11:17
Belum tuntas rapat, aku harus pergi. Seorang adek angkatan sudah menunggu di luar. Hari ini kami ada janji mencari berita. Aku tersenyum yang kalau diterjemahkan kira-kira “Terimakasih sudah menunggu”. Siang itu terik menyengat. Kulit pasti menghitam-batinku. Tapi motor tetap melaju dengan kecepatan sedang ke tujuan awal.
11:42
Sampai di tempat. Sebuah sekolah. Tampak biasa-biasa seperti wahana pendidikan milik pemerintah lainnya, kumal dan berdebu. Bukan sekolah favorit tentu saja. Motor diparkir. Tengok kesana-sini kemudian senyum pada satpam. Kami orang luar, perlu basa-basi manis dan permisi halus.
11:47
Percuma sampai sini tak mendapat apa-apa. Hari Jumat sekolah pulang lebih awal. Begitu kata satpam. Aku mengamati sekolah yang halaman depannya cukup luas itu. Di bawah pohon di seberang halaman tempatku berdiri masih terdapat beberapa anak yang berbincang. Nikmatilah masa sekolahmu, nak. Di sudut lain seseorang menunggu sendiri sedang menunggu jemputan barangkali. Kami kemudian memutuskan berkeliling.
11:50
Kami memasuki kompleks sekolah. Ternyata justru mata kami yang diperdaya. Ini adalah sekolah untuk segala jenis manusia.
12:11
Apapun ada.
Lantai kotak-kotak bermotif timbul. Kalau kamu tidak paham, lantai itu adalah sandi.
Ada bengkel las di dalamnya. Mungkin dibangun dengan harapan siapapun yang keluar dari sini mereka bisa mandiri.
Ada Unit Kesehatan Sekolah (UKS) lengkap dengan dokter mata.
Dua lapangan tenis satu paket dengan netnya.
Ruang kelas dengan hanya 8 bangku.
Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.
Seolah kampus dengan titel world class university rasanya tidak ada apa-apanya.
12:11
Kami beristirahat. Kantin sekolah yang nyaris tutup kedatangan pengunjung tak diundang seperti kami.
Aku pesan susu dan rekanku pesan minuman sachet jeruk makan jeruk. Dua-duanya dingin.
12:15
Di samping kami, seorang gadis dengan tali sepatu bewarna-warni terlihat asik menggigit sedotannya. Lama kami mengobrol, tapi kenapa gadis itu diam saja? Diam
Mengapa hanya tersenyum? Senyum
Tak inginkah berbisik sesuatu? Bicara
Atau suara sengauku ini tak cukup menggetarkan gendang telingamu?
Ah, mungkin saja kau sedang membatin mengapa kaus dan jilbabku warnanya tak senada.
Tetap bertanya, mengapa hanya tersenyum.
12:44
Kami memutuskan kembali. Ada dua rapat lain yang masih menunggu. Kaki beranjak ke halaman depan tempat motor kami diparkir.
Syukur anak-anak yang aku lihat di awal tadi masih (apakah bisa disebut berbincang?) dan tertawa. Sesekali mereka tersenyum. Aku tak mengerti bahasa isyarat. Tapi aku sanggup menerjemahkan senyum itu. Mereka bahagia.
Satu anak kemudian menoleh ke arah kami.
“Mbak, sepertinya mereka sadar sedang kita perhatikan” kata rekanku.
12:45
Motor melaju jauh.
Sebuah kontemplasi hangat,
Untuk mereka yang tetap menjaga senyumnya,
Untuk aku yang selalu mengutuk senyumku,
Dan Untuk kamu yang selalu merajuk dipahami arti senyummu.
Seorang gadis yang tertawa lepas -kemudian tersenyum malu saat sadar aku memperhatikannya- telah mengilhami prosa ini. Terimakasih.
Yogyakarta, 8 Mei 2015
Hanifah F.