web analytics

Gunung Kidul: Pesona dan Permasalahannya

Konsep pariwisata yang bersahabat dengan alam saat ini memang sedang diminati. Apabila Anda cukup aktif berselancar di instagram, maka tagar #janganpanikmaripiknik, #explorejogja, #jpmpjogja pastilah tidak asing lagi. Pantai, gua, air terjun, gunung, dan wisata alam lainnya memang memberi kepuasan mata tersendiri. Equlibrium, Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menangkap fenomena pariwisata ini untuk diramu menjadi topik Edisi-17 majalahnya. Equlibrium, atau yang lebih akrab disebut EQ, mengangkat tema yang berjudul “Hulu Hilir Pariwisata Pesisir”.

Peluncuran majalah diadakan Sabtu (28/3) bertempat di Djarum Hall, Pertamina Tower, FEB UGM. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi interaktif, yakni: Arif Rahman (pemilik resto dan kafe yang juga mewakili golongan investor); Sudarto (selaku Kepala Pokdarwis Pantai Krakal); Dr. Pujo S. Hargo Yuwono, M.A. (mewakili akademisi, saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM); dan dari pemerintah diwakili oleh Siti Isnaini Dikoningrum (Wakil Kepala sekaligus Sekretaris Dinas Pariwisata Gunung Kidul). Jalannya diskusi dipandu oleh Pemimpin Redaksi EQ, Nur Mutiara Sholihah Santosa.

Pemaparan awal disajikan oleh perwakilan pemerintah yakni Siti Isnaini Dikoningrum. Mulai dari  Siti, lalu dilanjutkan pembicara selanjutnya. Fokus dari sesi ini adalah wisata di Gunung Kidul. Siti menuturkan beberapa benang kusut dari masalah pariwisata yang dihadapi oleh pemerintah. Beberapa di antaranya yakni: permasalahan sedikitnya sumber daya manusia (SDM) yang diakibatkan oleh larangan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama lima tahun, konflik kepentingan ekonomi yang berkembang di masyarakat seperti pada kasus Goa Pindul, dan perlunya edukasi bagi masyarakat di sekitar daerah wisata. Hal ini tidak terlepas dari ledakan kesadaran masyarakat sehingga membuat warga di sekitar daerah potensi wisata menyerbu pemerintah untuk menjadikan wilayahnya sebagai tempat wisata. Akibatnya, perebutan sumber-sumber ekonomi tidak dapat dihindarkan.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan itu, diskusi selanjutnya mulai berkembang. Dr. Pujo S. Hargo Yuwono, M.A. menyebutkan, permasalahan perebutan itu sebenarnya bukan karena masyarakat belum dewasa, melainkan sebagai indikasi ketidakadilan. “Rebutan yang  merupakan-kalau meminjam istilah Rendra disebut ‘anarki jalanan’-adalah jawaban rakyat kecil terhadap anarki kekuasaan orang-orang besar,” tutur Pujo. Pujo juga menjelaskan, hal itu menjadi refleksi bahwa selain memberikan jalan kepada investor, jangan sampai melupakan perlindungan terhadap rakyat itu sendiri. Janganlah rakyat menjadi  penonton di kampung halamannya. Sinergi antara pemerintah, rakyat, dan investor inilah yang masih perlu diformulasikan lagi.

Untuk tidak menjadi penonton di kampong halamannya sendiri, sesi selanjutnya menceritakan bagaimana Arif Rahman selaku investor mengembangkan Pantai Indrayati. Tak hanya untuk kepentingannya, tetapi juga bagaimana Arif mengedukasi warga sekitar. Diceritakan pula perkembangan masyarakat dari yang dulunya hanya makan gaplek kering hingga sekarang kondisinya menjadi lebih baik.  Senada dengan Arif, Sudarto selaku kepala Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Krakal juga mengisahkan perjuangannya bersama warga membangun obyek wisata Pantai Krakal. Secara historis, orang yang tinggal di pesisir pantai adalah orang yang terpinggirkan dan tidak mampu mencari penghidupan di kota. Saat ini lapak pedagang telah ditata, lahan parkir sudah dibangun, dan infrakstruktur pendukung terus dilengkapi. Ketiga  hal itu menjadi pertanda bahwa mereka terus berbenah untuk Gunung Kidul yang lebih baik.

Berkunjunglah ke Gunung Kidul. Anda tidak hanya akan dapat bercerita mengenai air yang  langka, pegunungan kapur, atau ladang-ladang yang tandus. Kini Gunung Kidul mungkin saja tertulis dalam buku diary Anda tentang sensasi perjalanan wisata alam yang menarik. Sambil terus berbenah diri, pesona Gunung Kidul bisa menjadi alternatif destinasi wisata di Yogyakarta selain (tentu saja) Kraton dan Malioboro. (Hanifah Febriani)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *