web analytics

Penghayatan Falsafah Jawa dalam Era Disrupsi

Seperti halnya leluhur dan kerabatnya, R.M. Abi Satria Bhaskara juga mempelajari dan mengaktualisasikan falsafah jawa. Sembari berjalan menyusuri lorong-lorong lebar dengan pilar tinggi di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), pemuda berusia 21 tahun yang berkuliah di Fakultas Hukum UGM tersebut menjelaskan kepada saya tentang pandangan dan tatanan hidup masyarakat jawa. Dengan suaranya yang bersemangat dan perangai yang lembut seperti orang jawa pada umumnya ia menerangkan inti dari gagasan atau sikap batin dari masyarakat jawa, yaitu rasa nrimo atau menerima. Agaknya penjelasan tersebut mudah saya pahami karena benar-benar menjadi laku kehidupan sehari-hari.

Kemudian saya menanyakan perihal kontekstualisasinya pada masa sekarang terutama terkait dengan disrupsi informasi. “Ya kalau dipikir-pikir masalah penyebaran berita bohong ki bisa diatasi ketika masyarakat kita kembali menghayati falsafah leluhurnya gitu lho.” Tutur pemuda yang akrab disapa Bung Abi tersebut

Rendahnya budaya literasi di tengah kemajuan teknologi informasi

Pekan dimana saya menemui Bung Abi menjadi salah satu pekan terpanas pada beberapa tahun terakhir, matahari bersinar sangat terik dan masyarakat kampus pun tampak lesu. Pada minggu-mingu di tengah bulan Oktober tahun 2019 ini suhu udara bisa mencapai 38° Celsius, namun pada hari itu kami tetap bisa berdiskusi panjang lebar soal masalah penyebaran hoax atau berita bohong. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah mengenai penyebab atau akar permasalahannya. Kami sama-sama sepakat bahwa salah satu penyebab mudahnya penyebaran berita bohong adalah budaya literasi atau minat membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah.

Kami kira pendapat kami ada benarnya juga jika melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada tahun 2016 mengenai tingkat budaya literasi negara-negara di dunia. Penelitian yang dipimpin oleh Dr. John W. Miller ini menempatkan 200 negara di dunia sebagai obyek penelitian, dari 200 negara tersebut terdapat 61 negara yang benar-benar memiliki statistik terkait budaya  literasi. Lalu dimanakah posisi Indonesia dalam ranking budaya literasi dari negara-negara di dunia tersebut?

Bisa ditebak, dalam klasemen tersebut Indonesia menepati urutan bawah, namun setidaknya bukan di urutan terakhir. Negara kita sendiri menempati posisi 60 dari 61 negara yang ada dalam penelitian tersebut, hanya setingkat diatas Botswana yang menempati urutan terakhir. Sementara itu 5 posisi teratas negara dengan tingkat literasi tertinggi ditempati oleh negara-negara Skandinavia yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Penelitian tersebut tentu sangat mengkhawatirkan mengingat budaya literasi menjadi aspek dasar dalam mencerdaskan dan membentuk karakter bangsa Indonesia. Peningkatan budaya literasi atau minat baca juga bisa menjadi solusi tepat dalam mencegah penyebaran hoax.

Penyebaran hoax dalam era disrupsi

Indonesia baru saja menjalani momen lima tahunan yang menjadi puncak perayaan demokrasi, bulan April yang lalu Pemilihan Umum Presiden Indonesia dan Wakil Presiden seta Pemilihan Umum Legislatif resmi digelar serentak. Hasil Pemilu tersebut menempatkan Pesiden Joko Widodo untuk mengemban amanah yang kedua kalinya dengan didampingi mantan Rais’Aam Syuriah Nahdlatul Ulama K.H. Ma’ruf Amin.

Ingatan mengenai proses pemilu masih membekas di sebagian besar masyarakat Indonesia terutama karena proses tersebut bisa dibilang tidak dilalui dengan mulus. Bisa dibilang masyarakat Indonesai terpolarisasi menjadi dua kelompok yang sering disebut dengan cebong dan kampret, kedua kelompok ini memiliki kesamaan dalam hal militansi dan kecenderungan untuk saling berkonfrontasi satu sama lain terutama di dunia maya.

 Manusia di zaman sekarang bisa dibilang hidup di dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Jika melihat pola penyebaran informasi di dunia maya yang bisa dibayangkan adalah suatu ruang yang penuh dengan informasi yang selalu diperbaharui bahkan dalam hitungan detik. Sayangnya arus informasi yang ada tersaring oleh apa yang disebut filter bubble atau gelembung penyaring yang membuat arus informasi hanya diperoleh dari satu sisi. Mengutip Eli Pariser, seorang aktivis media sosial dan penulis, hal ini diakibatkan oleh sistem algoritma mesin pencari dan media sosial yang hanya menayangkan hasil pencarian yang sesuai dengan kecenderungan jejak digital kita.

