuk membicarakan secara internal kepresidenan.

Ketiganya sepakat bahwa pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana tercantum pada draft RUU KPK tidaklah masuk logika. Menurut Abraham Samad, Dewan Pengawas adalah ‘makhluk luar angkasa’ yang datang tiba-tiba. Alih-alih melakukan pengawasan justru terjadi domestikasi karena dewan pengawas sendiri dipilih oleh DPR. Ia juga menegaskan bahwa Dewan Pengawas tidak diperlukan, karena KPK sudah memiliki mekanisme tersendiri melalui pengawas internal. Bahkan pengawas internal ini tidak hanya mengawasi anggota KPK tetapi juga kepada kelima pimpinan KPK.

Filosofi Dewan Pengawas menurut DPR adalah supaya KPK tidak melakukan abuse of power sehingga tidak ada penyimpangan yang terjadi seperti penyadapan. Padahal, penyadapan yang dilakukan oleh KPK hanya dapat dilakukan apabila sudah memenuhi prosedur dan mekanisme yang sejatinya cukup panjang. Apabila memang mekanisme penyadapan perlu diperbaiki, tentu tidaklah etis apabila hanya KPK yang mendapat konsekuensi tersebut mengingat tidak hanya KPK yang dapat melakukan penyadapan, terdapat juga lembaga lain seperti Densus 88 dan BNN. Seharusnya, dilahirkan undang-undang baru tentang penyadapan yang mengatur semua lembaga yang berwenang  melakukan penyadapan.

Salah satu poin dalam perubahan undang-undang tentang KPK adalah kewenangan KPK dalam menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Zainal, SP3 ada karena orang mudah dijadikan tersangka lalu pada akhirnya turun SP3 yang berarti tersangka dibebaskan. Sementara dalam kasus yang ditangani KPK, seseorang tidak mudah dijadikan tersangka sehingga SP3 tidak diperlukan. Artinya dalam setiap prosesi penetapan tersangka suatu kasus korupsi KPK menyelidik secara mendalam sehingga meminimalisir lepasnya tersangka korupsi.

Bivitri Susanti S.H., LL.M., sebagai pembicara terakhir lebih banyak menuturkan tentang perjalanan historis KPK. Ia menjelaskan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi KPK saat ini adalah adanya opini tandingan mengenai KPK yang semakin menyebar dan mudah diperkaya. Opini tersebut lahir dari hasil kepuasan masyarakat akan kinerja KPK sehingga dihembuskan opini tandingan yang mulai membuat dukungan publik kelihatan berkurang, misalnya dengan isu “taliban” pada anggota KPK.

Menurut Bivitri cara yang dapat dilakukan saat ini adalah melanjutkan dan menguatkan pendidikan publik mengenai KPK dan kinerjanya. Lebih lanjut perluasan kelompok dukungan sampai ke komunitas-komunitas di luar “kelas menengah” yang memiliki askes informasi juga perlu digalakan.

Zainal menambahkan bahwa sekalipun KPK akan runtuh hari ini, tak ada alasan untuk terus bersedih dan pesimis tentang negeri ini. Tongkat estafet akan terus berjalan.

Sebagai penutup, para pembicara berpesan kepada masyarakat sipil, termasuk para sivitas akademika untuk turut menyeimbangkan proses demokrasi dengan cara menambah barisan dan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi yang merugikan dari berbagai aspek.

Penulis      : Athena, Rieska (Awak Magang)
Foto          : Wilman (Awak Magang)
Editor        : Faiz Al-Haq

Leave a Reply

Your email address will not be published.