BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Kamis (23/1), Aksi Kamisan Jogja (@aksikamisanjogja) menyelenggarakan peringatan 18 tahun Aksi Kamisan di area Tugu Yogyakarta. Aksi ini diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat yang merasa kecewa atas tidak adanya tindakan pemerintah untuk mengusut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masa lampau. Peringatan 18 tahun Aksi Kamisan diisi dengan orasi, penampilan puisi, dan monolog yang disampaikan oleh berbagai orator, mulai dari akademisi, mahasiswa, serta perwakilan dari organisasi hukum.
Massa mulai memadati Tugu Yogyakarta pukul 16.00 WIB. Terlihat seorang lansia asal Gunungkidul, Bu Warni, membagikan selebaran sebelum berlangsungnya aksi. “Saya nggak senang ada anak nggak bersalah ditembak sama polisi,” ungkap Bu Warni saat ditanya alasannya menyebarkan selebaran.
Banyak mahasiswa dari berbagai kampus turut hadir memadati area sekitar, salah satunya adalah Yahya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang telah beberapa kali mengikuti aksi kamisan. Ketika ditanya mengenai latar belakang tindakannya, Yahya menjelaskan bahwa Aksi Kamisan merupakan bentuk kepedulian terhadap kondisi bangsa, “Bukan sekedar memperingati puluhan tahun Wiji Thukul hilang, ini adalah bentuk keseriusan untuk menyelesaikan ini. Orang yang ikut Kamisan adalah orang yang peduli pada kondisi bangsanya.”
Pukul 16.30 WIB, aksi dimulai dengan pembacaan puisi dan orasi dari berbagai orator. Salah satunya adalah orasi yang disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar, kerap dipanggil Uceng, seorang pengajar Hukum Tata Negara (HTN) di FH UGM. Uceng menyampaikan pandangannya dalam melihat Peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan. Bagi Uceng, bukan hanya menjadi simbol perlawanan yang tidak akan pernah padam, 18 Tahun Aksi Kamisan juga menjadi penanda abainya rezim terhadap rakyatnya. “[Peringatan-red]18 tahun [Aksi Kamisan-red] adalah simbol beberapa rezim yang tidak bergerak sama sekali dan tidak mau melakukan apa-apa. Negara menganggap ini bukanlah hal yang penting,” pungkasnya.
Hal yang selaras juga diutarakan oleh Omar, salah seorang orator yang merupakan pengajar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Omar menuturkan bahwa peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan merupakan bukti bahwa pemerintah telah mengabaikan korban dan mengacaukan demokrasi negara. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya mampu mengusut para pelaku pelanggaran HAM, tetapi pemerintah lebih memilih untuk tidak peduli atas peristiwa tersebut, “18 tahun bagi kita adalah hal yang buruk, artinya, bagaimana pemerintah mengacuhkan [disesuaikan dengan konteks: tidak mengacuhkan-red] korban dan mengacaukan demokrasi negara.”
Aksi dilanjutkan dengan penampilan puisi oleh Rey, seorang mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suara sirine dari pengeras suara yang ia bawa mengiringi tiap bait puisi yang dibacakan, “Hari ini kita adalah angkatan darurat,” ungkap salah satu baris puisinya. Angkatan darurat yang dimaksud oleh Rey merupakan seluruh rakyat Indonesia yang masih memiliki kesadaran atas kasus pelanggaran HAM sebagai dosa pemerintah Indonesia di masa lampau.
Orator lain yang merupakan perwakilan dari Aksi Kamisan Jember mengisi orasi dengan menceritakan pengalamannya saat melakukan riset putusan pelanggaran HAM. Ia mengaku hanya menemukan 9 (sembilan) putusan yang dipublikasikan. Padahal, kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia lebih dari jumlah tersebut. Menurutnya, putusan pelanggaran HAM justru dapat digunakan sebagai media bagi masyarakat untuk mempelajari terkait kasus pelanggaran HAM. Namun, tampaknya tindakan pemerintah yang tidak memublikasikan putusan tersebut makin membuktikan bahwa pemerintah abai terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat.
“Negara bukan tidak mampu dengan alat-alatnya dan dengan undang-undangnya, negara hanya tidak mau [menuntaskan kasus pelanggaran HAM-red], HAM di Indonesia itu omong kosong,” seru orator dari Aksi Kamisan Jember. “Kalau negara tidak mau mengadili, kita harus mengadili [sendiri-red] dengan pengadilan warga,” ia menambahkan.
Di luar isu HAM, peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan juga mengangkat isu terkait usulan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dalam mengelola tambang. Usulan pemberian konsesi tambang terhadap perguruan tinggi dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengendalikan masyarakat sipil. Akibatnya, kebijakan tersebut berpotensi menundukkan sikap kritis mahasiswa dan para akademisi terhadap isu serta kondisi genting yang terjadi di Indonesia.
Usulan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi juga memberikan dampak yang tidak didasari keberpihakan terhadap masyarakat. Cita negara demokrasi yang kerap digaungkan memberi kesan bahwa eksistensi masyarakat bukan sekadar sarang keuntungan bagi para pembuat kebijakan. Idealnya, pemerintah serta para pemangku kebijakan ada untuk menciptakan harmoni dalam kenegaraan untuk menjamin kesejahteraan kehidupan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sungguh disayangkan, keberadaan pemerintah dan pemangku kebijakan saat ini tidak dapat dirasakan masyarakat, terbukti dari maraknya upaya pengendalian yang menyebabkan terputusnya hak masyarakat untuk menyuarakan ketidakadilan, permasalahan, serta kepentingan rakyat yang dinilai bakal merugikan pemerintahan.
Aksi Kamisan pada dasarnya merupakan sarana untuk menyuarakan ketidakadilan, menuntut kebenaran, dan menyampaikan kritik. Salah seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM yang menyampaikan orasi, Amalinda Savirani, juga berharap agar keberadaan aksi diam tanpa kekerasan ini diharapkan terus berjalan hingga bertahun-tahun lamanya. Peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan bukan sekadar aksi momentum ataupun aksi yang dilakukan karena ditunggangi kepentingan politik, lebih dari itu, ia menjadi bukti bahwa perlawanan masyarakat tidak pernah berhenti. Melengkapi Amalinda, perwakilan dari Social Movement Institute (SMI) turut menyampaikan bahwa Tugu Jogja hari itu telah menjadi saksi perlawanan yang dilakukan masyarakat atas dasar cinta kepada negaranya, menjadi saksi bahwa aksi yang dilakukan merupakan bentuk rasa kemanusiaan masyarakat terhadap sesamanya.
Perjuangan telah menjadi elemen penting selama 18 tahun perjalanan Aksi Kamisan. Bersinergi bersama, Kamisan selalu hadir untuk menuntut keadilan demi masyarakat. Kamisan tidak boleh lekang didera bergantinya tahun dan berlalu lalangnya beragam permasalahan sosial serta keadilan. Pernyataan perwakilan Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH UGM, Gilap Pinaka, sekiranya dapat menjadi pesan yang perlu diingat dalam upaya memperjuangkan keadilan: pergerakan mahasiswa boleh saja berhenti di suatu masa, tetapi akan menjadi dosa besar apabila hal tersebut terjadi di zaman kita.
Catatan: Kilas ini diperbarui pada Kamis, 13 Februari 2025 dengan menghapus kutipan dari Eko Prasetyo.
Penulis: Maritza Chelsea, Muhammad Faisal, Ghefira Mustika
Penyunting: Jonathan Sihotang
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah