Dingin. Cuaca menjadi lebih ekstrim pada setiap detiknya. Menyakitkan. Jatuh itu sakit rasanya, lebih sakit lagi ketika tidak ada kesanggupan baginya untuk bangkit.
‘Masih berapa lama lagi waktuku?’
37 menit terakhir
Nafasnya memburu. Udara dingin tak lagi membuatnya lebih baik. Ia menangis dalam diam. Berusaha memasukkan sebanyak-banyaknya udara melalui hidungnya. Tapi tak bisa, udara seakan semakin menipis demikian detik berjalan.
Batinnya mengutuk mereka. Hal seperti ini tidak akan terjadi padanya jika mereka tidak mengajaknya ke tempat yang memicu sesak nafasnya. Hal ini tidak akan terjadi jika bukan karena satu perempuan yang bisa jadi ia benci seumur hidupnya.
29 menit terakhir
Keputusan sepihaklah yang membuatnya terjatuh di tempat seperti ini. Inikah penghargaan baginya?
Setelah berbagai hal yang ia capai.Apakah ini balasannya?
Tetesan air jatuh sedikit demi sedikit kemudian beramai-ramai menyerbu bumi, hujan datang menimbulkan kegaduhan, merecoki sepi.
Hari ini kakaknya mendapat semua perhatian dari kedua orang tuanya. Tidak ada yang spesial di hari ini. Irin tidak berulang tahun. Irin tidak mendapat penghargaan baru ataupun prestasi baru, kenyataannya memang tidak pernah. Segala hal yang dilakukannya hari ini adalah memasak kue.
15 menit terakhir
Waktu tak karuan menggerogoti sisa hidupnya, tetapi ia tak dapat menghitung semua itu. Count down telah dimulai. Dalam gemetar ia memberikan dirinya sendiri sugesti, untuk tetap percaya bahwa semuanya baik-baik saja dan akan baik-baik saja.
Perlahan hatinya luruh oleh hujan, seperti bilur-bilur lukanya, kakinya yang tertusuk batang kayu. Hujan justru terasa memberi kehangatan untuk hatinya yang begitu dingin.
Ia berbeda dengan Irin. Bukan melebih-lebihkan, memang fakta bahwa ia berbeda dengan Irin. Irin tidak akan bisa menjadi seseorang sehebat dirinya. Satu hal yang dimiliki Irin hanyalah senyum yang tak pernah pudar dari mulutnya yang membuat dirinya ingin selalu merobek mulut itu.
Namun baru kali ini, Irin memandanginya seolah ingin memohon agar dirinya memberikan pada Irin 1 hari ini. Ia mulai menyesali sikap arogannya.
9 menit terakhir
Ia menatap langit yang terlihat samar di antara dedaunan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Jurang ini begitu dalam. Begitu dalam untuk dituruni walau dalam kondisi waras sekalipun. Tak meyakini dapat kembali ke dalam kehangatan keluarga yang rupanya ia rindukan. Hujan masih ramai menusuki kulitnya.
Gesekan ranting yang jatuh, duri, dan kerasnya batu, kulitnya telah merasakan semua perih itu.
1 menit terakhir
Hujan mereda. Suasanapun kian menenang. Suara jangkrik dan saudara-saudaranya mulai sayup hilang. Angin tidak berhembus menggerakkan pepohonan. Hanya terdengar nafasnya yang memburu dan rintihan sakitnya.
Inikah menit terakhirnya? Seorang pernah berkata padanya, pada saat menit terakhir sebelum kematian, manusia itu akan mendapati sebuah ketenangan yang tidak biasa.
‘Apakah aku akan mati? Ke mana orang mati pergi?’
Kylia menahan rintihan kesakitannya. Ia menutup mata, memeriksa batin. Kepasrahan sudah mulai mendominasi pikirannya.
‘Aku sudah meninggalkan Irin, Bunda, Ayah dengan cara seperti itu. Jika mereka menemukan jasadku akankah mereka menangis di pemakamanku?’ Jika bisa kembali besar rasanya ingin meminta maaf dan diberi kesempatan sekali lagi. Namun siapakah yang bisa memberikan kesempatan itu? Ia sudah kehabisan.
Samar terlihat seseorang berjalan mendekati Kylia waktu ia membuka matanya. Sekujur tubuh orang itu diselimuti cahaya yang amat terang, jurang yang jarang digapai cahaya mendadak terang. Penyelamat?
“Siapa?” Wajahnya tidak bisa diterka secara jelas.
“Satu jam saja.”
Ia tidak tahu apa yang bisa atau harus ia lakukan. Orang itu berjongkok di sampingnya dan tangan yang lembut menyentuh pelan dahinya. Semuanya menggelap.
60 menit terakhir
“Kylia.”
Ia duduk terbangun dengan keringat dingin. Ayahnya memegangi kedua bahunya tampak khawatir, sudah sejak tadi telah berusaha membuatnya bangun. Ia memandangi sekujur tubuhnya, tidak ada luka maupun goresan, kakinya tidak berdarah-darah karena tertusuk dahan pohon. Nafasnya masih memburu. Semua itu hanya mimpi, jelas hanya mimpi.
