web analytics

Aku Membunuh

Angan
http://elvinajane.blogspot.co.id/2016/07/bagaimana-membezakan-simptom-awal.html

Sepoy angin mulai mengusap pipi penuh jerawat ini. Sinar mentari yang meredup berhasil menamatkan lamunan panjangku. Aku mengangkat pantatku dari kursi biru di sudut kiri beranda rumahku. Kutempelkan tanganku di gagang pintu, tapi aku tidak membukanya. Aku berhenti dan membiarkan otakku berfikir. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku membuka pintu berukir bunga itu.

Pintu itu terbuka, sebuah adegan diorama terpampang. Seakan sebuah drama yang tak bisa kuhentikan. Seorang pria mabuk alias ayahku berdiri bak dewa di ujung meja makan.  Ia melotot dengan mata yang seakan hendak meloncat dari rongganya. Mulutnya mengeluarkan bau minuman yang menjalar ke setiap sudut rumah. Tak hanya bau busuk, kalimat pun menyaingi bau itu dengan bergema memenuhi ruangan yang lumayan luas ini. Pria itu menggerakkan tangannya kesana-kemari bagai presiden yang berpidato sambil tetap memegang batang rokoknya.

Sesosok perempuan duduk pada sofa coklat berambu di satu sisi ruang tamu. Ia mengenekan daster putih bercorak bunga merah muda. Kedua bola matanya merah tapi mulutnya tertutup rapat. Nafasnya sesak menghirup asap rokok yang didampingi bau minuman yang menusuk.  Aku menghampiri dan memeluk erat tubuhnya yang mendingin.  Tak bisa kubayangkan deritanya. Aku memutar waktu  ketika di kamar kos kecilku. Suara cerianya menyapaku dari balik telepon. Aku mengira dukanya berkurang seiring berkurangnya anak yang tinggal di depan matanya. Tapi ternyata suara ceria itu hanyalah angan belaka. Ia menutupi dukanya dengan tawa munafiknya. Ibuku, iya dia ibuku. Produksi air mataku mulai meningkat dan keluar tanpa bisa kubendung lagi.

Sejak 25 tahun mereka berkeluarga dan 18 tahun aku hidup bersama keluarga,  pertengkaranlah yang menjadi jadwal rutin pengisi sunyinya malam rumah ini. Adegan demi adegan kuingat pasti. Lakon-lakon tiap tokoh telah kubaca. Diasaat pria ini berteriak, melempar segala barang yang bisa dilempar, Ibuku akan tetap diam dan duduk,  bagaikan porselen yang tak bernyawa. Busuknya mulut pria itu masuk ke telinga wanita ini, dan sebagai bayarnya air mata akan mengalir tanpa aba-aba menelusuri pipi merahnya hingga jatuh entah kemana.

Panas mendengar pertengkaran ini, aku berteriak dan memecahkan gelas kecil ke arah pria mabuk itu. Dia kaget sempoyongan. Karena melihat itu, ibuku memelukku dan mencoba menghentikan iblis yang mulai merasuki pikiranku. Pria itu melangkahkan kakinya ke arahku, aku diseret dan dijauhkan dari ibuku. Ia mencaciku dengan sebutan binatang, mengatakaiku anak durhaka, dan ia menyamakanku dengan saudara-saudaraku yang tidak harmonis dengan ayahku. Jujur bisa dikatakan semua saudaraku memang tidak harmonis dengan ayahku, atau bisa dikatakan benci dengan pria ini. Bukan tanpa alasan, anak mana yang tidak dendam pada pria potongan ini. Marah tak jelas sebabnya, minuman keras bagaikan dewanya. Tak tahan akan makiannya, kuraih  kotak pisau baru yang dibeli ibuku. Delapan bilah pisau berjatuhan tepat dikakiku. Kuraih pisau yang terbesar dan kuarahkan ke pria mabuk ini.

Pria ini mengacuhkan bilah pisauku dan beranjak ke arah ibuku. Dia memakinya. Mengumpat dan menghina orang tua ibuku. Tidak kuduga, adegan kali ini berbeda. Ibuku berteriak kepada pria hitam beruban ini. Dia mencaci dan mengeluarkan duka selama 25 tahun bersamanya. Dia berteriak tanpa henti. Menghiraukan kenyamanan malam bagi tetangga yang mungkin tengah tertidur. Dia memecah dan menggeser kedudukan kerasnya makian. Sejenak aku terdiam. Detik kemudian aku berlari dengan tangan menggenggam pisau ke arah ibuku saat pria ini hendak memukulnya. Aku terhanyut lemah. Tangannya tepat dikepala kiriku. Kakiku tak sanggup lagi menahan tubuhku, sampai akhirnya kepalaku menyentuh lantai.

Amarah dan rasa kasihanku  memberiku tenaga menopang untuk berdiri. Menggengam pisau dan menusukkannya pada pria gila ini.  Ibuku menjerit kaget, tak membayangkan anak perempuannya melakukan hal ini. Dia menangis memeluk erat tubuhku yang gemetar bersimpah darah. Aku puas akan pencapaian ini. Menghilangkan duka ibuku selama 25 tahun.

Air mata ibu yang menetes membuatku tersadar. Aku telah berangan-angan. Anganku yang mungkin saja detik ini bisa terwujud, tapi sayang aku tak bisa. Andai saja keberanianku bertambah sedikit saja, aku pasti menghapus pria gila ini dari daftar manusia hidup. Sayang sekali, keberanianku untuk membunuhnya kalah telak dengan bonus dosa yang akan ku peroleh.

Setelah pria gila itu beranjak dari rumah penuh tangis, ibuku terbaring tanpa suara. Air mata yang menetes dan nafas lemahnya menandakan dia masih bernyawa. Aku membiarkan tubuhku terbaring disamping ibu. Mataku kupaksa untuk tertutup, berharap esok pagi pria gila itu dikabarkan meninggal dunia atau hilang entah kemana. Berharap duka ibuku akan menghilang dari sisinya.

(Evasolina)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *