- Judul Buku : Entrok
- Penulis : Okky Madasari
- Peresensi : Fardi Prabowo Jati
- Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
- Tempat dan tahun terbit : Jakarta, 2010
- Tebal : 288 halaman
Sumarni dan Rahayu adalah dua wanita beda generasi yang mandiri dalam menjalani kehidupan. Mereka berbeda. Hati mereka menyembah pada Tuhan yang berbeda. Pemikiran mereka tentang tatanan nilai di masyarakat juga tak sama. Meski demikian, perasaan mereka terpaut dalam hubungan tak terpisahkan: hubungan ibu dan anaknya.
Mereka bertubi-tubi menghadapi masalah—di tengah getirnya persoalan besar bangsa ini—yang bahkan hingga kini belum dapat terselesaikan. Mereka harus berhadapan dengan intervensi negara dalam berpolitik, perampasan tanah, arogansi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), toleransi beragama, kesetaraan gender, indoktrinasi anti komunis, dan ketidakpastian hukum. Meski ibu dan anak, mereka menghadapi kegetiran hidupnya masing-masing. Mereka berjuang dengan jalan mereka masing-masing.
Secara garis besar, tema yang diangkat adalah toleransi, kesetaraan, dan keadilan. Novel Entrok cukup banyak bercerita tentang diskriminasi terhadap orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Sebelum diakui pemerintah, etnis Tionghoa juga mendapat diskriminasi. Bahkan, kebudayaan etnis Tioghoa dianggap simbol komunis yang merupakan ancaman bagi bangsa. Tak hanya itu, aliran kepercayaan juga dipandang sinis masyarakat. Hingga kini Negara masih belum mengatur lebih lanjut soal pengakuan aliran kepercayaan yang ada. Hal ini membuat orang yang tidak mengimani enam agama yang diakui negara kerap dicap sesat dan tak beragama.
Melalui tokoh Cahyadi dan Sumarni, Okky Madasari menyajikan konflik beragama dan berkepercayaan di tengah kehidupan bermasyarakat. Cahyadi sebagai keturunan etnis Tionghoa harus sembunyi-sembunyi untuk melakukan ritual kepercayaanya. Dia dicurigai sebagai seorang yang tak beragama hanya karena kepercayaannya belum diakui negara. Malang benar nasib Cahyadi. Dia dipenjara hanya karena keinginannya melestarikan budaya leluhur.
Sejak kecil, Sumarni telah diajari ibunya untuk menyembah leluhur. Sumarni sama sekali tak pernah sekolah. Sumarni hanya tahu soal bagaimana memuja leluhur dan mencari uang agar Rahayu bisa sekolah. Namun bagi Rahayu, Sumarni adalah seorang yang tak beragama. Sebab itu, Sumarni selalu mendapat cemoohan dari tetangga, bahkan dari anaknya sendiri. Tokoh Sumarni bisa menjadi contoh betapa malangnya memiliki keyakinan yang masih belum diakui negara meski keyakinan itu sudah ada sebelum negara ada.
Tragedi pengeboman Candi Borobudur juga turut mewarnai konflik beragama dalam cerita. Beberapa konflik yang dikisahkan Okky memang berdasarkan dari tragedi nyata. Membaca novel Entrok ibarat membaca sejarah pendewasaan bangsa Indonesia dalam toleransi antar umat yang berbeda keyakinan. Okky berhasil mengingatkan kita semua akan kelamnya toleransi beragama bangsa ini. Sederhananya, novel Entrok dapat memancing kita untuk kembali mempertanyakan soal aliran kepercayaan yang hingga kini masih belum jelas pengakuannya oleh negara, apalagi masyarakat.
Novel Entrok juga membahas tentang isu-isu tragedi 1965. Indoktrinasi anti PKI sangat mewarnai cerita. Okky menempatkan masalah-masalah di era orde baru secara tertata. Tragedi demi tragedi diceritakan Okky dengan runtut. Sekali lagi, novel Entrok memuat peristiwa sejarah negeri ini. Mulai dari pengeboman Candi Borobudur hingga tragedi Waduk Kedung Ombo. Tak hanya itu, pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh penguasa di era orde baru juga turut hadir dalam cerita. Para gali dibunuh oleh penembak misterius (Petrus) tanpa melalui proses pengadilan. Lalu, mayatnya dibuang di pinggir jalan.
Isu-isu tersebut dibalut Okky dalam sebuah cerita yang mengalir dan ringan. Okky juga menyuguhkan keadaan sosial masyarakat saat itu. Perselingkuhan, poligami, dan ketidaksetaraan gender turut mempertajam konflik di dalam cerita. Melalui pikiran Sumarni, Okky menceritakan bagaimana wanita selalu dianggap rendah. Selain itu, bagi Sumarni perselingkuhan di desa Singget sudah biasa. Di sisi lain, Rahayu yang hidup jauh dari Sumarni harus menghadapi praktik poligami yang dilakukan oleh suami sekaligus guru mengajinya.
Okky cukup berhasil merangkai banyak isu besar dengan cukup rapi. Latar yang digunakan cukup menjelaskan waktu, keadaan, tempat, juga suasana yang benar-benar terjadi pada saat itu. Novel ini sangat cocok dibaca untuk orang yang tertarik dengan isu-isu tragedi 1965 dan kehidupan masyarakat di era orde baru. Novel Entrok juga pantas dijadikan referensi bacaan untuk memperluas pandangan soal agama, kepercayaan, feminisme, dan keadilan bagi rakyat.
TENTANG PENULIS
Okky Madasari adalah seorang novelis yang dikenal dengan karya-karya yang menyuarakan kritik sosial. Okky meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnya Maryam (2012) yang bercerita tentang orang-orang yang terusir karena keyakinannya. Maryam telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Outcast. Novel pertama Okky, Entrok (2010), berkisah tentang dominasi militer dan ketidakadilan pada masa Orde Baru. Entrok telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Years of The Voiceless. Novel ketiganya, 86 (2011), bercerita tentang korupsi di Indonesia pada masa sekarang ini sedang dalam proses penerjemahan. Novelnya yang keempat, Pasung Jiwa (2013), bercerita tentang perjuangan manusia mendapatkan kebebasan dalam periode sebelum dan sesudah reformasi. Edisi Inggrisnya terbit dengan judul Bound dan dalam bahasa Jerman terbit tahun 2015 dengan judul Gebunden. Lulusan Hubungan Internasional UGM ini menyelesaikan master di bidang sosiologi sastra dari Departemen Sosiologi Universitas Indonesia dengan tesis Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Okky Madasari adalah pendiri ASEAN Literary Festival. (Sumber: Okky Madasari)
TENTANG BEDAH BUKU
BPPM MAHKAMAH didukung oleh Departemen Media dan Informasi DEMA Justicia dari Fakultas Hukum UGM dengan rendah hati mempersembahkan:
Bedah buku Entrok bersama Okky Madasari, dengan panelis panelis dari CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM Dr. Suhadi Cholil dan Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH UGM Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil.
Tema: Keberagamaan dan Keberagaman
waktu: Jumat, 27 November 2015, 15:00 s.d. 18:00 WIB
tempat: V.3.1 FH UGM
informasi dan pendaftaran: Adita (087828880400/ID Line: aditahapsari)