web analytics
Sulutan Api Makar dalam Dahaga Diskusi Pemakzulan Presiden

Sulutan Api Makar dalam Dahaga Diskusi Pemakzulan Presiden

Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) sebelumnya akan mengadakan diskusi secara daring dengan tajuk “Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (Dilawan): Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” (29/05). Namun naas, pada tanggal yang sama pula diskusi ini resmi dibatalkan. Pembatalan terjadi lantaran panitia pelaksana mendapatkan sejumlah ancaman dan teror oleh oknum tidak dikenal atas dalih perbuatan makar. 

Tuduhan makar pertama kali dilemparkan oleh salah satu akademisi UGM Bagas Pujilaksono melalui tulisan yang diterbitkannya pada laman Tagar.id dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi COVID-19” tepat satu hari sebelum diskusi hendak diselenggarakan. Tulisan tersebut dinilai memiliki unsur provokatif dan meresahkan banyak pihak. Pasalnya, melalui tulisan tersebut, tuduhan makar dilontarkan sebelum diskusi ilmiah itu sendiri dilaksanakan. Menurut Bagas, diskusi ilmiah tersebut jelas adalah makar dan perlu ditindak tegas. “Inikah demokrasi, pada saat bangsanya sibuk bergotong-royong mengatasi pandemi Covid-19, kelompok sampah ini justru malah mewacanakan pemecatan Presiden,” ungkap Bagas dalam tulisannya tersebut.

Presiden CLS: Diskusi Ilmiah, Murni Akademis

Menanggapi pernyataan tersebut, Aditya Hilmawan selaku Presiden CLS menjelaskan bahwa diskusi tersebut murni akademis menyoal pemakzulan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. “Rencana substansi yang dibahas itu mengenai sejarah panjang pemakzulan, mengenai bagaimana proses pemakzulan sebelum dan setelah amandemen UUD dan mekanismenya sesuai dengan undang-undang,” jelas Adit saat diwawancarai oleh tim BPPM Mahkamah pada Sabtu (30/05) kemarin. 

Adit juga menjelaskan bahwa ide diskusi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan panitia pelaksana terhadap isu yang sempat beredar di publik, yakni mengenai pemberhentian presiden dikarenakan penanganan Covid-19 yang dinilai lambat. “Kami ingin meluruskan bahwa dapatkah presiden diberhentikan akibat kebijakan atau cara memerintah? Jawabannya menurut konstitusi jelas tidak, ini yang akan kami bahas,” tegas Adit. Mengingat substansi yang hendak dibahas, panitia pelaksana tidak menyangka akan mendapatkan tuduhan makar dari Bagas hanya lantaran karena judul poster. Menurut keterangan Adit, keterkejutan panitia berubah menjadi rasa cemas ketika tuduhan provokatif tersebut berujung pada ancaman dan aksi teror. 

Pemakzulan, Suatu Terminologi yang Sah Menurut Undang-Undang

Pemakzulan/pemberhentian presiden atau yang populer dikenal sebagai impeachment telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam Pasal 7A dan 7B. Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Mohammad Ibrahim, menyatakan bahwa mekanisme pemberhentian presiden baru ada setelah UUD 1945 diamandemen. Kemudian sistem ini diterapkan secara konstitusional pada saat Abdurrahman Wahid dijatuhkan. “Intinya, (impeachment) adalah mekanisme pemberhentian presiden yang sah secara hukum,” tegasnya.

Sedangkan secara eksplisit, tindakan makar telah dijelaskan dalam Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b dan 140 KUHP. Singkatnya, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai makar dalam maksud-maksud tertentu berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Pertama, maksud untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden, merampas kemerdekaan mereka, atau membuat mereka tidak mampu menjalankan pemerintahan. Kedua, maksud agar wilayah negara, sebagian atau seluruhnya jatuh ke pihak musuh, atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain. Ketiga, maksud untuk menggulingkan pemerintahan. Keempat, maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian. Kelima, maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerah lain. Keenam, yang dilakukan terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara sahabat. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut, tak dapat dipisahkan dari Pasal 87 KUHP yang menyatakan, “dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila ada niat yang terbuktikan dari terlaksananya permulaan pelaksanaan, dimana hal ini diatur dalam Pasal 53.”

