web analytics
Pelemahan KPK dan Obstruction of Justice Para Koruptor dalam Pusaran Kelembagaan Negara

Pelemahan KPK dan Obstruction of Justice Para Koruptor dalam Pusaran Kelembagaan Negara

Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi buah bibir masyarakat luas menjadi fokus topik utama PUKAT dalam menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Akhir Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi” yang digelar Kamis (6/3) Sore. Diskusi ini memperdengarkan pendapat beberapa narasumber antara lain Asfinawati (Direktur YLBHI), Susi Dwi Harijanti (Guru Besar FH UNPAD), Zainal Arifin Mochtar (Dosen Tata Negara FH UGM dan Dewan Penasihat PUKAT), dan Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW).

Jalannya diskusi dimulai dengan pembahasan mengenai keluarnya Putusan MK nomor 79/PUU-XVII/2019 yang menolak Judicial Review uji formil terkait revisi UU KPK, serta Konferensi Pers KPK mengenai hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan beberapa waktu yang lalu membuat gempar publik. Asfinawati menyatakan bahwa revisi UU KPK beriringan dengan pemilihan Pansel Pimpinan KPK yang bermasalah. Ia menilai beberapa diantaranya memiliki konflik kepentingan dengan pihak yang selama ini menyerang KPK.

Tak sampai disana, Asfinawati juga mengatakan bahwa setelah Pilpres berakhir, kedua kubu yang sebelumnya selalu berselisih, pada saat memilih Pimpinan KPK mereka bersatu dan ada 56 anggota DPR yang bulat suaranya untuk memilih Pimpinan KPK saat ini. Hal ini dijadikan dasar penilaiannya bahwa demokrasi telah runtuh karena tidak ada check and balances

Ia menjelaskan bahwa hal tersebut berkemungkinan besar terjadi sebagai sebuah skema balas dendam koruptor. ”Yang kita saksikan saat ini adalah penuntasan skenario serangan balik para koruptor dengan KPK dikuasai dari luar dan dari dalam”, ujarnya.

Perempuan yang sekarang menjabat sebagai Direktur YLBHI juga menegaskan bahwa skenario itu sebenarnya sudah dimulai bertahun-tahun yang lalu. Menurutnya,  tindakan tersebut merupakan obstruction of justice dengan para koruptor bertujuan ingin mengembalikan keadaan Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang penuh praktik kotor pemerintahan. 

Guru Besar FH UNPAD, Susi Dwi Harijanti menekankan pentingnya prosedur yang harus dijalankan DPR untuk membuktikan justifikasi dari pembentuk undang-undang terkait hasil guna dan daya guna proses pembahasan UU KPK. Ia menguraikan ada empat elemen Procedural Justice yang harus dipenuhi pembentuk undang-undang. Susi mengkritisi argumentasi-argumentasi MK pada putusannya yang dianggap tidak reasonableness

Menurutnya, norma dan penjelasan untuk pengujian formil MK tidak mampu memberi justifikasi tujuan dari DPR. Selain itu, Susi juga mempermasalahkan perihal pengingkaran meaningful participation oleh MK sendiri, masalah rational acceptability antara DPR dan rakyat, serta MK yang dirasa berat sebelah. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi rakyat Indonesia yang tidak lagi mempunyai kebebasan dengan dikeluarkannya Putusan MK tersebut.

 Diskusi kemudian disambung dengan pemaparan Zainal Arifin Mochtar yang menerangkan jika ditelusuri lebih dalam, beberapa putusan yang dikeluarkan MK belakangan selalu kikuk dan gagu ketika berhadapan dengan kepentingan politik. Belum pernah sekalipun ada putusan MK bisa berhadapan dengan politik secara gagah. Tabiat pengujian undang-undang bermodel seperti ini menurut Zainal menunjukkan kepada masyarakat sebagai matinya KPK dan MK. 

Ia menilai putusan tersebut merupakan afirmasi, pembuktian nyata MK lembaga yang berantakan dengan mencari pembenarannya sendiri. ”Putusan MK sebenarnya hanya memperlihatkan ada politisasi di MK dan putusan ini diambil secara politis bukan hukum.” tuturnya. 

Lebih lanjut, Kurnia Ramadhana memaparkan bahwa tidak hanya MK saja, namun terdapat banyak pihak yang terlibat. Sebab Presiden yang memiliki power lebih pun tidak mau turun tangan menggunakan Perppu. Kurnia tak menampik bahwa hal tersebut juga disebabkan oleh adanya faktor historis dimana DPR sejak tahun 2010 berusaha mengebiri KPK, dan bahkan internal KPK ikut serta melemahkan kekuasaan KPK dengan adanya Tes Wawasan Kebangsaan. 

Menurutnya, Tes wawasan Kebangsaan juga menjadi salah satu indikator yang berpeluang besar untuk menyapu jagad orang-orang “bersih” di KPK. ”Punggawa-Punggawa KPK yang punya rekam jejak panjang dikalahkan dengan Tes Wawasan Kebangsaan yang sangat konyol yang dilakukan hanya beberapa jam, dan ada 75 orang penyidik KPK yang menyelidiki perkara Bansos, KKP, dan E-KTP disingkirkan Tes Wawasan Kebangsaan,” terangnya. 

Pelemahan tersebut, menurut Zainal dikategorikan sebagai perfect crime, disusun sedemikian rupa yang mana MK termasuk bagian dari hyper criminality. “Ini petaka luar biasa, saya meyakini ini bagian dari konspirasi. Benar tidaknya kita lihat saja apakah memang dijadikan alat pemusnah bagi teman-teman yang menangani perkara yang begitu banyak dan ini sudah dirancang sedari awal”, pungkasnya. 

Penulis: Sekar

Penyunting: Akmal

Foto: Mahkamah (2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published.