Kantin ini penuh gaung. Kadang pula gema bersautan menyapa. Kondisi lumrah di kala para perut keroncongan berkumpul jadi satu. Perut-perut itu menunggu diisi. Diisi yang enak akan menjadi kenikmatan tersendiri. Diisi hal biasa pun cukup melegakan.
Aku menunggu makanan datang di hadapan mata, sembari menyaksikan setiap meja punya acara sendiri. Ada yang ngobrol sana-sini bersama, curhat, nge-net, sampai merenung dalam keramaian. Jangan lupakan pula beberapa kutu buku yang bisa membaca dimanapun itu.
Kini aku ada di sebuah acara meja kantin, namanya curhat. Bukan, bukan aku yang curhat. Temanku ada yang lagi galau. Bukan, bukan galau cinta-cintaan macam itu melainkan galau kuliah. Seorang dosen killer menjatuhkan nilai temanku di akhir semester kemarin. Kini dia harus rela IP-nya jatuh. Lama-kelamaan ceritanya tidak jelas. Heran, ada saja orang galau seperti ini. Makin lama meracau, aku mulai tidak memperhatikan dia. Aku memalingkan perhatianku pada orang di meja seberang jauh sana. Iya, aku merasakan tatapan matanya mengarah ke aku. Jujur, aku jadi gugup sekaligus takut dilihat seperti itu. Dia memang tidak melihatku terus. Ada kalanya ia memalingkan diri pula dengan membaca atau memperhatikan obrolan teman-teman semejanya. Ia memakai kacamata, rambutnya keriting panjang sepundak dengan kulit coklat gelap. Mengingatkan aku pada seseorang. Tidak! Kenapa aku juga memperhatikan? Butuh beberapa kali tatapan untukku mendeskripsikan ciri-ciri orang itu. Jangan-jangan dia berpikir sama sepertiku. Jangan-jangan ia berpikir aku memperhatikan dia. Aduh!
Suasana kantin mulai sepi. Tumben tidak ada yang menghampiriku untuk diajak masuk kelas. Ah, peduli apa mereka. Akhirnya para perut keroncongan sudah mulai meninggalkan arena satu per satu. Kebanyakan kembali ke gedung utama untuk masuk kelas-kelas. Yap! Kuliah siang akan segera berubah jadi ladang mahasiswa ngantuk. Kulihat temanku masih saja bergalau ria. Bercerita sambil tiduran di atas meja. Sedangkan aku masih berkutat dengan kepanikan pada tatapan seseorang di meja seberang jauh. Aku ingin segera mengalihkan perhatian temanku untuk segera ke kelas, tapi dia menolak. Ya, dosen killer akan masuk kelasnya (termasuk aku juga). Dia sebenarnya tidak mau masuk kelas si killer. Sayangnya sistem kelas acak menakdirkan mereka bertemu kembali. Sekejap aku memalingkan pada seseorang itu dan teman-temannya, sudah menghilang. Mungkin mereka sudah masuk kelas.
Ah, akhirnya dia pergi. Kini tinggal kami berdua di kantin.
“Hai!” Suara lantang itu muncul persis setelah hela nafasku. Manusia yang dari tadi memperhatikan aku kini berada dihadapanku. Temanku masih saja bercerita tidak jelas.
“Hai juga. Maaf, kamu siapa ya?”
“Wah masih muda udah pelupa nih. Payah.”
“Sori aku pelupa soal nama orang akhir-akhir ini. Aku kayaknya kamu deh.”
“Seharusnya kamu memang kenal aku. Hehe. Ya sudah, aku tinggal dulu ya. Ada kelas Adat 5. Oh iya sebelum masuk kelas cuci muka ya, mukamu pucat kusut tuh.”
“Lho? Sekelas dong. Dosennya si Killer ya?”
“Bukanlah ya. Dosen killer sudah meninggal setahun lalu.” Katanya lantang sambil berlari mengejar kawanannya. Hah? Kok aku nggak tahu. Bukannya semester lalu dia mengajar di kelas temanku ini.
Masih mencoba mengingat nama orang itu dan keganjilan tentang dosen, aku masuk kamar mandi dan hendak mencuci muka. Aku ikuti saran anak itu belum sampai mukaku di siram air, mataku terbelalak. Aku tidak mendapati bayanganku di cermin. Ganjil!
Kenapa ini? Sejak orang itu memperhatikan aku, kenapa hal yang ganjil berdatangan terus? Kenapa hal ini ikut menimpaku? Kenapa pula dikala aku sedang begini, temanku yang satu ini masih saja bercerita tidak jelas?
Aku lalu berlari menuju kelas meninggalkan temanku itu di kamar mandi. Melihat dari dalam, ternyata dosen pengajar bukan si killer. Berarti benar kalau si Killer sudah meninggal. Tapi kenapa aku tidak tahu. Kembali aku melihat jadwal kuliah baru semester ini. Tahun 2014. Hah? 2014? Tapi kalender di samping ruang kelas bertuliskan 2015. Ada apa ini?
“Kenapa mukamu aneh begitu? Berisik lagi.”
“Hei, kamu tahu, dosen killer sudah meninggal setahun yang lalu. Intinya kamu bohongi aku kalau dosen killer bikin nilaimu jatuh semester kemarin. Iya? Gitu? Ada yang bisa kamu ceritain tentang apa yang sedang terjadi?”
“Tenang. Aku jelasin dari awal. Kamu itu sudah meninggal setahun lalu. Bareng aku dan juga si Killer. Hahaha. Kamu nggak inget ketika aku membunuhnya di kelas sebelah ini? Hahaha”
Hah? Aku tidak habis pikir. Aku sudah mati?
“Masih bungung? Hehe. Setahun lalu diawal semester baru, tepat setelah kelas Adat 5 selesai aku berniat mengajak si Killer berkompromi soal nilaiku. Ternyata dia menolak mengklarifikasi. Aku ambil saja pisau yang aku siapkan dari tadi di saku celana. Haha. Aku berhasil menggorok lehernya. Sayang sekali kamu melihat, jadi demi menghilangkan jejak aku gorok juga kamu disitu. Di pintu masuk. Sialnya hal ini diketahui satpam, terpaksa aku kabur lewat jendela. Bodohnya aku lupa ini ada di lantai 3. Aku ikut mati juga. Selesai. Ada yang mau ditanyakan?”
“Lalu siapa tadi orang yang bisa melihat aku ini? Aku kan bukan manusia lagi.”
“Dasar pelupa! Itu adik kembarmu. Hubungan kalian sangat erat kok. Mungkin karena itu kamu tidak begitu melupakannya. Sudahlah, hadapilah takdir sebagai arwah penasaran. Masuki semester baru.”
Sial! Ini gara-gara orang ini. Orang yang aku kira adalah teman. Rasakan ini.. HIIAAT!
Sepi. Sepi sendiri. Aku hanya berteman manusia brengsek satu ini. Eh, maaf bukan manusia tetapi arwah penasaran. Sebenernya bukan arwah penasaran juga. Dia adalah setan! Dia jahat!