Dua Sisi
Oleh: Tata Wardhani
Tubuh Mayang tergeletak di atas kasur kamar tidurnya. Matanya yang indah terbuka, tetapi tidak lagi memancarkan kehangatan. Tubuh telanjangnya kini kaku. Darah membanjir dari lehernya, mewarnai seprai yang telah menjadi saksi bisu kehidupan cintanya bersama suaminya. Kini seprai putih itu pun menjadi saksi bisu pemerkosaan dan pembunuhannya.
Seorang lelaki bertubuh atletis menatap tubuh sempurna Mayang sambil tersenyum puas. Tangan kanannya memegang sebilah pisau yang berlumuran darah. Keringat mengalir dari dahinya dan membasahi kausnya. Lelaki itu memandangi tubuh Mayang sekali lagi lalu berjalan keluar. Dalam hatinya terselip kegembiraan yang tak terkira karena berhasil menyingkirkan Mayang, wanita yang terlalu sering menyakitinya.
***
Dewo Nagara adalah seorang direktur sebuah perusahaan konstruksi yang terbilang sukses. Ia tampan, berkarisma, dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Tidak heran apabila banyak wanita yang berusaha mendekatinya agar mendapat sedikit bagian hartanya. Namun tak satupun dari mereka yang dapat mengalihkan perhatiannya dari Mayang, istrinya yang amat ia cintai.
Sore itu, Dewo duduk di ruang kerjanya sambil memandang foto istrinya. Ia tersenyum memikirkan bagaimana reaksi istrinya nanti ketika mendapat kejutan darinya. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke-7. Sejak pagi ia sudah menyibukkan dirinya dengan membeli sebuah kalung berlian dan hadiah lain untuk istrinya. Saking sibuknya, ia terpaksa membatalkan janji temu dengan seorang pengembang dari Singapura.
Dewo memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya sore itu. Ia berjalan menuju rumah dengan bahagia. Dewo membuka pintu rumahnya, dan memanggil istrinya. “Mayang? Aku pulang, sayang.” Ia tak mendengar suara apapun. Hmm, kau mengerjaiku rupanya, pikir Dewo.
Ia berjalan perlahan menuju kamarnya. Langkahnya hampir tak terdengar. Ia sengaja melakukan itu karena ia tahu istrinya bersembunyi di dalam kamar, menyiapkan kejutan untuknya. Ketika Dewo melongokkan kepalanya ke dalam kamar, tubuhnya terasa kaku. Matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuh istrinya terbaring sudah tak bernyawa lagi. Dewo tahu, istrinya tak mungkin mengerjainya dengan cara seperti ini.
***
Dewo bukan pria yang bodoh. Mengetahui istrinya telah dibunuh, ia segera menelepon polisi untuk menyelediki kasus tersebut. Dalam hati ia marah luar biasa sekaligus sedih tak terkira. Siapa orang yang tega membunuh istriku? Dewo bertekad akan menghabisi orang itu segera setelah polisi menemukannya.
Selain menghubungi polisi, ia juga menelepon Ginta, adik tirinya. Ia berniat bermalam di rumah adiknya hingga kondisinya cukup stabil untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah Ginta, Dewo segera menceritakan semua kejadian itu. Ginta pun amat terkejut mendengarnya. “Oh, aku tidak menyangka ada orang sejahat itu,” katanya.
Di mata Ginta, Mayang merupakan perempuan yang menyenangkan. Ia kakak ipar yang dapat diandalkan. Sepengetahuannya, kehidupan rumah tangga kakaknya juga baik-baik saja. Mayang dan Dewo saling mencintai. Walaupun, tetap saja kadang mereka bertengkar dan berdebat akan hal-hal sepele.
“Kau boleh menginap di sini selama yang kau mau,” kata Ginta sambil menyiapkan tempat tidur untuk kakaknya. “Polisi pasti sedang berusaha yang terbaik. Mereka akan menemukan orang keji itu,” sambungnya.
Kini Ginta duduk di sebelah kakaknya di sofa dan menatap iba kepadanya. Dewo tersenyum lemas, “Terimakasih.”
***
Keesokan paginya tiga orang polisi datang ke rumah Ginta. Ginta terbangun dari tempat tidurnya karena terkejut dengan suara ketukan di pintu. Masih memakai gaun tidurnya, Ginta membuka pintu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, seorang polisi menunjukkan surat penangkapan Dewo Nagara. “Kami mendapat surat perintah untuk menahan saudara Dewo Nagara atas keterlibatannya dalam pembunuhan Mayang Susanti,” kata seorang polisi bernama dada Rendra.
Ginta kaget bukan main. Ia sama sekali tak mengerti. “Maaf, Pak. Saya rasa ini sebuah kesalahan. Mas Dewo tidak mungkin membunuh istrinya,” Ginta hampir berteriak.
Polisi itu terlihat tak peduli dan langsung menerobos masuk. Mereka meneliti setiap sudut rumah dan langsung menahan Dewo yang baru keluar dari kamarnya. “Apa-apaan ini!” Dewo geram. “Aku tidak membunuhnya!”
Tangis Ginta sudah tak dapat ditahan lagi. Seorang polisi berkata kepada Dewo, “Semua dapat Anda jelaskan di kantor polisi nanti. Sekarang, Anda ikut kami.” Para polisi itu menarik Dewo menuju mobil mereka. Dewo hanya bisa pasrah dengan menuruti polisi-polisi itu.
***
Selepas kepergian Dewo, Ginta duduk termenung di kamarnya. Ia sungguh dibingungkan oleh kejadian-kejadian ini. Mulai dari kakak tirinya yang tiba-tiba datang berkunjung dan menceritakan kejadian yang begitu menyeramkan itu. Hari ini, Dewo ditahan dan hal ini semakin membuatnya terdorong menuju sebuah mimpi buruk.
Ia tak pernah membayangkan kakak tirinya itu menjadi seorang pembunuh. Kalaupun iya, ia akan menjadi pembunuh yang seperti apa? Pembunuh yang penuh cinta? Tidak ada pembunuh yang seperti itu, bodoh.
Hubungannya dengan Dewo sebagai kakak adik memang tidak begitu dekat. Mereka jarang berkomunikasi karena sibuk dengan urusan masing-masing. Dewo sibuk dengan bisnisnya, sedangkan Ginta asyik dengan grup musiknya. Meskipun begitu, mereka selalu mengagendakan acara khusus keluarga. Mereka memanfaatkan momen tersebut untuk saling mengenal lebih dalam.
Ada kemungkinan kakak tirinya itu dijebak oleh seseorang. Siapa?
***
Esoknya, seorang polisi meneleponnya. Polisi itu menyuruhnya untuk segera datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dengan cepat, Ginta bersiap-siap dan mengendarai mobilnya ke sana.
Seorang detektif telah menunggunya di lobi. Ia bangun dari kursinya dan menyapa Ginta ramah, “Selamat pagi, aku Detektif Sandi. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu.” Sandi menuntun Ginta ke ruang kerjanya. Ia memberi isyarat pada perempuan itu untuk duduk.
“Oke, kita mulai dari yang paling mendasar,” kata Sandi. “Seberapa dekat hubunganmu dengan Dewo Nagara?”
Ginta menghela napas sejenak, “Kami cukup dekat. Kami selalu meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol atau liburan bersama.” Nada suaranya datar, jelas ia tak mampu menutupi ketegangannya.
“Apakah kau pernah mengamati sesuatu yang aneh dalam diri kakak tirimu? Sekecil apapun itu?” tanya Sandi dengan hati-hati.
“Maaf?” Ginta tidak dapat menebak ke arah mana obrolan ini akan menuju. Detektif Sandi melanjutkan, “Seperti, er-, tatanan rambutnya berbeda dari biasanya, ia terlihat pucat akhir-akhir ini, atau bahkan ia kelihatan lebih pemarah dibanding biasanya.”
Ginta mengingat-ingat sejenak. Sejauh ini kakak tirinya terlihat normal baginya. “Tidak ada, Detektif,” ujarnya kemudian.
Ia mengamati kening detektif itu berkerut. “Ada apa ini sebenarnya?” tanya Ginta.
“Dengar, aku tidak tahu apa yang kalian tutupi dariku-“
“Aku tidak menutupi apapun!” sela Ginta.
“Sejak dia ditahan kemarin, kami melakukan serangkaian proses penyidikan terhadapnya. Kami menanyainya berbagai pertanyaan. Asal kau tahu, semua bukti mengarah padanya. Sidik jari dan pisau yang digunakan itu terbukti miliknya,” kata Detektif Sandi.
“Pasti bukan dia pelakunya! Mungkinkah dia dijebak oleh seseorang?” Ginta menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Sayangnya hal itu tidak mungkin. Sebelum membunuh, orang itu memerkosa Mayang. Kami sempat melakukan tes DNA, sperma di tubuhnya terbukti milik Dewo,” Detektif Sandi menyeruput kopinya lagi.
“Apa aku boleh bertemu dengan kakakku?”
***
Ginta memasuki sebuah ruangan berukuran 4×5 meter. Ruangan itu sunyi senyap dan tidak ada orang lain selain kakaknya yang duduk di pojok ruangan itu. Ia tak kuasa menahan tangisannya, “Mas Dewo..” sapanya.
Dewo menoleh ke arahnya. “Kau siapa?” tanyanya. Ginta terisak sambil tertawa kecil.
“Nggak lucu, Mas. Bukan waktunya bercanda,”
Dewo mengerutkan keningnya, “Aku tidak mengenalmu. Namaku juga bukan Dewo,” ucapnya datar.
Nada bicara Dewo serius. Hal itu membuat Ginta bingung. “Tidak mungkin, kau itu Mas Dewo! Dan aku ini adik tirimu, Mas!” bentaknya.
“Keluar sekarang juga,” kata Dewo. Ginta masih berdiri di tempat. Amarah sekaligus kekacauan merayapi tubuhnya.
“KELUAR SEKARANG!” bentak Dewo.
“Oke, aku akan keluar. Kalau kau bukan Dewo, lalu kau siapa, HAH!” Ginta benar-benar naik darah.
Keheningaan menyelimuti ruangan itu. Kemudian Dewo berkata, “Namaku Jerry.”