“Kylia mimpi buruk, Yah.”
Pelan setelah mencerna kata-katanya, Ayah Kylia bertanya,
“Syukurlah kalau begitu. Ayah mau bertanya, Kylia ingat hari ini tanggal berapa?”
Belum seutuhnya merasa lega karena itu semua hanya mimpi, sudah ada saja yang membuat dirinya marah. Ada apa dengan semua orang?
Ia segera beranjak dari sofa di ruang keluarga, tidak ingin mendengar kalimat yang selanjutnya akan keluar dari mulut ayahnya.
Hari sudah menjelang petang. Kylia duduk di kursi masih setengah mengantuk.
“Kylia.”
Umur panjang, barus saja dipikirkan langsung muncul. Kylia balas menatap, tidak menjawab.
“Aku membuatkan ini untukmu. Hadiah karena kamu lagi-lagi mendapat juara.”
Kylia masih tidak menjawab, namun wajahnya bertambah muram.
“Untuk satu hari ini saja, apa kamu nggak mau bersikap baik padaku? Selama ini kamu memang anak yang istimewa, apa kamu jadi begitu menderita kalau Ayah dan Bunda memperlakukan kita sama? Apa kamu nggak pernah ingin mereka memberi sebagian perhatian padaku? Bahkan untuk hari ini saja?
Seperti de javu, rentetan peristiwa berikutnya seperti berjalan lebih cepat. Kue itu terjatuh, tidak, tepatnya dilempar oleh Kylia. Irin terdiam, syok. Kedua orang tuanya datang terkejut. Kylia berteriak dan bersumpah serapah, ibunya menamparnya. Marah menggelapkan akal sehatnya, menggerakkan langkah kakinya lari sejauh mungkin dari villa, tidak ingin dikejar.
Konyol sekali dirinya dalam mimpi harus memohon-mohon seperti itu. Apa yang bisa diharapkan dari keluarga ini? Irin? Orang yang bersinar? Lelucon yang sangat lucu.
Apapun yang ia lakukan, ia tidak akan pernah mendapat perhatian lebih dari Irin. Memangnya ada apa dengan hari ini?
Suasana tiba-tiba menenang, persis seperti apa yang ada dalam mimpinya. Ingatan akan sebuah peristiwa tiba-tiba datang merasuk pikirannya, ia terjatuh duduk. Ia mencoba untuk mencerna segalanya, tapi kenyataan seperti tersangkut di kerongkongan, tidak bisa ditelan maupun dimuntahkan.
“Irin.” Sekarang ia ingat segalanya.
Di tanggal ini tepat tiga belas tahun yang lalu, saat itu Kylia masih berusia 6 tahun dan Irin 8 tahun. Kylia sudah mulai menampakkan bakatnya, semua orang gemas padanya. Itulah titik puncak kecerobohan yang dilakukukan orang tuanya. Sementara orang tuanya sibuk memamerkan dirinya pada keluarga besar, Irin berjalan keluar dari halaman rumah untuk mengejar Poci, anjing kancilnya yang lepas, tidak ada yang memperhatikannya waktu itu. Begitu semua orang tersadar, terjadi keributan di jalan, Irin rupanya tertabrak kendaraan yang melaju kencang di jalan.
Insiden itu mengakibatkan sebelah kakinya patah dan Irin mengalami pendarahan di kepalanya. Irin tidak pernah marah atas kecerobohan orang tuanya. Tidak ada satu katapun yang pernah muncul dari mulutnya untuk meminta apapun, walau semua orang tahu, seberapa pedihnya yang ia rasakan saat itu maupun semua yang terjadi sebelum itu. Sejak saat itu, orang tua mereka begitu menyesal dan tidak ingin lagi salah satu anaknya tidak mendapat cukup perhatian.
Pikiran Kylia selalu dipenuhi dengki dan rasa tidak puas, pada waktu ia kecil ia merebut perhatian dari semua orang, begitulah Kylia terbiasa dibahagiakan. Sekarang, meski prestasi yang diukirnya begitu banyak, orang tuanya secara implisit selalu memberi perhatian yang seimbang pada mereka berdua, meski Irin tidak pernah melakukan sesuatu yang istimewa. Akibat ambisinya ia sampai lupa apa yang pernah terjadi pada Irin, Kylia masih menginginkan segalanya.
Masih goyah, Kylia mencoba berdiri.
Masih berapa lama waktunya? Ia ingin kembali, entah berapa lama lagi waktu yang ia punya. Ia hanya ingin kembali meski sesaat, untuk bilang pada Irin, bahwa ia sungguh menyesal. Menyesali segala hal yang telah dilakukannya.
Ia berlari sekuat sisa tenaga yang ia miliki.
Kecemasan membutakan langkahnya, ia berlari tanpa merasakan bahasa alam. Kakinya menyandung akar yang menyundul di permukaan. Tubuhnya tak kuasa menahan keseimbangan, ia terjatuh ke jurang yang menunggunya angkuh, lagi.
Waktunya, habis.