web analytics

KPK Harus Tetap Bernyawa

Oleh : Adita Putri Hapsari

Oh, Indonesiaku. Estafet pemerintahan melulu bergulir, prahara nyatanya tak kunjung usai. Konflik internal bangsa tampak seperti siklus yang tak berpangkal pun juga tak berujung.

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Ir. Soekarno

Anggukan mantap untuk kutipan hangat Sang Pendiri Bangsa. Prahara bangsa kita sejatinya tak lagi dipendarkan oleh bangsa-bangsa asing. Individu-individu dalam lingkaran kemerdekaan Indonesia kian menjadi serigala berbulu ayam bagi bangsanya sendiri. Manusia Indonesia yang disebut-sebut merdeka tak khayal menjadi pemangsa kemerdekaan sesamanya. Bayangan fakta kian tercermin dengan adanya beberapa konflik internal bangsa. Satu yang langganan menjadi trending topic misal, sebut saja “Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Pelemahan KPK tak jarang membuat kita olah bibir masyarakat juga sekaligus olah jempol di sosial media. Oknum-oknum liar bangsa yang seharusnya bersinergi dengan KPK nyatanya telah berkali-kali melayangkan pukulan mematikannya untuk KPK. Memang, bak jeruk makan jeruk, bangsa sendiri memakan bangsa sendiri. Ternyata memang lebih baik terkotak-kotakkan identitas menjadi suatu bangsa yang kokoh daripada terkotak-kotakkan nafsu. Cicak vs Buaya, begitulah ujaran santainya (walau tak sesantai kasusnya). KPK vs Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Versus? Ya, seharusnya mereka berdua dihubungkan dengan tanda hati. Bukan versus. Namun apa daya skenario semesta Indonesia raya berkata demikian. Sudah menjadi rahasia semua makhluk dari Sabang sampai Merauke, Cicak vs Buaya adalah salah satu kasus pelemahan KPK oleh  koleganya sendiri. Kolega yang seharusnya bersinergi seperti hujan yang menyegarkan bumi dan bumi yang memantik hujan. Sayang, mereka tak bisa seromantis itu. Tak mau kalah dengan sinetron Cinta Fitri yang memiliki beberapa season, Cicak vs Buaya  juga tak hanya terjadi satu season. Setelah Cicak vs Buaya versi kasus Mr. Susno Duadji dengan Century-nya, muncullah Cicak vs Buaya versi kasus Mas Djoko Susilo dengan kasus simulatornya. Entah apa inginnya semesta,  kini situasi politik telah berhasil merancang sebuah bom yang begitu potensial untuk meledakkan Cicak vs Buaya season 3. Tepat, kawan! Budi Gunawan alias BG dan pencalonan dirinya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menjadi granat yang dapat meluluh lantakkan ibu pertiwi yang sedang mendidik anak-anaknya. Memang, BG tak lagi dinilai publik sebagai pejabat yang bersih tanpa noda. Terlebih lagi KPK dikabarkan telah memberi “tanda merah” kepada Budi. Tanda yang disebut-sebut sebagai tanda bahwa seorang pejabat publik diragukan integritasnya dalam pemberantasan korupsi. Sayang, tinta merah yang ditorehkan KPK pun pandangan publik belum membuka cakrawala renungan presiden kita untuk mempertimbangkan ulang pengangkatan Budi sebagai Kapolri. Entahlah, mungkin bagi Pak Presiden (beserta partai tempatnya dibesarkan), BG adalah satu-satunya polisi yang bersih di Indonesia atau mungkin pembesar partai tempat Pak Presiden dibesarkan “begitu kenal” dengan pribadi BG mulai dari balita hingga saat ini. Kemungkinan paling menyakitkan adalah BG termasuk donatur besar dalam pemenangan Pak Presiden beberapa saat lalu. Setelah pengorbanan KPK untuk menuangkan sedikit tinta merahnya diabaikan, rupanya KPK pun tak terima. Rugi dong beli spidol, buang-buang tinta! Mending duitnya buat nyantunin rakyat. Bak sinetron yang ratingnya tinggi dan butuh perpanjangan episode, perjuangan KPK untuk mengeksekusi tinta merahnya terus berlanjut. Dengan semangat lagu Maju Tak Gentar karya C. Simanjuntak, KPK terus ingin menyelamatkan bangsa ini dari mata rantai korupsi yang menguat dengan segera mungkin. Terbitlah, status tersangka melekat pada Budi Gunawan. Drama pelemaham KPK tak berhenti di titik tersebut. Klimaks masih jauh, kawan! Foto-foto mesra Ketua KPK Abraham Samad dengan Puteri Indonesia, Elvira, digantung-tinggikan sedemikian rupa untuk menjual isu. Tak cukup. Adapun pengakuan dari Cak Hasto (asli dari partai banteng) tentang Abraham Samad yang melobi partai banteng agar mengeksekusi keinginannya menjadi pendamping Jokowi pada Pemilihan Presiden lalu. KPK memang tak gentar. Apalagi POLRI. Tak cukup Abraham Samad yang jadi bulan-bulanan. Klimaksnya. Bambang Widjojanto (BW), wakil ketua KPK kini jadi sasaran. Bak teroris yang tak punya alamat tinggal pasti, beliau diborgol dengan sangat tiba-tiba saat mengantarkan anaknya sekolah. Sekuel kali ini benar-benar sukses membuat romantisme KPK dan POLRI hilang sama sekali. Duh, Dek! Lalu kemana rakyat harus mengadu ketika pengayom mereka masih asyik dengan event smack-downnya? Ketegangan pun mulai membuka mulutnya dengan terbata. Bertanya mengapa semesta tak berkonspirasi agar Pak Presiden sedikit memberi inspirasi tindakan pemecahan masalah ini? Bukankah Pak Presiden bertanggung jawab atas kericuhan dua koleganya ini? Retorika sore hari di Istana Bogor sejatinya terlalu normatif bagi semesta nusantara. Kami berharap lebih. Coba saja tadi Bapak ditakdirkan berkata “Budi Gunawan tidak akan dilantik menjadi Kapolri dan tidak aka nada kriminalisasi pimpinan KPK kecuali beliau memang terbukti bersalah”. Tepuk tangan! Ah, memang semua yang melawan hukum harus dihukum terlepas dari kepentingan apapun yang mendasari. Entah itu BG, entah itu BW. Tapi, ada hal yang wajib manusia-manusia Indonesia merdeka ini renungkan dan pikirkan. Rakyat kita kini bukanlah keledai dengan tali di leher yang hanya menurut ketika dituntun majikannya. Rakyat kita kini bukanlah daun jatuh yang terhempas sesui kehendak angin. Rakyat kita adalah rakyat yang (mulai) pintar. Rakyat cukup terlintas soal modus operandi. Rakyat cukup pandai untuk meninterpretasikan sekuel demi sekuel drama kenegaraan yang cukup pelik ini. Apalagi ditambah dengan beberapa sekuel drama rumit diluar Cicak vs Buaya seperti RUU KUHAP yang “dituduh” melemahkan KPK. Sejauh apapun upaya oknum-oknum berkewenangan super (dan juga bernafsu super) menonjok wajah manis KPK, sesungguhnya rakyat akan tetap bersama-sama menggalang “dana” untuk biaya “operasi plastik” wajah manis KPK yang dirusak. Rakyat akan selalu mendukung eksistensi KPK.  Rakyat sadar bahwa rakyat butuh KPK untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Cicak vs Buaya atau Cicak vs Buaya dan Banteng sejatinya hanya judul drama kehidupan. Apapun yang terjadi, sejatinya rakyat Indonesia sungguh (masih) membutuhkan KPK. Ya, kecuali semua manusia di bumi nusantara ini menjadi suci dan tau makna hidup. Sedahsyat apapun badai buatan menerpa, KPK harus tetap bernyawa, bergerak dan bersenandung senada dengan degup jantung keadilan. Seirama dengan kemaslahatan seluruh rakyat Pak Jokowi! #SaveKPK

Leave a Reply

Your email address will not be published.