web analytics
Ratap Bumi; Bukan Sekedar Pentas

Ratap Bumi; Bukan Sekedar Pentas

DSC07626

 

 

Minggu (24/4), Sanggar Kesenian Apakah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menggelar perhelatan seni dengan mengangkat judul “Ratap Bumi”. Ini merupakan pentas kesenian rutin yang diadakan setiap tahun oleh Sanggar Kesenian APAKAH FH UGM. Pentas kesenian yang digelar di Gedung Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta ini, selain mementaskan seni teater juga menjadi ajang pameran seni lukis dan fotografi hasil karya beberapa seniman. Acara diawali dengan sambutan dari Robby Muhammad Fajar yang merupakan Penanggung Jawab Acara, serta Rangga Aditya Dachlan yang mewakili pihak fakultas. Perhelatan ini menarik banyak minat dari mahasiswa fakultas hukum sendiri, orang tua pementas, dan juga masyarakat luar.

Tema yang diangkat dalam “Ratap Bumi” adalah problematika pembangunan. Dengan menggunakan sudut pandang ketiga—yaitu bumi—tidak menjadikan “Ratap Bumi” pentas seni yang kosong, renyah diawal dan melempem diakhir. Para aktor tampak sangat bersahabat dengan panggung laga—tidak tampak gugup juga kaku—seperti memang sudah ditakdirkan untuk berada di sana, di atas panggung laga, bersandiwara. Ditambah dengan alunan musik yang indah serta tarian yang “mengajak”, semakin menaikan birahi para penikmat seni. Para aktor memaksa penontonnya menjadi berapi-api kemudian terbakar.

“Ratap Bumi” merupakan bentuk lain dari jeritan “mereka yang kecil”, yang suaranya tidak pernah didengar dan pribadinya tidak terwakili. Diracik sangat apik, “Ratap Bumi” adalah gabungan dari seni musik, tari, dan peran yang tidak dibuat asal-asalan. Penelitian dilakukan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi sebuah “Ratap Bumi” dengan mengambil sampel dari Pati (Jawa Tengah), yaitu rencana pembangunan pabrik semen di tanah itu. Hal itulah yang menjadikan “Ratap Bumi” terlihat nyata dan halus.

Berkisah tentang hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang hidup di atas tanah agraris yang tampak baik-baik saja padahal tidak. Adalah Wadya, Yudhanta, Kijan, dan Wajendra, sekawan muda yang menghabiskan waktunya dengan kegembiraan tak kira-kira—khas anak pedesaan—seperti bermain di pematang sawah, bermain petak umpet, hingga berlomba mencari yuyu. Hingga pada akhirnya Yudhanta harus hijrah ke kota meninggalkan Desa Citrapata tercintanya untuk menggapai impiannya. Setelah bertahun-tahun lamanya, Yudhanta akhirnya kembali dan membawa Bapak Tommy, seorang pengusaha yang berniat untuk membangun Pabrik Semen di Desa Citrapata. Kedatangan sekaligus niat Pak Tommy ini menimbulkan peselisihan antar warga desa, antara kelompok warga yang menginginkan pembangunan pabrik semen dengan harapan dapat menyejahterakan Desa Citrapata dengan kelompok warga lain yang menolak pembangunan pabrik semen dan tetap menjaga keasrian Desa Citrapata sebagai desa agraris.

Dalam pentas ini juga digambarkan sosok “Bumi”, diperankan oleh Mokhsa Imanahatu, yang menjadi ilustrasi ratapan bumi atas rusaknya kondisi lingkungan akibat pembangunan yang mengedepankan egoisme manusia dan menyingkirkan kelestarian alam.

Effrida Ayni Fikri, Fatihatul Nurfitriani

Sumber Gambar: Sanggar Apakah FH UGM

Leave a Reply

Your email address will not be published.