Oleh: Moses Ompusunggu, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pemimpin Umum BPPM Mahkamah 2014
Gambar itu saya lihat pada awal Hari Kartini. Pukul 1 dini hari, saat mata tidak kunjung takluk pada kantuk. Saya lalu tertarik menulis ini karena gambar itu begitu menggelitik. Seperti memandang bocah yang baru tahu huruf a hingga e tapi berkoar ke ibunya tentang hukum kekekalan energi.
Singkat saja tulisan di situ. Ada tiga baris dengan huruf kapital berwarna hitam. Pada kiri atas ada lambang lembaga eksekutif mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
ALUMNIMU GITU KAMU NGGAK MALU?
Di bawahnya ada sosok yang saya tebak Megawati Sukarnoputri. Siapa lagi selain dia, yang berbaju kotak-kotak, berkacamata, ada tahi lalat di bawah bibir? Dua tangan Mega tapi usil. Entah hendak memasang atau melepaskan topeng berwajah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Sudah pasti itu Jokowi. Siapa lagi kalau bukan Jokowi? Siapa lagi lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang belakangan disoroti begitu setia kepada Megawati? Nah, justru disitu saya merasa tergelitik.
Saya bukan kritikus media visual. Saya tidak mengerti teori komunikasi massa. Tapi Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Dema Fisipol) pasti telah membayangkan, yang melihat gambar bikinan mereka kebanyakan orang-orang seperti saya.
ALUMNIMU GITU KAMU NGGAK MALU?
Pesan Dema Fisipol mungkin berangkat dari penguaran, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menegaskan pejabat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah petugas partai. Atau setelah membaca ulasan-ulasan yang intinya berkata, Jokowi terlalu setia dalam timangan putri Proklamator itu. Atau seusai melihat Jokowi diam saja, tidak membantah tuduhan itu lewat pernyataaan resmi. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono dulu, saat dibicarakan dekat dengan tokoh misterius, namanya Bunda Putri.
ALUMNIMU GITU KAMU NGGAK MALU?
Tidak lain, kalimat itu menyoroti Jokowi. Universitas kita terangkat namanya saat dia dulu menang di Pemilu. Wah, saatnya UGM berbicara nih, kata seseorang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi Gadjah Mada memimpin, tutur yang lain lagi. Belum setahun, orang-orang kita sendiri lalu berucap, kita mesti berpikir untuk malu atau tidak menjadi manusia yang sealmamater dengan Jokowi.
ALUMNIMU GITU KAMU NGGAK MALU?
Lewat ini saya bertanya kepada Dema Fisipol. Kenapa saya dan kawan-kawan lain di UGM mesti malu? Ketika masih kecil, ibu saya berkata, “Buat apa malu, kamu kan pake baju?” Hingga kini kata-kata itu masih saya pegang. Saya tidak perlu malu karena saya masih mengenakan baju. Kemana-mana tidak bertelanjang. Malu sejenis itu kah yang Dema Fisipol ingin propagandakan?
Terlalu banyak kritik mahasiswa berujung pada idealisme semu. Amat mudah kita temui sikap-sikap irasional karena terlalu ingin dianggap sebagai mahasiswa pemihak rakyat (jangan lupakan, koruptor, pengedar narkoba asal Indonesia, pembunuh berantai, juga bagian dari rakyat).
Lebih-lebih, yang disampaikan Dema Fisipol bak pedang bermata dua. Satu menusuk lawan, yang lain mengarah ke perut sendiri. Kecuali Dema hanya menyebarkan ke sesama kawan yang mengerti alasan-alasan di belakangnya. Saya mahasiswa UGM yang tolol, tolonglah diberi dalil yang rasional.
Pukul 1 pagi di Hari Kartini saya tergelitik. Lima belas jam sejak itu saya masih belum tahu, kenapa saya mesti malu punya alumni kayak Jokowi?
Bang moses memang oke !