Dampak negatif dari perkembangan teknologi dan arus informasi yang sangat pesat ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan beberapa langkah sederhana salah satunya dengan menghayati kembali falsafah dan kebijaksaan leluhur bangsa Indonesia. Falsafah Jawa pada khususnya menempatkan konsep keseimbangan pada inti gagasannya, termasuk keseimbangan dalam memperoleh dan mengelola informasi.

Mencari kebijaksanaan dalam kearifan lokal

Bung Abi mengajak saya untuk berkunjung ke rumahnya yang terletak di wilayah administratif Padukuhan Pogung Kidul, Desa Sinduadi. Wilayah desa ini lebih menyerupai daerah urban daripada stereotip desa pada umunya karena terletak di daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta dan terletak diantara dua kampus besar yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia mempersilahkan saya masuk ke ruang tamu rumahnya yang dihiasi berbagai gambar wayang dengan sofa dan meja di bagian tengahnya. Di rumah tersebut terdapat satu papan tulis yang dari bekas spidolnya sering sekali digunakan, setelah menyuguhkan teh kepada saya Bung Abi dengan cermat menulis satu kata di papan tersebut, Dasa Pitutur.

 “Nahh ini mas, kalo kita berbicara tentang pencegahan berita atau informasi palsu konsep ini cocok sekali.” Kata Bung Abi yang masih mempunyai garis keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Ia lalu menuliskan kesepuluh pedoman hidup atau nasihat yang ditulis dalam bahas jawa dan artinya dalam bahasa Indonesia.

 

1. Urip iku urup

Hidup itu harus bermanfaat

2. Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara

Manusia harus mencari kesejahteraan, kedamaian dan menghindari kemungkaran

3. Sura dira jaya jayaningrat, lebur dening pangastuti

Segala sifat buruk harus dilawan dengan sifat baik

4. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha

Berjuang tanpa massa, menang tanpa merendahkan, berwibawa tanpa unjuk kekuatan, kaya tanpa melihat kebendaan

5. Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan

Jangan sakit hati ketika musibah dan jangan sedih ketika kehilangan

6. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman

Jangan mudah kagum, jangan mudah menyesal, jangan mudah heran dan jangan manja

7. Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman

Jangan terobsesi memperoleh kekuasaan dan kepuasan duniawi

8. Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka

Jangan merasa paling pintar agar tidak sesat, jangan curang agar tidak celaka

9. Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendho

Jangan tergiur oleh sesuatu yang indah dan jangan mendua agar tidak kehilangan semangat

10.  Aja adigang, adigung, adiguna

Jangan sok berkuasa, sok besar, dan sok sakti

Kesepuluh poin inilah inti ajaran Sunan Kalijaga untuk mencapai hidup yang damai dan sejahtera. Dari kesepuluh nasihat ini Bung Abi sangat menekankan pada nasihat nomer enam.

“Kalo mau damai dan bijaksana ini penting sekali, orang-orang kan sering sekarang asal menyebarkan konten yang belum tentu benar bahkan baru baca judulnya saja udah langaung disebar kemana-mana.” Terang Bung Abi dalam bahasa jawa ngoko.

Sifat mudah kagum, mudah heran dan mudah mempercayai sesuatu ini menjadi kecenderungan sifat orang Indonesia. Padahal sifat skeptis sejatinya penting agar seseorang dapat mencerna informasi secara objektif dan jernih dalam menilai sesuatu. Ketika skeptisisme tersebut didasari oleh alasan yang rasional maka berita-berita bohong yang beredar dapat ditekan, maka dari itu cara paling mudah untuk berpartisipasi dalam kampanye anti hoax adalah dengan membiasakan untuk melihat kedua sisi peristiwa.

Keluarga Bung Abi merupakan keluarga dengan latar belakang budaya jawa yang kuat, fakta historis sebagai bagian dari keturunan bangsawan Kraton Yogyakarta menjadi faktor penguat budaya tersebut. Kearifan lokal memang sejatinya lebih efektif ketika diajarkan dalam lingkup keluarga selaku organisasi terkecil setiap orang dan sangat mempunyai ikatan internal yang kuat. Para orangtua yang selama ini dikenal sebagai pelaku utama penyebar hoax di grup WhatsApp keluarga seharusnya mempunyai kesadaran dalam memberi contoh bagi anggota keluarga yang lain terutama anak-anak.

Ajaran eling lan waspada atau ingat dan waspada jika diterapkan dengan bijaksana dapat menuntun kita untuk saling menghormati dan menghindarkan kita dari pengaruh buruk kemajuan teknologi informasi. Seperti halnya judul buku terkenal dari Prof. Nadirsyah Hosen “Saring Sebelum Sharing”  setiap orang baiknya memahami arti penting dari membaca dan melihat sudut pandang yang lain.

Penulis: Hizbullah Hanif
Editor: Faiz Al-Haq

Leave a Reply

Your email address will not be published.