web analytics
Mengabadikan Fakta lewat Jurnalisme Sastra

Mengabadikan Fakta lewat Jurnalisme Sastra

Apakah fakta dan fiksi selamanya berhadapan? Apakah sebaiknya kita memberitakan atau menceritakan? Setidaknya dua hal ini menjadi sorotan dalam diskusi yang diadakan LPPM Sintesa. Diskusi ini bertajuk “Membaca Dinamika Bangsa Melalui Jurnalisme Sastra”. Diskusi yang berlangsung Minggu (27/08) di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tersebut mengundang Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara tunggal.

“Bagaimana berita yang umurnya cuma sehari bisa abadi?,” tanya Sapardi Djoko Damono mengawali pembahasan. Ia berusaha mengupas hubungan jurnalisme dan sastra meskipun sekilas berbeda. Menurutnya, berita bisa bertahan lama jika diceritakan. Oleh karenanya, kita masih bisa membaca dinamika-dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia lewat cerita.

Sejak awal kemunculan media masa di Indonesia, jurnalis pada umumnya adalah sastrawan. Sebut saja Kwee Tek Hoay, Mas Marco, Semaun, atau Tan Malaka. Tokoh-tokoh tersebut menyiarkan perlawanan melalui sastra. Contohnya adalah Sumpah Pemuda. “Pada zamannya, Sumpah Pemuda disiarkan melalui cerpen dan puisi,”  tutur Sapardi.

Pesan yang sama ditemukan dalam Siti Nurbaya. Tokoh antagonis Datuk Maringgih memberi pesan perlawanan pada orang-orang di daerahnya terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Pesan-pesan semacam itu dapat kita temukan juga dalam cerita Nyai Dasima ataupun Max Havelaar.

Berita bisa bertahan lama jika diceritakan. Oleh karenanya, kita masih bisa membaca dinamika-dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia lewat cerita.

Seiring perkembangan zaman, muncul istilah jurnalisme sastra. Jurnalisme sastra adalah sebuah gaya atau bentuk penulisan dalam jurnalisme. Gaya tersebut mengungkap fakta dan kebenaran dengan reportase namun menggunakan bahasa sastra. Cara ini dipandang Sapardi sebagai cara membuat berita ‘abadi’. Ia menyebutnya sebagai “berita yang bertahan sebagai berita.”

“Berita memerlukan bahan pengawet, yaitu sastra,” ucapnya. Penyisipan ironi, paradoks, metafora, atau bahkan hiperbola tidak mustahil dalam jurnalisme sastra. Hal ini guna menggabungkan berita dan cerita sebagai sesuatu yang sekilas bersebrangan. Berita harus berlandaskan fakta, sesuatu yang benar-benar terjadi, dan bisa dibuktikan. Sedangkan cerita adalah fiksi atau karangan.

Sapardi berujar bahwa menggabungkan fakta dan fiksi atau berita dan cerita menjadi cara agar berita dapat mudah diterima. Sebab, menceritakan berita dengan gaya jurnalisme sastra dapat menawarkan sisi lain sebuah fakta atau kebenaran. Penulis seolah bercerita dengan  tulisannya sekaligus membeberkan fakta berdasarkan reportase dan data-data penunjang. “Sastra itu bahasa, bukan semata apa yang diceritakan,” tegasnya. (Parasurama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *