web analytics
Rangkaian ‘Atraksi’ dalam Gerakan Menggugat Gadjah Mada

Rangkaian ‘Atraksi’ dalam Gerakan Menggugat Gadjah Mada

BPPM MAHKAMAH — Gerakan Menggugat Gadjah Mada yang berlangsung Rabu (13/11/2019) diwarnai dengan gesekan antara massa aksi dengan Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM. Menurut Mahdi Yahya, Koordinator Lapangan Aksi, faktor cuaca terik dan jawaban yang dianggap terlalu diplomatis dari pihak rektorat menjadi alasan mahasiswa melakukan berbagai tindakan ‘kreasi’ baik direncanakan maupun improvisasi.

Dimulai dengan seruan mahasiswa kepada Rektor UGM, Panut Mulyono, untuk bersedia menerima puluhan mahasiswa peserta aksi. Dengan didampingi oleh Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, Bambang Agus Kironoto, dan Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan, Djagal Wiseso Marseno, serta perwakilan dari Forum Advokasi UGM, Kevin Krissentanu, tuntutan dibahas dengan diselingi sorak sorai mahasiswa.

Beberapa kali banner bertuliskan “Universitas Gudang Masalah” dan “Menggugat Gadjah Mada” coba digantungkan di atas pagar gedung rektorat. Tindakan tersebut menimbulkan reaksi dari SKKK berupa penarikan paksa banner yang diikuti dengan teriakan protes dan kecewa dari mahasiswa.

Menurut Mahdi, pemasangan banner adalah bentuk atraksi dan upaya aksi kepada rektorat. Tindakan tersebut adalah penegasan bahwa mahasiswa sedang di landa keresahan. Selain itu, diharapkan aksi tersebut mendapat publikasi di media agar terus terkawal.

Pada poin tuntutan ketiga tentang penolakan rencana pengadaan uang pangkal, Rektor menanggapi bahwa yang ada dalam wacana adalah sumbangan sukarela dan bukan uang pangkal. Panut menjelaskan adanya usulan ini juga didasarkan atas amanat orang tua mahasiswa. 

“Jadi, ada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya di luar negeri tapi lebih mempercayakan anaknya belajar di universitas terbaik di Indonesia, salah satunya UGM. Para orang tua itu memberi sumbangan sukarela dengan harapan anaknya mendapatkan fasilitas yang baik dalam belajarnya.” tutur Panut.

Jawaban tersebut dianggap tidak mampu memuaskan keinginan mahasiswa. Pihak rektorat terus ditekan dengan pertanyaan yang menuntut jawaban secara tegas.  Munculnya istilah sumbangan sukarela memicu kekecewaan dari mahasiswa yang menganggap hal tersebut tidak berbeda dengan uang pangkal.

Massa aksi melemparkan uang koin dan kertas di hadapan pihak rektorat sebagai bentuk ‘sumbangan’ dari mahasiswa untuk UGM. Usaha untuk mendapatkan titik temu pada poin tersebut berlangsung alot. Sebelum mencapai kesepakatan, pihak rektorat meninggalkan tempat karena terdapat agenda lain yang harus dihadiri yaitu finalisasi peraturan rektor tentang pelecehan seksual.

Hal tersebut memicu mahasiswa secara serentak menyerbu Gedung Balairung dan memasang spanduk bertuliskan “Gedung Ini Disita Mahasiswa”. Massa aksi menyerukan nyanyian dan sorakan yang mempertegas keberadaan mahasiswa dalam keresahan.

Beberapa mahasiswa yang masih berada di luar gedung menurunkan bendera setengah tiang sebagai simbol bahwa UGM sedang berduka. Hal tersebut merujuk kepada aksi 2 Mei 2016 silam yang pernah berlangsung di UGM.

“Pada aksi 2 Mei 2016, saat itu mahasiswa UGM turun ke rektorat, disitu simboliknya untuk menunjukkan bahwa mahasiswa UGM sedang berduka yaitu dengan menurunkan bendera setengah tiang.” tutur Mahdi.

Akibat dari adanya insiden penurunan bendera setengah tiang tersebut, terjadi ketegangan antara beberapa mahasiswa dengan SKKK. Peristiwa ini menarik sebagian massa aksi yang berada di dalam gedung untuk turut meredam gesekan.

“Sebenarnya dari korlap (koordinator lapangan -red) sudah mencoba menghentikan rencana itu karena beda momen dan dirasa berbeda dengan 2 Mei 2016. Oleh karenanya sepakat untuk tidak perlu dilakukan. Tapi kemarin ada beberapa orang yang ingin melakukan itu, entah siapa, yang akhirnya dilarang oleh petugas keamanan sehingga terjadi beberapa gesekan.” lanjut Mahdi.

Tak lama kemudian, bendera kembali dinaikkan. Selang beberapa waktu, mahasiswa mencoba memasang kembali banner di atas pagar gedung rektorat. Walau hanya hitungan detik, banner berhasil dipasang dan diabadikan. Meskipun sempat tidak kondusif, pada akhirnya tercapai kesepakatan antara mahasiswa dan rektorat berupa memo dalam gerakan 13 November tersebut.

Reporter: Athena Huberta A

Editor: Alfina

baca juga https://mahkamahnews.org/2019/11/18/menggugat-gadjah-mada-tujuh-tuntutan-untuk-rektorat/

Leave a Reply

Your email address will not be published.