web analytics

Mereka, Pencari Kebebasan

pasung jiwa cover (1)

Judul Buku               : Pasung Jiwa

Penulis                       : Okky Madasari

Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan                       : Mei 2013

Tebal                            : 328 halaman

ISBN                             : 978-979-22-9669-3

Peresensi                    : Hanifah Febriani

 

“Seluruh hidupku adalah perangkap.

Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian  segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku.”

Prolog apik sebagai pembuka sebuah kisah. Pasung Jiwa mengawali alurnya dengan penuturan tentang seorang bernama Sasana. Sasana. Nama itu seolah menggambarkan keperkasaan. Lahir dari ibu seorang dokter bedah dan ayah yang berprofesi sebagai pengacara. Sejak usia belia, banyak lagu yang telah mahir dimainkannya dengan piano. Hidupnya nampak normal dan sempurna di awal. Kecuali satu, perangkap yang melekat pada tubuhnya.

Cak Jek. Biasa hidup di jalanan. Memetik gitar menjadi keahliannya.

Sasa. Sasa lahir karena pertemuan tak sengaja dengan Cak Jek di warung milik Cak Man. Bersama dengan Cak Jek, sosok Sasa menjelma menjadi penyanyi dangdut dengan suara merdu dan goyangan panas. Wajahnya cantik, lengkap dengan riasan dan pakaian yang menggoda. Seolah menunjukkan betapa dia ingin membuktikan totalitasnya sebagai penyanyi. Sasa dan Cak Jek menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai tujuan sama, yakni menjadi penghibur profesional.

Kehidupan Cak Jek dan Sasa berbalik arah setelah mereka mendengar kabar Marsini—putri Cak Man—yang menjadi buruh di  Sidoarjo hilang.  Cak Jek dan Sasa harus berpisah. Keduanya ditangkap polisi akibat mereka berdemonstasi mempertanyakan nasib Marisni. Bagi Sasa, perlakuan yang didapatnya selama di penjara telah membawa ketakutan yang terus tertanam dalam benaknya.

Selepasnya dari penjara, Sasa kembali ke kehidupan ‘normal’. Rambut panjangnya dipotong, style celana jeans, dan mencicipi lagi bangku kuliah. Namun pada hari pertamanya kembali ke kampus, pikirannya terus dibayang-bayangi ketakutan.  Sampai pada Sasa harus menginap di Rumah Sakit Jiwa. Di Rumah Sakit Jiwa, Sasa bisa melakukan apa saja karena dia, setidaknya, telah dianggap gila. Sasa adalah jiwa sebenarnya yang terperangkap dalam tubuh Sasana. Dengan menjadi Sasa ia telah merasa menjadi dirinya sendiri.

Untuk tetap menjaga tautan alur cerita tokoh-tokoh di dalamnya, Okky Madasari memecah sudut pandang menjadi dua. Sasa punya cerita  sendiri, begitu pula dengan Cak Jek. Jika pergolakan Sasa seputar perangkap dalam tubuhnya, lain halnya dengan Cak Jek. Cak Jek dikisahkan akan selalui dihantui dengan tatapan-tatapan mengugat. Tatapan-tatapan penuh pertanyaan mengapa dirinya terlalu pengecut, mengapa dirinya selalu kehilangan keberanian.

Pasung Jiwa adalah novel paket komplet. Isinya tidak hanya berisi tentang konflik batin dua tokoh utama. Di dalamnya terselip realita-realita sekitar seperti: isu buruh, agama, penguasa, pelacuran dan perjuangan hak. Isu-isu tadi ditata secara rapi, terbungkus dalam satu jalan cerita dengan beragam konflik yang menyertainya. Tapi muaranya tetap pada satu klimaks: tentang pencarian kebebasan.

Novel pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 ini sarat akan kritik sosial. Dalam satu  adegan, misalnya, Sasa harus jatuh tersungkur setelah menolak memberi uang keamanan kepada preman pasar. Sasa digambarkan berprinsip kuat, betapa dia tetap tidak mau mengalah dengan ketidakadilan. Detail cerita disajikan jelas dan berdasar pada riset yang cukup.

Satu hal menarik dari Pasung Jiwa adalah pertanyaan Sasa kepada Tuhan untuk orang-orang sepertinya, “Mereka bilang aku melawan takdir Tuhan. Takdir yang mana? Tuhan yang mana? Jiika Tuhan memang ada, bukankah Dia juga tahu apa yang terjadi pada diriku? Apakah yang terjadi pada diriku bukan takdir Tuhan? Bukankah aku ada karena Dia menciptakan? Bukankah Sasa ada karena  Tuhan yang menghendakinya?” (Sasa, 308)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *