YOGYAKARTA, MAHKAMAHNEWS – Tanggal 30 September merupakan salah satu momen yang meninggalkan noktah hitam di sejarah Republik Indonesia. Pada tanggal bersejarah itu tujuh orang perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh Tjakrabirawa yang disusupi oleh Biro Khusus PKI. Mengetahui banyak korban yang berjatuhan, Presiden Soekarno langsung memberikan mandat kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk “membereskan” apa pun yang berhubungan dengan PKI. Alhasil sekitar 1000 orang lebih dimasukkan ke dalam Mahkamah Militer Luar Biasa dan sang ketua, D.N. Aidit, ditembak mati. Keberhasilan Soeharto menumpas PKI dan diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret mengantar Soeharto ke tampuk pemerintahan Orde Baru.
Rezim Orde Baru merupakan masa ketika Pemberontakan PKI 1965 atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI (Gestapu) dengan gencarnya diperingati setiap tanggal 30 September, sampai masa akhir pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Pada era reformasi dan globalisasi ini, masih perlukah peristiwa tersebut diperingati?
“Kalau menurut saya sih sangat perlu diperingati, mengapa? Ya untuk menghindari bahaya laten komunis yang tersembunyi di banyak lapisan masyarakat,” ujar Muhammad Afif Subowo (20), seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) angkatan 2013. Menurutnya, paham komunis sangat membahayakan kedaulatan NKRI, karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. “Banyak pahlawan yang darahnya tumpah akibat ulah PKI pada tahun 1965, terulangnya sejarah kelam itu bisa kita cegah dengan memberikan pengetahuan kepada generasi baru akan buruknya komunis bagi persatuan dan kesatuan bangsa, kalau bisa dibarengi dengan pengibaran bendera setengah tiang,” ia menambahkan.
Lain halnya dengan pendapat Lery Alif Budiman (19). Mahasiswa FH UGM angkatan 2013 ini berpendapat bahwa peringatan Pemberontakan PKI tidak terlalu perlu. “Menurut saya daripada diperingati secara ‘gembar-gembor’ bukankah lebih baik kita secara aktif namun tidak hanya secara simbolis memperingatkan akan bahaya komunis pada generasi muda kita? Dengan pengajaran secara merata kita bisa lebih efektif dalam memerangi paham komunis di dalam NKRI.”
Pendapat Lery ternyata saling melengkapi dengan pendapat yang dikeluarkan oleh Alfian (20). Alfian berpendapat bahwa yang harus diperingati itu bukanlah peristiwa G30S/PKI-nya melainkan kesaktian Pancasila yang jatuh setelah peristiwa G30S/PKI tersebut. “Kalau mau memperingati, mendingan yang Kesaktian Pancasila-nya saja. Kurang cocok sepertinya jika kita memperingati hari pemberontakan namun kesaktian dasar negara sendiri tidak diperingati,” lugasnya.
Ikut memperingati, Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pun mengadakan diskusi bertema “Peringatan 50 tahun G30S/PKI: Mengharap Kejujuran Negara.” Diskusi tersebut mengundang Peneliti IRE Rajif Dri Angga, dan Ayu Diasti Rahmawati selaku dosen ilmu Hubungan Internasional UGM. Diskusi tersebut bersifat terbuka untuk semua kalangan. Secara intelek, diskusi membahas tentang bagaimana seharusnya Negara bersikap terbuka atas apa yang terjadi dalam pemberontakan G30S/PKI.
(Faishal Fadillah Sovano/MHK)
Artikel ini sangat menarik
makasih postnya yaa…