web analytics
Rasisme, Bagian Sejarah yang Belum Selesai

Rasisme, Bagian Sejarah yang Belum Selesai

-Rasisme masih terus eksis dan berkembang selaras dengan perkembangan zaman-


Beberapa minggu yang lalu, dunia digemparkan dengan sebuah insiden tewasnya George Floyd (46). Warga negara Amerika Serikat berkulit hitam yang berprofesi sebagai penjaga tempat hiburan di Minneapolis, Minnesota ini tewas kehabisan napas dalam kungkungan lutut seorang petugas di lehernya pada Senin, 25 Mei 2020.

Floyd diduga menggunakan uang palsu untuk melakukan transaksi di sebuah toko kelontong. Penjaga toko kemudian menghubungi 911 untuk menangkap Floyd. Ketika petugas tiba, tangan Floyd diborgol dan ia dijatuhkan. Salah seorang petugas berkulit putih kemudian menekan lututnya ke leher Floyd. Warga yang berkerumun di dekat tempat kejadian perkara menyaksikan Floyd memohon untuk dilepaskan karena ia tidak bisa bernapas. Namun, petugas yang menahan lehernya tersebut tidak mau melepaskan lututnya. Selama delapan menit dan 46 detik[efn_note]The New York Times, “8 Minutes and 46 Seconds: How George Floyd Was Killed in Police Custody”, https://www.nytimes.com/2020/05/31/us/george-floyd-investigation.html, diakses 1 Juni 2020.[/efn_note] Floyd berada dalam posisi demikian. Atas desakan warga, petugas kemudian memeriksa denyut nadi Floyd. Setelah diperiksa, Floyd tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ketika akhirnya petugas yang menahan leher Floyd menurunkan lututnya, Floyd dibawa ke Pusat Medis Hennepin dengan ambulans. Satu jam kemudian Floyd dinyatakan meninggal dunia.

Sehari setelah peristiwa tersebut, Departemen Kepolisian memecat keempat petugas yang terlibat dalam insiden dan petugas yang menahan leher Floyd, Derek Chauvin, didakwa atas tuduhan  pembunuhan. Dua hari setelah kabar kematian Floyd, demonstrasi pecah di sejumlah kota besar di Amerika Serikat. Demonstrasi yang terjadi di Denver, New York, dan Oakland menuntut agar keadilan terhadap kematian Floyd ditegakkan. Para demonstran juga menuntut agar kasus rasisme yang dilakukan Chauvin terhadap Floyd dapat menjadi yang terakhir. Tak hanya turun ke lapangan, protes terhadap insiden tersebut juga dilayangkan oleh jutaan pengguna media sosial Twitter. Protes dilayangkan dengan turut mencantumkan tagar #BlackLivesMatter dengan harapan agar insiden rasisme seperti yang menimpa Floyd tidak terulang lagi. 

Kematian Floyd bukanlah insiden rasisme yang pertama kali terjadi di Amerika Serikat. Insiden ini sudah terhitung yang ketiga kalinya selama 2020.[efn_note]CNN Indonesia, “Kematian George Floyd dan Puncak Amarah Warga Kulit Hitam AS”, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200530090347-134-508171/kematian-george-floyd-dan-puncak-amarah-warga-kulit-hitam-as, diakses 1 Juni 2020.[/efn_note] Sebelumnya, terjadi insiden penembakan Ahamud Arbery (25) dan Breonna Taylor (26) yang merupakan warga berkulit hitam Amerika Serikat yang ditembak oleh orang kulit putih pada Februari dan Maret 2020 silam. Peristiwa sarat rasisme di Amerika ini menunjukkan bahwa rasisme masih terus eksis dan berkembang selaras dengan perkembangan zaman.