Menengok dari naskah asli KUHP atau Wetboek van Strafrecht, Prof. Eddy OS Hiariej dalam bukunya bertajuk Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, menyatakan bahwa kata makar diterjemahkan oleh penerjemah KUHP dari kata aanslag. Menurutnya, diksi Belanda tersebut sebenarnya memiliki makna “tindakan awal suatu perbuatan”. Ia menilai kata makar digunakan lantaran sulit untuk menemukan padanan kata yang tepat untuk aanslagPemaknaan aanslag sebagai makar nyatanya menuai perdebatan menyoal apakah makar itu sama dengan aanslag, serta apa makna sesungguhnya dari aanslag itu sendiri. Hal ini terlihat dari adanya pengajuan uji materi oleh ICJR kepada Mahkamah Konstitusi yang putusannya keluar pada tahun 2018 dengan nomor perkara 7/PUU-XV/2017.

Makar, Sebuah Delik dengan Pengertian Luas

Menurut Sri Wiyanti Eddyono, Pengajar di Departemen Hukum Pidana FH UGM, perumusan delik makar memiliki pengertian yang terlalu luas. Sebagai delik politik, penerapan delik makar hampir selalu dilatarbelakangi dengan tujuan politik dari pemangku kekuasaan sehingga suatu negara mempunyai penafsiran yang luas dan berbeda-beda. Terlalu luasnya pengertian makar ini menyebabkan delik makar mudah dipolitisasi.

Sebelumnya, pada 14 Desember 2016 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengajukan Judicial Review terhadap pasal-pasal makar untuk mempersempit pengertiannya menjadi ‘serangan/attack’. Namun, MK berpendapat bahwa tidak perlu ada persempitan makna dari makar menjadi serangan. Sri Wiyanti berpendapat bahwa putusan tersebut berimplikasi pada banyaknya kasus makar yang diproses. “Bukan berarti delik makar harus dihapuskan, tapi harus ada definisi yang jelas dan limitatif,” tegasnya.

Sri Wiyanti Eddyono menyayangkan mengenai tidak adanya interpretasi gramatikal dari pasal makar itu sendiri. Merujuk pada pakar-pakar hukum yang selama ini cenderung menggunakan interpretasi historis dan doktrin-doktrin lainnya yang berkembang. Akan tetapi, skema definisi makar seharusnya dibatasi oleh pembuat undang-undang secara jelas dan limitatif, sehingga memperjelas elemen-elemen pidana dalam pasal makar itu sendiri. Hal ini diharapkan guna mengantisipasi penggunaan pasal makar sebagai pasal karet. 

Diskusi Ilmiah: Tindakan Makar? 

Guna menggolongkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana makar tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan perlu dikaji dari unsur niat dan permulaan pelaksanaan sebagai dua elemen utama dari pasal makar, sebagaimana telah disepakati oleh para ahli hukum pidana. Beranjak dari situ, Sri Wiyanti Eddyono berpendapat bahwa penggunaan topik oleh panitia penyelenggara diskusi tidak memenuhi baik unsur niat maupun permulaan pelaksanaan. “Kalau kita mau menyatakan sebuah perbuatan pidana kan harus jelas unsur deliknya, harus jelas buktinya, juga kemampuan bertanggung jawab, kesalahan, dan pertanggungjawaban pidana. Orang ini punya niat tidak? Sengaja tidak? Ada kealpaan tidak? Ada alasan penghapus pidana tidak?” terangnya terkait elemen-elemen lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sebuah tindakan sebagai tindak pidana. 

Sri Wiyanti Eddyono menambahkan bahwa mengingat makar merupakan delik yang politis, maka diharapkan penerapannya tidak digunakan secara sewenang-wenang. Pertama, MK harus dimintai untuk meninjau kembali pasal-pasal tersebut. Kedua, mendesak adanya legal reform dan peninjauan kembali kebijakan yang merupakan kewenangan legislatif. Ketiga, dikarenakan dorongan budaya demokrasi, pada beberapa negara dalam konteks penerapan hukum pidana politik tergantung pada rezim yang berkuasa, secara umum semakin demokratis suatu rezim, maka semakin jarang pula digunakan delik makar tersebut.

Penulis: Athena, Jennifer, Salwa
Editor: Mustika
Ilustrasi oleh: Selma

Leave a Reply

Your email address will not be published.