(Klik di sini untuk membaca Hipotesis Dunia Adil bagian I)
Ada beberapa cara penafsiran ulang yang dapat membuat peristiwa cocok dengan konsep dunia yang adil. Seseorang dapat menafsirkan ulang hasil, penyebab, atau sifat korban. Dalam hal mengamati ketidakadilan yang terjadi pada orang yang tak bersalah, salah satu cara utama untuk mengatur pemahaman tentang suatu peristiwa adalah dengan menafsirkan penderitaan korban sebagai suatu kepatutan / kelayakan (deserving). Secara khusus, pengamat dapat menyalahkan korban karena penderitaannya atas dasar kelakuan atau sifatnya. Banyak penelitian psikologi tentang dunia yang adil berfokus kepada gejala sosial negatif berupa penyalahan korban (victim blaming) dan penghinaan korban dalam berbagai keadaan.
Sebagai contoh, beberapa saat yang lalu, penulis sempat menjumpai sebuah tulisan di sebuah forum internet Indonesia tentang gempa di Nepal ([RIP] Inikah Penyebab Gempa di Nepal?). Dalam tulisan tersebut sang penulis thread terlihat jelas melakukan penyalahan korban (victimblaming) atas kejadian gempa yang terjadi.Sang penulis thread berpendapat bahwa gempa di Nepal terjadi akibat dilaksanakannya Festival Gadhimai[1].
Pelaksanaan Festival Gadhimai memang mendapatkan protes keras dari aktivis hewan karena dinilai festival tersebut dilakukan dengan kejam. Menurut penuturan Pramada Shah, perwakilan Jaringan Kesejahteraan di Nepal, tidak semua hewan yang dikorbankan langsung mati begitu saja. Tidak semua binatang kepalanya disembelih. Beberapa binatang bahkan harus menunggu hingga 40 menit untuk mati. Binatang-binatang itu tidak hanya digorok dengan pisau besar, tetapi juga diseret dari jarak jauh. Terkadang, saat sampai di arena festival, binatang-binatang itu sudah setengah mati akibat tidak diberi makan selama dua sampai 3 hari.[2]
Apakah anda sempat geram ketika membaca tentang pelaksanaan festival Gadhimai tersebut? Apakah pelaksanaan festival itu lantas menjadikan pembenaran atas gempa yang terjadi di Nepal? Gempa dengan jumlah korban tertinggi sepanjang sejarah gempa Nepal. Sebagai sebuah karma? Jika anda setuju bahwa hal tersebut adalah sebagai, katakanlah sebuah karma, maka anda telah melakukan penyalahan korban (victim blaming), yang dilakukan dengan penafsiran sedemikian rupa dengan menyalahkan kelakuan atau sifat korban yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan gempa yang terjadi. Sebuah penyimpangan penilaian dimana kesimpulan atas orang atau keadaan, ditarik secara tidak logis.
Penilaian-penilaian serupa, penulis yakini juga sering terjadi dengan berbagai bencana alam yang terjadi selama ini di Indonesia, entah tsunami, gempa bumi, banjir, dan sebagainya.
Coba baca beberapa artikel berikut ini yang penuh dengan nuansa teori konspirasi dan “cocoklogi”: Misteri Kode-Kode Aneh Pada Tsunami Aceh; Natalan dan tsunami Aceh 2004 ; Kesaksian dari Tsunami Aceh ; ‘TRAGEDI TSUNAMI ACEH’ ; Fakta: Tsunami Aceh “hadiah Natal” dari Amerika dan Roma ; Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh Tak Tersapu Tsunami
Sekarang mari kita bandingkan pemikiran Indonesia tentang bencana dengan negara maju seperti Jepang. Jepang yang dikenal sebagai negara gempa dan angin topan membuat skema pembangunan yang mengikuti alam. Jepang membuat jalur-jalur evakuasi gempa modern termasuk membuka taman-taman yang luas di setiap titik kota untuk titik berkumpul. Jepang mendesain gedung-gedung tinggi dan perumahan dengan desain anti gempa. Jepang juga memiliki pembangkit listrik khusus saat bencana. Bahkan antisipasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib sekolah dasar di Jepang. Mungkin di dunia, hanya Jepang yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry). Di Jepang, 5 persen dari APBN mereka digunakan untuk antisipasi bencana.[3]
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulan Bencana (BPNP), anggaran bencana yang ideal adalah 1 persen dari APBN atau APBD. Namun, selama ini hanya 0,02-0,03 persen per tahun. BNPB mengantongi dana sebesar Rp 2,5 triliun per tahun untuk penanggulan bencana seluruh Indonesia. Menurut Sutopo, anggaran tersebut sangat jauh dibanding total kebutuhan penanganan bencana seluruh Indonesia yang mencapai Rp 15 triliun per tahun.[4]
Coba kemudian baca berita berikut ini :Jakarta banjir, Jokowi salahkan cuaca. Dengan melihat judulnya saja, kita sudah dapat menerka-nerka apa isi berita tersebut. Alih-alih berusaha fokus membangun infrastruktur penanganan banjir yang memadai, Jokowi (yang pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta) malah menyalahkan cuaca. Belum lagi apabila kita menyalahkan korban (victimblaming) banjir Jakarta. Entah bagaimana kabar penanganan banjir di Jakarta sekarang setelah Jokowipada akhirnya menjabat sebagai Presiden RI.
Dengan melihat kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan pola pikir yang terlihat jelas antara Indonesia dan Jepang. Jepang, alih-alih menyalahkan keadaan atau korban atau takdir atau apapun itu,lebih memilih untuk menghadapi bencana dengan antisipasi yang telah diperhitungkan dengan matang. Dengan melakukan pembangun sesuai dengan keadaan alam. Indonesia sudah sepatutnya mecontoh Jepang dalam hal ini. Lalu darimana kita bisa memulai perubahan ini? Tentunya dimulai dengan melakukan perubahan pola pikir terlebih dahulu.
(Arief Syah Putra)
[1]Festival Gadhimai adalah festival Hindu yang diadakan sekali setiap lima tahun di candi GadhimaiBariyapur, Distik Bara, sekitar 100 miles (160 km) selatan ibukota Kathmandu di Nepal bagian selatan. Perayaan ini melibatkan persembahan hewan (meliputi kerbau, babi, kambing, ayam, dan merpati) terbesar di dunia yang bertujuan menyengkanGadhimai, dewi kekuasaan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Festival_Gadhimai)
[2]http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141203095347-269-15461/mengenal-ritual-berdarah-di-nepal-dan-india/
[3]http://www.jpnn.com/read/2011/03/11/86457/Penanganan-Gempa,-Jepang-Ahlinya
[4]http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141215165008-20-18275/minim-anggaran-bencana-tak-sampai-1-persen-dari-apbn/