Sejarah Panjang Rasisme

Konstruksi dari sejarah rasisme sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan peristiwa supremasi kulit putih yang merupakan penyebab terciptanya peristiwa rasisme di seluruh dunia. Pada pertengahan abad ke-15 yaitu ketika Portugis mulai mengambil masyarakat Afrika untuk dijadikan budak di luar dari wilayah tersebut, adalah awal proses dari terjadinya perbudakan jutaan rakyat Afrika di Amerika dan Eropa.[efn_note]Scott L. Malcomson, 2000, One Drop of Blood: The American Misadvanture of Race, Farrar, Straus, and Giroux, New York hlm. 152.[/efn_note] Konstruksi sosial ras kulit putih juga turut terbentuk setelah ditemukannya kulit hitam di wilayah Afrika.[efn_note]Ibid.[/efn_note] Dalam waktu yang hampir bersamaan, terjadi opresi terhadap rakyat Irlandia sebagai kunci dari perkembangan rasisme di Inggris. Hal itu turut memberikan dampak kepada rakyat Afrika dan penduduk asli Benua Amerika, suku Indian. Inggris menganggap jika Irlandia merupakan ras inferior dan dideskripsikan sebagai savage, suatu bentuk deskripsi yang pula disematkan pada masyarakat Indian nanti. [efn_note]Theodore W. Allen, 1994, The Invention of White Race, Verso, New York.[/efn_note] Salah satu bentuk kontrol sosial oleh Inggris yaitu melalui Penal Law melalui kekuasaan Protestan, pelopor dari Undang-Undang Perbudakan yang kemudian dikembangkan oleh Amerika.[efn_note]Ibid.[/efn_note] Inggris juga menghancurkan identitas kesukuan dan kekerabatan terhadap rakyat Irlandia yang tertindas, merampas lahan mereka, dan mengeksploitasi pekerja. Dalam perkembangannya strategi tersebut digunakan pula oleh Inggris terhadap suku Indian dan penduduk Afrika.[efn_note]Ibid.[/efn_note]

Rasisme terhadap suku Indian dimulai saat terjadinya King Philips’s War, perang antara pendatang Inggris dan suku Indian. Lepore dalam bukunya  The Name of War: King Philip’s War and the Formation of American Identity menyebutkan perang tersebut adalah salah satu perang paling berdarah di Amerika Utara akibat kedua belah pihak tidak segan saling membantai hingga melibatkan anak-anak.[efn_note]Jill Lepore, 1998, The Name of War: King Phillip’s War and the Origins of American Identity, Alfred A Knopf, New York hlm. 167.[/ef_note] Dapat dikatakan jika penaklukan suku Indian merupakan konstruksi awal terpenting dari terciptanya supremasi kulit putih yang terjadi akibat konteks ekonomi terkait kompetisi wilayah.[efn_note]Ronald Takaki, 1993, A Different Mirror: A History of Multicultural America, Little, Brown adn Company, Boston, hlm. 39.[/efn_note] Perkembangan dari superioritas kulit putih diperkuat selama masa kolonialisasi Amerika terhadap suku Indian dan rakyat Afrika.[efn_note]Ibid.[/efn_note] Alasan dari terjadinya penegakan supremasi kulit putih didasari oleh tiga faktor: kebutuhan akan pekerja yang murah, keinginan untuk melakukan kontrol sosial, dan ketakutan terjadinya pemberontakan.[efn_note]Philip F. Rubio, 2001, A History of Affirmative Action: 1619-2000, University Press of Mississippi, Jackson hlm. 1.[/efn_note]

Dalam perkembangannya di Amerika, banyak anggota dari generasi revolusioner menginginkan agar perbudakan diakhiri karena bertentangan dengan kebebasan dan menciptakan penindasan terhadap rakyat Afrika. Selain itu diusahakan pula pemberian akses terkait perlindungan wilayah terhadap penduduk asli Benua Amerika.[efn_note]Scott L. Malcomson, Op.cit. hlm. 174-184,[/efn_note] Di saat yang sama, Inggris sedang memulai untuk melarang undang-undang terkait perbudakan.[efn_note]Ibid.[/efn_note] Realita yang terjadi di Amerika menjadi semakin parah dengan dibuatnya Naturalization Law 1970 yang membatasi imigrasi dan naturalisasi terhadap setiap orang kulit putih.[efn_note]Matthew Frye Jacobson, 1998, Whiteness of A Different Color: European Immigrants and the Alchemy of Race, Harvard University Press, Cambridge.[/efn_note] Membutuhkan lebih dari 165 tahun sebelum Undang-Undang Imigrasi 1965 mengeliminasi ras, kepercayaan, dan kewarganegaraan sebagai dasar menjadi warga negara Amerika. Hal ini kemudian menghasilkan imigrasi penduduk berskala besar dari Asia dan Amerika Latin. [efn_note]Ibid.[/efn_note]

Perkembangan dari sejarah rasisme setelah itu masih terus terjadi di seluruh dunia. Di satu sisi perjuangan untuk terlepas dari rasisme juga terus diperjuangkan melalui Abolitionist Movement, Black Lives Matter Movement, dan berbagai gerakan lainnya yang pada akhirnya menghasilkan tatanan masyarakat yang semakin dinamis dan menerima perbedaan.

Penyebab Suburnya Rasisme

Hampir tidak ada satu alasan untuk mempercayai bahwa rasisme merupakan sifat alamiah atau hasil dari reaksi kimiawi hormon pada manusia. Berdasarkan sejarah evolusi, kemungkinan besar kelompok-kelompok manusia dengan ras berbeda tidak pernah tinggal dalam satu lokasi yang sama dan berebut sumber daya. Oleh karena itu manusia yang hidup saat ini tidak mewarisi rasisme sebagai mekanisme pertahanan diri. Namun, secara alamiah manusia mewarisi sifat berkelompok (groupist).[efn_note]William Wan, “Why Are People Still Racist? What Science Says About America’s Race roblem”, https://www.washingtonpost.com/news/speaking-of-science/wp/2017/08/14/why-are-people-still-racist-what-science-says-about-americas-race-problem/, diakses 6 Juni 2020.[/efn_note] Teori realistic group conflict dan social identity yang menekankan pada hubungan kekuasaan dan dominasi antar kelompok sosial berbeda yang berperan dalam menentukan pola permusuhan antar kelompok mencoba menjelaskan hal ini. Salam penelitian yang dilakukan oleh Sherif et al pada tahun 1961 memperlihatkan bagaimana pembentukan dua kelompok akan membuat fanatisme terhadap grup dan kebencian pada grup lain. Adaptasi evolusi akan menimbulkan reaksi naluriah terhadap anggota dari ras yang berbeda. Naluri purba manusia akan mulai menentukan manakah kelompok yang patut disakiti atau dibunuh dan akan mulai mengasosiasikan suatu kelompok dengan label tertentu. Oleh karenanya, rasisme jelas merupakan konstruksi sosial dan bukan reaksi biologis manusia.[efn_note]R Wright, “New Evidence That Racism Isn’t Naturalhttp://www.theatlantic.com/health/archive/2012/10/new-evidence-that-racism-isnt-natural/263785/, diakses 6 Juni 2020.[/efn_note]

Jika semua ras dikatakan sejajar, dapat dipastikan terdapat faktor-faktor terjadinya rasisme dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan suburnya rasisme.[efn_note]Australian Human Rights Commission, “Why Are People Racist”, https://humanrights.gov.au/sites/default/files/whyarepeopleracist.pdf, diakses 6 Juni 2020.[/efn_note]

  • Kebiasaan mengadopsi pendapat orang lain. Perilaku seseorang terbentuk sejak usia dini. Ketika kebiasaan anggota keluarga atau teman untuk mengeluarkan pendapat yang berbau rasisme, kebanyakan orang akan cenderung mengadopsi pendapat tersebut. Inilah yang membuat stereotip tentang ras-ras atau suku-suku tertentu ada di masyarakat dalam waktu yang lama.
  • Kecenderungan bergaul dengan orang dari kelompok yang sama. Kelompok yang dimaksud adalah kumpulan orang yang memiliki kesamaan latar belakang, budaya, ketertarikan, dan lain-lain. Keterikatan ini menciptakan “sense of belonging” yang penting dalam kehidupan bersosial, tetapi juga memiliki sisi negatif yaitu menciptakan jarak antar kelompok. Dalam waktu yang lama, hal ini akan menciptakan perasaan etnosentris dimana muncul perasaan bahwa kelompoknya lebih baik daripada kelompok lain. Hal ini dapat menimbulkan perasaan semacam kebencian ada orang yang berbeda dari kelompoknya sehingga cenderung membuat orang tidak dapat menghargai makna perbedaan.
  • Kecenderungan untuk menilai seseorang secara cepat. Masyarakat sering kali melabeli seseorang menurut persepsinya atau menurut stereotip yang beredar. “Dari pakaiannya, pasti dia suka musik metal,” atau “dia kuliah di Universitas X, pasti dia kaya.” Atau mungkin “dia orang Padang, pasti jago berdagang,” atau “sebagai orang Medan, dia pasti suka bicara keras.” Parahnya, stereotip yang lebih berkembang biasanya merupakan stereotip negatif seperti malas, pelit, pemarah, dan lain-lain. Padahal setiap orang adalah unik. Seseorang tidak berhak melabeli seseorang lainnya atas dasar asumsi pribadi dan stereotip, tanpa benar-benar mengenalnya.
  • Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain atas masalah yang dihadapi. Ketika seseorang marah dan merasa frustrasi, ia akan cenderung melempar kesalahan kepada orang lain. Begitupun kehidupan antar kelompok dalam masyarakat. Orang-orang yang terlihat berbeda dengannya bisa menjadi sasaran empuk pelemparan kesalahan. Misalnya ketika muncul pernyataan “para pendatang dari pulau itu merebut lapangan pekerjaan kami,” mungkin saja hal itu terjadi karena para pendatang tersebut memiliki etos kerja yang lebih baik dibanding orang lokal, sehingga lebih disukai pemberi kerja.

Rasisme di Indonesia

Rasisme merupakan fenomena yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya stereotip kesukuan, misalnya suku bangsa tertentu dianggap paling pandai berdagang, paling menarik secara fisik, paling pekerja keras, atau paling temperamental. Namun, diskriminasi paling parah dirasakan oleh orang Papua. Mereka didiskriminasikan secara masif dan struktural dalam segala aspek kehidupan, baik pendidikan, karier, maupun interaksi sosial sehari-hari. Nyaris tidak ada prasangka yang positif mengenai orang Papua, misalnya alkoholik, pemberontak, lemah secara intelektual, dan memiliki gaya hidup primitif.[efn_note]Jenny Munro, “Isu Rasisme Perlu Lebih Banyak Dibahas di Indonesia”, https://theconversation.com/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178, diakses 2 Juni 2020.[/efn_note]

Sejatinya kasus George Floyd di Amerika Serikat tidak berbeda jauh dengan rasisme yang selama ini dirasakan oleh orang Papua di Indonesia. Pengacara HAM dan aktivis pro-Papua, Veronica Koman, menilai bahwa kasus tersebut sama dengan peristiwa pengepungan dan rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016 dan di Surabaya pada 2019. Kedua peristiwa tersebut menyebabkan pecahnya amarah warga di Papua dan Papua Barat, serta beberapa kota lainnya termasuk Jakarta.[efn_note]Suara.com, “Aktivis: Kasus George Floyd di AS Tak Beda Jauh dengan Rasisme Papua”, https://www.suara.com/news/2020/06/01/075544/aktivis-kasus-george-floyd-di-as-tak-beda-jauh-dengan-rasisme-papua, diakses 2 Juni 2020.[/efn_note] Apabila George Floyd diinjak dengan lutut oleh petugas sampai meninggal, maka Obby Kogoya, mahasiswa yang berasal dari Papua, diinjak dengan kaki oleh polisi berpakaian preman di Yogyakarta. Obby dituduh hendak membawa masuk senjata tajam (panah) ke dalam asrama yang akan digunakan untuk menyerang polisi yang telah mengepung asrama. Pengepungan tersebut bertujuan untuk mencegah rencana aksi memperingati 47 tahun Pepera[efn_note]Referendum yang menyatakan persetujuan rakyat Nugini Belanda untuk bergabung dengan RI yang sarat akan kecurangan.[/efn_note] yang diselenggarakan oleh Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang terdiri dari mahasiswa Papua beserta beberapa organisasi gerakan mahasiswa di Yogyakarta pada Juli 2016.[efn_note]Addi M. Idhom, “Mahasiswa Papua Korban Kekerasan Polisi didakwa Lukai Aparat”, https://tirto.id/mahasiswa-papua-korban-kekerasan-polisi-didakwa-lukai-aparat-cleF, diakses 8 Juni 2020.[/efn_note]

Obby ditangkap bersama beberapa beberapa mahasiswa lainnya, tetapi hanya Obby saja yang ditetapkan sebagai tersangka dan diproses hukum, sedangkan yang lainnya dilepaskan. Obby diputuskan bersalah dan divonis empat bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Padahal, Obby adalah korban kekerasan aparat.[efn_note]Ibid.[/efn_note] Tidak hanya diinjak, ia juga dipukuli, dimaki-maki dengan kata-kata rasis, bahkan hidungnya ditarik bak seekor sapi. Sementara itu, aparat yang menganiaya Obby tidak pernah diadili.

Pada pertengahan Agustus 2019, terjadi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Sebanyak 43 mahasiswa Papua dituduh telah melakukan perusakan terhadap bendera negara di depan asrama. Menurut keterangan versi mahasiswa, mereka tidak tahu duduk permasalahan yang dihadapi, tetapi petugas langsung mengepung dan menyerang asrama dengan tembakan gas air mata.[efn_note]CNN Indonesia, “Kronologi Pengepungan Asrama Papua Surabaya Versi Mahasiswa”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819072043-20-422556/kronologi-pengepungan-asrama-papua-surabaya-versi-mahasiswa, diakses 8 Juni 2020.[/efn_note] Makian sarat rasisme juga dilontarkan kepada mahasiswa yang ada di asrama. Sedangkan menurut versi kepolisian, pengepungan dan penyerangan yang dilakukan terhadap asrama merupakan jalan terakhir karena mahasiswa tidak mau memberikan klarifikasi terhadap dugaan perusakan bendera di depan asrama. Setelah semalaman penuh, akhirnya sebanyak 43 mahasiswa diboyong ke Polrestabes Surabaya untuk menjalani pemeriksaan.[efn_note]Tempo.co, “Kronologi Insiden Asrama Mahasiswa Papua Surabaya Menurut Polisi”, https://nasional.tempo.co/read/1238416/kronologi-insiden-asrama-mahasiswa-papua-surabaya-menurut-polisi, diakses 8 Juni 2020.[/efn_note] Dalam pemeriksaan, seluruh mahasiswa yang dibawa mengaku tidak mengetahui perihal perusakan bendera tersebut. Kerusuhan yang kemudian menjalar ke berbagai tempat menjadi penyebab Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan pembatasan akses internet di Bumi Cenderawasih pada 21 Agustus – 4 September 2019.[efn_note]Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, “Pembatasan Akses Internet di Papua Sesuai Hukum”, https://aptika.kominfo.go.id/2019/09/pembatasan-akses-internet-di-papua-sesuai-dengan-dasar-hukum/, diakses 8 Juni 2020.[/efn_note] Kemkominfo beralasan bahwa pembatasan akses internet dilakukan untuk mencegah penyebaran hoaks di tengah keadaan yang tidak stabil.

Pemerintah beranggapan bahwa usaha yang tepat untuk mengurangi problematika rasisme terhadap Papua adalah menggenjot pembangunan infrastruktur secara masif. Selama ini Papua selalu dianggap tertinggal dalam aspek apapun dibandingkan wilayah Indonesia lainnya, terutama Jawa. Cara pandang tersebut dinamakan “tatapan kolonial” (colonial gaze) oleh Frantz Fanon, seorang ilmuwan pasca-kolonial asal Martinique. Colonial gaze adalah upaya pemerintah kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya atas wilayah jajahannya dengan memandang rakyat terjajah sebagai tertinggal, sehingga pemerintah memiliki beban moral untuk membuat masyarakat tersebut “beradab”, antara lain dengan membangun infrastruktur dan memberikan kebijakan afirmasi.[efn_note]Ligia Judith Giay, “Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua”, https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9, diakses 2 Juni 2020.[/efn_note]

Jalan Keluar dari Rasisme

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, problematika rasisme yang terjadi di dunia hingga hari ini disebabkan berbagai faktor. Dari berbagai faktor tersebut kemudian dapat direfleksikan mengenai berbagai macam solusi demi menciptakan tatanan dunia yang lebih toleran. Beberapa solusi yang mungkin perlu dilakukan yaitu; pertama, sistem hukum yang berlaku harus mendukung heterogenitas yang terdapat di tengah masyarakat. Hal tersebut berarti hukum yang ada harus menghormati dan mengakomodasi perbedaan entitas suku, ras, bahasa, dan agama yang berada di bawah naunganya. Fakta membuktikan bahwa hukum dalam beberapa kasus justru memberikan legitimasi bagi berbagai pihak untuk melakukan tindakan-tindakan rasial. Sejarah politik apartheid yang dulu terjadi di Afrika Selatan menjadi bukti bahwa hukum dapat menjadi legitimasi perbuatan rasisme. Saat itu terjadi supremasi kulit putih dan penghapusan hak pilih bagi warga kulit hitam. Ditambah lagi regulasi yang mengharuskan pemisahan tempat tinggal bagi warga kulit hitam dengan kulit putih. [efn_note]Kompas.com, “Hari Ini dalam Sejarah, PBB Mengutuk Apartheid di Afrika Selatan”, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/06/070500465/hari-ini-dalam-sejarah-pbb-mengutuk-apartheid-di-afrika-selatan, diakses 7 Juni 2020.[/efn_note]

Kedua, dalam sektor pemerintahan harus terus dilakukan perubahan baik pemerintah sebagai suatu badan dan pemerintah sebagai pelaksana tugas dan wewenangnya. Sebagai badan, tentu manajemen internal pemerintahan harus mengedepankan sikap persamaan hak dan kewajiban tanpa membedakan suku, agama, ras dan entitas lainnya. Dewasa ini, sistem manajemen internal yang mengedepankan persamaan hak disebut dengan sistem merit, yang menintikberatkan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai sebagai landasan. Dalam hal tindakan pemerintah terhadap masyarakat juga harus dilandasi oleh keadilan dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di masyarakat dan juga hak asasi manusia. Dengan harapan tidak ada tindakan rasisme dari pemerintah kepada golongan tertentu. Terlebih kenyataan bahwa aparat pemerintahan terkadang menjadi dalang terjadinya tindakan rasisme. 

Ketiga, lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi harus pula menjadi pemeran utama dalam hal menanamkan persamaan hak. Pada tahun 2018, di Inggris ditemukan kenaikan sebesar 40% kasus drop out murid karena melakukan tindakan rasisme. Angka tersebut menunjukkan kegagalan dari lembaga pendidikan dalam menanamkan sifat anti rasial kepada murid-muridnya.[efn_note]Frankie McCamley, “Murid yang Dikeluarkan Sementara Karena Bertingkah Laku Rasis di Sekolah Dasar Inggris Meningkat Lebih Dari 40%”, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50965206, diakses 7 Juni 2020.[/efn_note] Lembaga pendidikan formal terbukti sangat berpengaruh dalam mendorong terbentuknya suatu karakter individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu kewajiban untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah terhadap segala jenis entitas suku, agama, ras dan golongan lainnya. Hal ini juga menjadi tugas besar dalam pendidikan Indonesia yang kerap kali menitikberatkan “keseragaman” dalam sistem pendidikannya. Keseragaman tersebut seakan mengabaikan ciri khas dari kearifan lokal yang dijamin eksistensinya oleh konstitusi dan berbagai peraturan pelaksananya. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia tetap mengedepankan kearifan lokal sebagai bentuk penghormatan terhadap suku dan ras setempat. 

Terakhir, untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih toleran, diperlukan juga peran aktif dari masing-masing individu. Dengan adanya harmonisasi nilai kesamaan dan keadilan dalam entitas tersebut, maka kemudian individu itu sendiri menjadi instrumen pokok dalam penegakan anti rasisme di tengah masyarakat. Dengan cara menghilangkan rasa primordialisme berlebihan dan meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil tanpa membedakan suku, ras, agama dan golongan lainnya. Pada tahun 2015, Seoul Institute mengungkapkan hasil surveinya yaitu bahwa sekitar 95% dari koresponden asing mengaku mengalami diskriminasi oleh warga setempat. Survei tersebut juga menunjukkan fakta bahwa sebanyak 44.2% dari koresponden warga negara Korea Selatan tidak menganggap orang asing sebagai tetangga.[efn_note]Yantina Debora, “Diskriminasi dan Rasisme di Asia Timur”, https://tirto.id/diskriminasi-dan-rasisme-di-asia-timur-cmbm, diakses 7 Juni 2020.[/efn_note] Hal ini terjadi karena adanya sentimen meninggikan homogenitas dari negara itu sendiri. Maka revolusi pola pikir manusia menjadi sebuah elemen yang krusial dalam menghadapi krisis rasisme di dunia saat ini.

Penulis: Afnan Karenina Gandhi, Agrita Permata Sari, Megy Febrianisyah, Muhammad Eko Fakhri, Muhammad Guntur Hamonangan Nasution, Wiweko Rahadian Abyapta
Ilustrator: Selma Maulia Devani


DAFTAR PUSTAKA


Buku

Allen, Theodore W., 1994, The Invention of White Race, Verso, New York.

