Fakultas Hukum UGM (30/5) – BPPM Mahkamah bersama hukumonline.com menggelar acara Workshop Jurnalistik Hukum. Bertempat di Gedung VII Fakultas Hukum UGM, acara berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 12:30 WIB. Acara ini menjadi salah satu sarana bagi mereka yang ingin mendalami teknik jurnalistik dalam penulisan hukum. Selain itu, para peserta dan narasumber juga saling berbagi pengalaman.
“Kita di sini selain menambah pengetahuan, juga bisa sharing-sharing pengalaman, kok. Jadi, santai saja kalau mau bertanya pada narasumbernya,” ujar Perlita Nathania, Project Officer pelatihan jurnalistik kali ini.
Bekerja sama dengan hukumonline.com, Mahkamah mengundang dua pembicara dari hukumonline.com sebagai narasumber, Hasyry Agustin—yang akrab disapa Riri—dan Abdul Razak Asri—akrab dipanggil Razak—pimpinan redaksi hukumonline.com. Selaku jurnalis hukumonline.com, Mbak Riri mendapat kesempatan untuk berbicara pertama kali. Mbak Riri memulai topik dengan menjelaskan tentang bagaimana proses redaksional penulisan hukum berjalan—mulai dari persiapan, wawancara, hingga penerbitan penulisan hukum ke publik. Beliau juga menegaskan perlunya kode etik di dalam penulisan hukum.
Setelah itu, Mbak Riri mulai bercerita tentang wawancara-wawancara yang telah ia lakukan. Salah satunya adalah wawancara mengenai kasus Hakim Sarpin yang sempat hangat beberapa bulan lalu. Menurut perempuan berkerudung ini, wawancara tersebut adalah wawancara paling sulit selama karirnya sebagai jurnalis hukum.
“Hakim Sarpin itu harus didekati dulu secara personal, nggak bisa ditanyain langsung soal hal yang sensitif,” aku Riri.
Sebelum melakukan wawancara, seorang jurnalis harus melakukan background check narasumber. Selain menjadi lebih siap melakukan wawancara, jurnalis juga bias mendapatkan informasi baru yang unik. “Contohnya, kami jadi tahu bahwa Hakim Sarpin dulunya adalah seorang pemain sepak bola,” ujarnya jenaka.
Narasumber yang kedua adalah Abdul Razak Asri. Razak banyak berbicara tentang bagaimana cara menulis tulisan hukum yang benar. Menurutnya, jurnalistik hukum jarang dilirik karena terkesan kaku, berat, dan membosankan. “Paradigma ini bisa dihilangkan dengan mengubah gaya penulisan agar terkesan lebih slow—tidak formal dan kaku. Namun, bukan berarti mengubah arti tulisan istilah-istilah hukum. Penggunaan istilah hukum harus ditulis seperti seharusnya agar tidak mengubah maupun menggandakan arti dari tulisan tersebut,” ujar lelaki kelahiran Bekasi ini. Menurutnya, terkadang ada penulisan hukum yang menggunakan istilah hukum yang benar, namun tempat penggunaannya salah.
“Waktu itu ada penulisan hukum yang menuliskan ‘setelah dibacakan dakwaan, sang terdakwa mengajukan pleidoi,’ padahal seharusnya urutan acara pengadilan bukan seperti itu,” ucapnya sambil tertawa kecil. Pembicaraan dilanjutkan dengan topik Berita Hukum yang Ideal. Menurut Razak, berita hukum yang ideal adalah yang dapat dipahami pembaca. Sehingga, jelas pesan yang hendak disampaikan oleh penulis. Kriteria lain adalah bila tulisan tersebut telah menjadi referensi bagi tulisan lain.
“Sebuah tulisan adalah masterpiece seorang jurnalis. Tanpa tulisan, segala persiapan dan informasi yang didapat menjadi tidak berguna. Maka dari itu, bentuk dan cara penulisan juga wajib benar,” tegas Razak.
Selesai sesi kedua, kedua narasumber menggelar sesi pertanyaan bagi para peserta, disusul dengan praktik penulisan hukum singkat. Pukul 12.30 acara ditutup dengan pertukaran plakat antara Mahkamah dengan hukumonline.com serta pembagian sertifikat bagi peserta workshop. (Faishal Fadillah Sovano)