web analytics

Memaknai Kebangkitan Nasional Jelang AFTA

Oleh : Sekar Banjaran Aji

                 Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal yang baru bagi kita, sejarahnya sebagai tonggak berdirinya organisasi pemuda pertama Indonesia yang masyur dengan nama Boedi Oetomo. Organisasi besutan Dr. Sutomo dan para mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada akhirnya menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Boedi Oetomo merupakan pelopor oganisasi pemuda lainnya hingga terbentuknya berbagai organisasi lain yang kemudian menyebarluaskan semangat kemerdekaan.

Sejarah Boedi Oetomo dapat disebut sebagai bukti bagaimana negara Indonesia lahir dari semangat pemuda. Pemuda menjadi pondasi utama bangsa Indonesia ini berdiri. Pemuda adalah penggerak, penyebar  semangat, dan petarung di garda depan untuk menjadikan negara ini menjadi kesatuan yang berdaulat. Bisa dibayangkan jika pemuda Indonesia pada masa lalu tidak pernah terbersitkan kata ‘merdeka’ mungkin saja hari ini kita masih terperangkap dalam ketiak kolonialisme.

Lantas bagaimana organisasi pemuda Indonesia sekarang? Bagaimana organisasi pemuda Indonesia sekarang harus berkontribusi bagi bangsa? Apakah organisasi pemuda masih diperlukan?

Menurut saya, organisasi pemuda hingga kapanpun itu harus tetap ada. Pemuda sebagai golongan yang paling potensial untuk berpengaruh bagi bangsa. Bukan hanya karena jumlah pemuda yang besar tapi juga karena pemuda masih mempunyai banyak tenaga dan waktu untuk berkarya. Pemuda harus menjadi partisipan pembangunan dan bukan hanya sekedar obyek pembangunan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, terdapat lebih dari 63 juta pemuda di Indonesia atau sebanyak 26 persen dari total populasi sejumlah 238 juta. Berada di kelompok usia produktif dan selalu terpapar dengan teknologi terkini, pemuda merupakan representasi dari kesejahteraan bangsa di masa kini dan masa depan.

Kondisi sekarang, menjelang Asean Free Trade Area  (AFTA) yang akan dimulai pada tahun 2015 mendatang. AFTA yang sudah dirintis sejak Bali Concord II yang diputuskan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-9 di Bali pada 2003, bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN melalui rezim investasi yang bebas dan terbuka pada 2015. Ada empat pilar yang menjadi acuan pelaksanaan AFTA : pasar tunggal ASEAN, kerja sama untuk mendongkrak daya saing kawasan, pertumbuhan yang setara, serta integrasi ekonomi kawasan dengan perekonomian global. Dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), ada lima hal yang akan menjadi komoditas liberalisasi yaitu aliran bebas barang, aliran bebas jasa, aliran bebas investasi, aliran modal yang lebih bebas, dan aliran bebas tenaga kerja terampil.[1]

Sekali lagi, dalam rangka menyukseskan AFTA yang sudah di depan mata, organisasi pemuda dituntut untuk saling bahu-membahu untuk menyiapkan pemuda agar tangguh menghadapi arus liberalisasi. Banyak sekali yang harus dimiliki pemuda Indonesia agar tetap survive dalam pusara liberalisasi antara lain adalah mengembangkan kemampuan bahasa asing, leadership, dan softskill. Selain itu menjadi pemuda yang kreatif juga dibutuhkan agar dapat mandiri menghadapi gempuran liberalisasi.

Dampak tidak siapnya bangsa diungkap oleh Ekonom senior Bank Indonesia di Jakarta, Sjamsu Rahardja.”Dengan pasar dan populasi terbesar, kita malah ketakutan hanya akan jadi sasaran banjirnya barang, jasa, dan tenaga terampil dari negeri-negeri tetangga.”[2]

Oleh karena itu, untuk memastikan Indonesia tetap bertahan dalam era AFTA dibutuhkan banyak pemuda yang cerdas dan terampil. Salah satu cara yang dapat kita mulai hari ini adalah menjadikan organisasi pemuda yang ada menjadi organisasi yang meningkatkan kemampuan pemudanya bukan sekedar organisasi pemuda yang menyebarkan ideologi golongan semata.



[1] Y.Tomi Aryanto dan Joniansyah, ‘Gamang Menjelang 2015’, Majalah Mingguan Tempo 4310/5-11 Mei 2014

[2] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.