Jacobson, Matthew Frye, 1998, Whiteness of A Different Color: European Immigrants and the Alchemy of Race, Harvard University Press, Cambridge.

Jill Lepore, 1998, The Name of War: King Phillip’s War and the Origins of American Identity, Alfred A Knopf, New York.

Malcomson, Scott L., 2000, One Drop of Blood: The American Misadvanture of Race, Farrar, Straus, and Giroux, New York.

Rubio, Philip F., 2001, A History of Affirmative Action: 1619-2000, University Press of Mississippi, Jackson.

Takaki, Ronald, 1993, A Different Mirror: A History of Multicultural America, Little, Brown and Company, Boston.

 

Artikel Internet

Australian Human Rights Commission, “Why Are People Racist”, https://humanrights.gov.au/sites/default/files/whyarepeopleracist.pdf, diakses 6 Juni 2020.

CNN Indonesia, “Kematian George Floyd dan Puncak Amarah Warga Kulit Hitam AS”, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200530090347-134-508171/kematian-george-floyd-dan-puncak-amarah-warga-kulit-hitam-as, diakses 1 Juni 2020.

CNN Indonesia, “Kronologi Pengepungan Asrama Papua Surabaya Versi Mahasiswa”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819072043-20-422556/kronologi-pengepungan-asrama-papua-surabaya-versi-mahasiswa, diakses 8 Juni 2020.

Debora, Yantina, “Diskriminasi dan Rasisme di Asia Timur”, https://tirto.id/diskriminasi-dan-rasisme-di-asia-timur-cmbm, diakses 7 Juni 2020.

Giay, Ligia Judith, “Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua”, https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9, diakses 2 Juni 2020.

Idhom, Addi M., “Mahasiswa Papua Korban Kekerasan Polisi didakwa Lukai Aparat”, https://tirto.id/mahasiswa-papua-korban-kekerasan-polisi-didakwa-lukai-aparat-cleF, diakses 8 Juni 2020.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, “Pembatasan Akses Internet di Papua Sesuai Hukum”, https://aptika.kominfo.go.id/2019/09/pembatasan-akses-internet-di-papua-sesuai-dengan-dasar-hukum/, diakses 8 Juni 2020.

Kompas.com, “Hari Ini dalam Sejarah, PBB Mengutuk Apartheid di Afrika Selatan”, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/06/070500465/hari-ini-dalam-sejarah-pbb-mengutuk-apartheid-di-afrika-selatan, diakses 7 Juni 2020.

McCamley, Frankie, “Murid yang Dikeluarkan Sementara Karena Bertinggah Laku Rasis di Sekolah Dasar Inggris Meningkat Lebih Dari 40%”, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50965206, diakses 7 Juni 2020.

Munro, Jenny, “Isu Rasisme Perlu Lebih Banyak Dibahas di Indonesia”, https://theconversation.com/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178, diakses 2 Juni 2020.

Suara.com, “Aktivis: Kasus George Floyd di AS Tak Beda Jauh dengan Rasisme Papua”, https://www.suara.com/news/2020/06/01/075544/aktivis-kasus-george-floyd-di-as-tak-beda-jauh-dengan-rasisme-papua, diakses 2 Juni 2020.

Tempo.co, “Kronologi Insiden Asrama Mahasiswa Papua Surabaya Menurut Polisi”, https://nasional.tempo.co/read/1238416/kronologi-insiden-asrama-mahasiswa-papua-surabaya-menurut-polisi, diakses 8 Juni 2020.

The New York Times, “8 Minutes and 46 Seconds: How George Floyd Was Killed in Police Custody”, https://www.nytimes.com/2020/05/31/us/george-floyd-investigation.html, diakses 1 Juni 2020.

Wan, William, “Why Are People Still Racist? What Science Says About America’s Race roblem”, https://www.washingtonpost.com/news/speaking-of-science/wp/2017/08/14/why-are-people-still-racist-what-science-says-about-americas-race-problem/, diakses 6 Juni 2020.

Wright, R., “New Evidence That Racism Isn’t Naturalhttp://www.theatlantic.com/health/archive/2012/10/new-evidence-that-racism-isnt-natural/263785/, diakses 6 Juni 2020.

 

One thought on “Rasisme, Bagian Sejarah yang Belum Selesai

Leave a Reply

Your email address will not be published.