Oleh : Fardi Prabowo Jati
Lakon kenegaraan selalu bisa menarik perhatian masyarakat. Bisa jadi, ratingnya mampu menggeser drama bertema serigala, harimau, atau tukang bubur yang saat ini sedang kondang dibicarakan masyarakat Indonesia. Meskipun tidak ada data yang jelas tentang hal itu. Namun, sudah terbukti bahwa konflik kenegaraan yang disuguhkan akhir-akhir ini, cukup memaksa masyarakat untuk melupakan sejenak serial drama favoritnya. Nampaknya, lakon kenegaraan yang diperankan oleh para pejabat penting negara mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat untu dikritisi.
Lakon kenegaraan akhir-akhir ini menyuguhkan skenario penuh konflik. Emosi rakyat sungguh diaduk-aduk dengan sajian yang disuguhkan negara. Terkadang rakyat dibuat tertawa bangga. Namun dilain waktu, rakyat menangis tragis melihat tokoh kesayanganya mendapat perlakukan kejam. Rakyat penasaran akan klimaks dari alur drama ini. Rakyat menunggu bagaimana perjalanan hidup pada lakon kesayangannya akan berakhir. Ada yang menghujat para tokoh yang dianggap antagonis. Ada juga yang berharap tokoh antagonis dalam suatu lakon ditiadakan, atau dibuat ada namun sengsara. Mereka lupa bahwa kehadiran tokoh antagonislah yang membuat hidup suatu lakon cerita. Tanpa tokoh antagonis maka semua tokoh akan mati dalam ketiadaan. Semua bubrah dalam ketidakteraturan. Terlebih dalam lakon kenegaraan, beda antara antagomis dan protagonis terkadang terlihat abu-abu. Masyarakatt bingung kepada siapa cercaan akan disasarkan. Banyak yang hanya ikut-ikutan manusia di sekitarnya. Lantas sebagian memilih diam.
Masyarat Indonesia belum sepenuhnya dewasa untuk memilah –milah realita dan pencitraan. Bak anak kecil yang sedang menonton sinetron yang belum sempurna mengintepretasi antara akting atau sungguhan, masyarakat menganggap semua yang disuguhkan dalam lakon kenegaraan adalah realita. Masyarakat masih cukup awam dalam membedakan realita dan pencitraan. Hal itu wajar karena pencitraan memang susah ditelisik secara langsung. Pencitraan bagaikan nafsu yang menggelora dalam hati. Meskipun tak terlihat, namun keberadaannya dapat dirasakan. Waktu yang akan membuktikan, apakah tindakan dan ucapan para tokoh dalam lakon kenegaraan adalah sebuah pencitraan atau realita yang akan diwujudkan.
Sekuel lakon kenegaraan akhir-akhir ini menampilkan kembali lakon lama yang dulu pernah menjadi pemeran utama “cicak versus buaya”. Judul yang cukup menarik yang sama ironisnya dengan ceritanya. Di kisahkan ada dua bersaudara kakak beradik. Meskipun sang adik jauh lebih muda namun eksistensinya tidak kalah dengan sang kakak. Mereka teramat dibutuhkan keluarganya untuk menjaga kelangsungan hidup orang-orang disekitarnya. Prolog yang cukup sederhana untuk sebuah metafora lakon kenegaraan. Namun di dalam lakon kenegaraan, sebagian masyarakat pasti memberikan perhatian lebih meski prolognya sederhana. Konflik dalam lakon kenegaraan ini semula berawal dari masalah yang sepele. Sesepele seorang adik yang mengingatkan kakaknya agar tetap menjaga kebersihan hati dan tidak lupa akan amanah yang diembannya. Sekali lagi, sebagian masyarakat tetap memberikan perhatian lebih meski konflik dalam lakon kenegaraan sepele. Namun sayang, momen menasihati itu diduga menumbuh-suburkan benih kebencian sang kakak terhadap adiknya. Iya, benar masih diduga. Memang begitulah hakikat lakon kenegaraan, sarat akan dugaan-dugaan karena kaburnya batas citra dan realita. Patut diduga, sang kakak beranggapan bahwa tindakan sang adik memberikan nasihat disaat sang kakak naik daun, hanyalah taktik untuk menggulingkan eksistensinya. Sang kakak (diduga) mengancam agar sang adik bersikap sopan dan tidak arogan. Ancaman itu dilakukan di depan umum dan secara tiba-tiba. Meski tidak ada norma yang melarang, tindakan itu sontak mengundang perhatian masyarat. Sudah pastilah mengundang perhatian, namanya juga lakon kenegaraan. Sang kakak berdalih hal itu wajar dilakukan, sebagaimana wajarnya seorang kakak yang mengingatkan kesalahan adiknya dimasa lalu. Apapun alasannya, masyarakat manapun akan iba terhadap sang adik yang kena marah sang kakak dijalan. Tidak hanya dua bersaudara itu yang mendapat sorotan masyarakat. Banyak yang menilai ayah dan ibunda mereka tidak pecus melerai pertikaian diantara anaknya. Bahkan mereka bungkam seakan tak peduli. Hal itu membuat masyarat menganggap mereka sebagai orang tua yang buruk.
Begitulah sebuah metafora lakon kenegaraan di panggung Republik Indonesia akhir-akhir ini. Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak kunjung rampung. Ungkapan “cicak versus buaya jilid II” masih santer dibicarakan. Banyak beredar isu politisasi oleh KPK. Isu kriminalisasi oleh Polri juga tidak kalah banyaknya. Baik KPK maupun Polri sudah pasti menyanggah tuduhan isu tersebut. Kalau mereka mengakuinya, mungkin lakon kenegaraan saat ini tidak terlalu heboh. Meskipun dua institusi penegak hukum ini beralasan bahwa yang dilakukannya wajar-wajar saja. Namun, masyarakat menganggap romantika “saling lirik” antara KPK dan Polri sudah diluar batas kewajaran nalar manusia. Pejabat KPK dan Polri bukanlah siluman. Mereka juga manusia yang masih memiliki batas wajarnya manusia. Rakyat masih menunggu antiklimaks dari lakon kenegaraan ini. Dua institusi ini harus saling berbenah diri. Jangan sampai melahirkan golongan masyarakat yang terkotak-kotakan dibawah panji KPK atau Polri. KPK maupun Polri harus bersinergi untuk menjaga dan memperkuat tugas dan fungsinya. Legitimasi dua institusi ini harus tetap terjaga. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum seperti KPK dan Polri membuat kacau tatanan sosial masyarakat.