web analytics
(1/2) Filsafat dalam Kilauan Safir Biru

(1/2) Filsafat dalam Kilauan Safir Biru

Sama seperti batu-batuan, manusia tidak tiba-tiba muncul di muka bumi. Manusia punya keluarga. Manusia modern yang kita kenal saat ini sebagai Homo sapiens adalah spesies terakhir dari genus Homo yang masih tersisa. Seluruh kerabat satu genus kita sudah punah, namun spesies kita tetap bertahan. Kerabat terdekat manusia yang masih bisa kita jumpai sekarang antara lain simpanse, gorila, dan orang utan. Manusia tercipta dari perjalanan panjang evolusi makhluk hidup di alam semesta. Bermula dari organisme bersel satu, kini manusia bertahta sebagai mamalia paling cerdas.

Sekarang sedang musim liburan semester. Biasanya aku sering mengunjungi kawan-kawan SMA saat kembali ke kampung halaman. Salah satu kawan yang tidak pernah terlewat untuk aku kunjungi adalah Santi. Rumahnya cukup dekat dengan sekolahku dulu. Tiap berkunjung ke rumah Santi, sering kali ada beberapa kawan lain yang ikut. Namun, dikarenakan sebagian dari circle kami masih ada yang menjalankan ujian akhir semester, maka kali ini aku ke sana sendirian.

Baru tiba beberapa menit di rumah Santi, ia langsung melemparkan pertanyaan, “Cincin apa yang kamu pakai? Nampaknya batu permata yang menjadi mata cincinnya sangat bagus.” sambil menunjuk ke arah kedua jari manisku.

“Yang ini namanya blue sapphire. Diikat dengan cincin perak. Batu ini berasal dari Burma yang mana sekarang kita mengenalnya sebagai Myanmar. Sementara itu, yang satunya adalah chrysocolla. Masyarakat kita lazim menyebutnya batu bacan karena ia memang berasal dari Pulau Bacan. Kalau yang ini sih cincinnya terbuat dari aloi,” jawabku.

Setelah aku cukup bersemangat memperkenalkannya, Santi kembali bertanya: “Kenapa sih kamu suka sekali mengoleksi batu-batu itu? Kenapa tidak cukup satu atau dua saja untuk dipakai sehari-hari?”

“Awalnya aku mengoleksi batu hanya sekadar untuk iseng. Secara lebih praktis, mungkin hampir sama seperti kamu yang sekarang memakai cincin white topaz kesayanganmu itu, aku memakai perhiasan batu permata juga dengan tujuan fashion,” ungkapku.

“Tapi, aku hanya memakai satu batu permata yang diemban cincin emas. Ini cukup jauh berbeda denganmu yang punya lebih dari seratus jenis batu permata!” tegasnya. “Hal yang membuatku heran sih mengapa kamu tidak memilih mengoleksi prangko, kartu remi, atau lukisan? Apa hal istimewa sehingga kamu lebih memilih untuk mengoleksi bebatuan itu?”

“Kita bisa belajar banyak dari batu permata, Santi. Batu permata hanya akan menjadi sebatas perhiasan –dan potongan kerikil warna-warni hanya akan menjadi sebatas pajangan– apabila kita memaknainya biasa-biasa saja. Namun sebenarnya, material keras berbagai jenis itu tidak hanya sekadar bisa dijadikan perhiasan atau pajangan. Lebih dari itu, memaknai batu-batuan itu bisa sama artinya dengan berfilsafat tentang hidup manusia,” sahutku.

Santi sudah mengambil ancang-ancang. Rasanya sekarang ia sedang bersiap mendengarkan ocehanku soal filsafat lagi. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Di sela-sela obrolan santai kami, memang tidak jarang aku membahas hal berat seperti ini. Beruntung sekali, Santi sudah terbiasa dan selalu terbuka dalam mendiskusikan berbagai hal rumit.

“Kalau begitu, pelajaran apa yang bisa kita dapat dari memaknai berbagai batu-batuan itu? Apakah kamu mulai tertarik soal gemology dan ingin membicarakannya terkait dengan kehidupan manusia?” tanya Santi.

“Kita dapat membahas banyak hal dari situ. Aku akan mengaitkannya dengan hidup manusia.”

“Baiklah, silakan dilanjut.”

Pertama, batu-batuan adalah material pertama yang dijadikan bahan dasar pembuatan segala jenis benda oleh manusia. ‘Manusia purba’ awalnya hanya bertangan kosong menangkap binatang buruan dan mengumpulkan tanaman untuk makan. Kemudian, manusia purba ini menemukan cara lain: mereka menciptakan alat. Peralatan batu pertama yang awalnya masih kasar semakin membaik seiring perubahan zaman dan perkembangan pola pikir manusia purba. Mereka berhasil menciptakan berbagai peralatan batu yang lebih halus dan estetik. Pengalaman dari generasi sebelumnya membuat manusia purba semakin mengembangkan perkakasnya.”

