web analytics

DOSEN HUKUM LINGKUNGAN UGM: NEGARA ABAIKAN WARGA

 

 

foto: moses/mahkamah Sebuah sepeda motor melintas di depan spanduk milik Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara Jumat, 8 Mei 2015
foto: moses/mahkamah
Sebuah sepeda motor melintas di depan spanduk milik Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara Jumat, 8 Mei 2015

SLEMAN, MAHKAMAHNEWS – Konflik warga Karangwuni dengan pengembang apartemen Uttara, Jalan Kaliurang (Jakal), Sleman, menunjukkan negara tidak serius mengatur penataan ruang. Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada Totok Dwi Diantoro menyatakan itu di Fakultas Hukum UGM, Rabu, 7 Mei 2015.

Totok menilai, pembangunan tak bisa direm karena pemerintah Kabupaten Sleman belum membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Padahal dokumen itu mesti dibuat sebagai rincian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Menurut dia, RDTR merupakan parameter peruntukan ruang.

“Kalau tidak ada (RDTR), anarki yang terjadi. Bagaimana mau melihat kalau rencana detailnya belum jelas?” tutur Totok.

Pembangunan Uttara, menurut Totok, bermasalah di izinnya. Kata dia, pengembang punya siasat mengakali aturan main pembangunan. Mulanya dinyatakan, proyek Uttara untuk membangun rumah kos eksklusif. Nyatanya pengembang mendirikan gedung apartemen berlantai 15.

Rupanya, modus itu kini marak dilakukan pengusaha. Mereka cukup hanya mengantungi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Tak perlu mengurus analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pengembang bisa leluasa membangun.

“Tidak masuk akal karena itu kegiatan yang wajib (memiliki) amdal. Model usahanya diturunkan dari yang wajib amdal jadi hanya perlu UKL-UPL,” ucap Totok.

Sudah begitu, saat mulai membangun, pengembang belum mengantungi dokumen lingkungan. Totok menyayangkan Pemda Sleman tak mengacuhkan pelanggaran itu. “Tidak ada logikanya bangunan bisa berdiri, tapi dokumen lingkungannya belakangan,” tuturnya.

Totok bahkan menuding ada “main belakang” antara pengusaha dengan pemerintah. “Ada fraud itu di pejabat Kabupaten Sleman,” kata dia.

Dia juga menyoroti kebijakan moratorium bagi pengusaha yang menghentikan pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Lewat kebijakan itu, mestinya tak ada lagi pemberian izin bagi pengusaha mendirikan penginapan.

Beleid itu, bagi Totok, tak kuasa mengendalikan maraknya pembangunan. “Moratorium itu abal-abal saja,” katanya.

Pasalnya, Pemerintah Kota Yogyakarta “meloloskan” sekitar 150 izin pendirian hotel sebelum mengesahkan aturan itu tahun 2013. “Mestinya yang 150 itu jadi bagian yang kena.” (moses)

Leave a Reply

Your email address will not be published.