“Wah, keren banget, ya, si manusia purba!” sahut Santi penasaran.

“Dampak paling besar dari kejadian ini adalah munculnya kesadaran. Famili Hominidae yang pada awalnya belum memiliki kesadaran tentang dirinya secara tiba-tiba mendapat perubahan baru pada manusia purba.”

Kesadaran apa yang kamu maksud?”

Sadar tentang eksistensinya,” kataku. “Sebelum adanya manusia, setiap makhluk hidup bekerja dan hidup secara alamiah melalui instingnya. Tumbuhan dan hewan tidak menyadari akan kehadiran dirinya. Namun, sejak manusia purba ini berhasil menciptakan benda, ia berhasil sadar tentang dirinya. Manusia purba ini menyadari bahwa ia bukanlah sekadar bagian dari alam semesta, tetapi ia juga berdiri berhadapan dengannya. Melalui keberhasilannya merubah alam secara sederhana lewat pembuatan peralatan dari batu, ia sadar bahwa ia dapat merubah dunia. Keajaiban yang belum pernah disadari makhluk hidup manapun sebelumnya.”

“Jadi, dari hal sepele seperti membuat batu, manusia purba bisa merintis menjadi makhluk paling cerdas?”

“Benar sekali.”

[metaslider id=3964]

Santi menjeda sebentar. Katanya ia harus membawa jus jeruk dan kue kering tiap kali harus mendengarkan ceramahku. Beberapa menit kemudian ia kembali datang menuntut kelanjutan.

“Ceritakan lagi apa yang bisa aku pelajari dari batu-batuan itu.”

Setelah lima tahun berteman dan tiga tahun cukup dekat, rasanya baru pertama kali aku melihat raut wajah Santi yang sangat antusias dalam membahas hal semacam ini. Aku segera melanjutkan.

Kedua, hal yang bisa kamu pelajari adalah keberagaman dan keunikan dari masing-masing individu. Setiap batu memiliki keunikan masing-masing sehingga tiap batu adalah istimewa. Safir dapat memantulkan cahaya bintang, rubi dapat memancarkan kilauan kilat, dan zamrud dapat bersinar dengan warna kehijauan yang indah. Namun, kita tidak akan pernah menemukan dua safir identik antara satu dengan lainnya. Safir pun dapat memiliki variasi warna seperti biru, putih, kuning, hingga ungu. Begitu juga dengan manusia. Baik secara fisik maupun pemikiran, manusia selalu membawa karakteristik masing-masing. Tidak ada manusia yang identik dengan kemiripan seratus persen.”

“Bagaimana dengan berlian dan batu kerikil di jalanan? Apakah tiap manusia ditakdirkan agar sebagian bernilai dan sebagian lainnya tidak?” tanya Santi mencecar.

“Sebelumnya kita membahas manusia dalam kategorinya sebagai individu yang unik. Sedangkan pertanyaan ini lebih cocok kalau dikaitkan dengan moralitas manusia. Mengapa berlian sangat berharga? Tentu karena ia adalah mineral karbon murni yang paling langka. Sebagai batu permata termahal, berlian juga dikaruniai berkat sebagai batu terkuat di dunia. Maka tidak heran kalau mata bor di setiap pertambangan besar selalu menggunakan berlian sebagai material utama. Lantas mengapa batu kerikil yang berserakan di jalan dianggap kurang berharga? Sebab mereka biasa saja sehingga tidak menarik minat sebagian besar manusia.”

“Jadi, maksudmu berlian itu adalah mereka yang bermoral sementara kerikil itu adalah mereka yang belum bermoral?”

[metaslider id=3995]

“Berlian ibarat seseorang yang bijaksana. Ia menjadi kuat dan bernilai karena kebijaksanaannya. Sayangnya orang seperti ini langka layaknya berlian. Di bawah berlian terdapat bermacam-macam batu terbaik lain seperti safir, rubi, dan zamrud. Bermacam-macam batuan itu juga dapat kita maknai sebagai representasi dari kadar kebijaksanaan yang berbeda pada setiap manusia. Sementara itu, kita bisa asumsikan bahwa kerikil di sini adalah mereka yang belum dianugerahi kebijaksanaan.”

“Hmmm. Menarik banget. Aku baru kepikiran loh kalau ternyata kita bisa berbeda-beda kayak batu,” tutur Santi.

Beberapa menit kemudian aku mulai menjeda pembicaraan. Aku mengingatkan Santi untuk memberi makan Chio, kucing kesayangannya. Di tengah-tengah kegiatan mengurus kucing, kami kembali melanjutkan perbincangan.

“Terus, apa masih ada lagi? Aku masih penasaran nih,” sambung Santi.

halaman selanjutnya →

Leave a Reply

Your email address will not be published.