web analytics
Menunggu Langkah Arif dari Arief Hidayat

Menunggu Langkah Arif dari Arief Hidayat

Pada Senin (5/02/2018), Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) melaksanakan diskusi terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat. Sebelumnya, Arief Hidayat dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran kode etik ke Dewan Etik MK pada 6 Desember tahun lalu. Arief diduga  melakukan pertemuan informal dengan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.  Dalam pertemuan tersebut, ia diduga melakukan lobi terkait pencalonan dirinya kembali sebagai Hakim Konstitusi untuk periode 2018-2023 dari perwakilan DPR.

Arief Hidayat diduga menawarkan barter kasus antara kasus Panitia Hak Angket KPK yang sedang diuji keabsahannya di MK dengan hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Konstitusi di DPR. Pada tanggal yang sama saat ia dilaporkan ke Dewan Etik MK, Arief Hidayat terpilih kembali menjadi Hakim Konstitusi perwakilan DPR setelah mengikut Uji Kelayakan dan Kepatutan di DPR sebagai calon tunggal.

Akhrinya pada tanggal 16 Januari lalu, Dewan Etik MK menyatakan bahwa Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran kode etik ringan.  Ketua MK ini terbukti menemui Komis III DPR tanpa undangan resmi, namun hanya melalui panggilan telepon. Walaupun begitu, Dewan Etik MK tidak dapat membuktikan dugaan adanya barter kasus dan lobi-lobi politik terkait pemilihan dirinya kembali sebagai Hakim Konstitusi. Hasilnya, Arief Hidayat hanya dijatuhi sanksi teguran tertulis. Hal ini bukan kali pertama seorang Arief Hidayat dijatuhkan sanksi teguran atas pelanggaran kode etik. Arief Hidayat dijatuhkan teguran lisan oleh Dewan Etik MK pada tanggal 15 Maret 2016 atas kasus pengiriman surat referensi yang ditulis oleh Arief sendiri kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyopramono untuk membina kerabatnya yang bekerja di Kejaksaan Negeri Trenggalek.

Atas alasan tersebut, Sigit Riyanto, Dekan Fakultas Hukum UGM, menilai bahwa Arief Hidayat sudah sebaiknya mengundurkan diri karena sudah tidak layak menjadi Hakim Konstitusi. Dekan Fakultas Hukum ini menilai bahwa jabatan Hakim Konstitusi adalah jabatan yang terhormat dan penuh wibawa karena memegang amanah konstitusi. Menurutnya, Hakim Konstitusi harus dapat menjaga etika selama menjabat. Kenyataannya, Arief Hidayat telah dijatuhi sanksi atas pelanggaran kode etik sebanyak dua kali. Menurut Sigit, Arief Hidayat sudah tidak layak menjadi Hakim Konstitusi. “Orang melanggar dua kali kemudian diimbau mundur, itu tidak tepat. Pendapat pribadi saya, dia sudah tidak pantas lagi. Bahkan sekarang sudah ada laporan ketiga kalinya, jadi dia sudah tidak layak duduk di lembaga MK, bisa merusak, bahkan merendahkan, wibawa MK ke depannya” jelasnya.

Laporan ketiga yang dimaksud adalah laporan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan oleh Staf Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi Abdul Ghoffar. Arief Hidayat dilaporkan karena telah memberikan pernyataan bahwa Abdul Ghoffar pernah meminta jabatan struktural kepadanya dan sering tidak masuk kerja di sebuah media massa daring. Hal ini dilakukan, setelah yang bersangkutan menulis artikel di Harian Kompas, dengan judul “Ketua Tanpa Marwah” yang diterbitkan 28 Janurari 2018. Dalam artikel tersebut, Ghoffar mendesak Arief Hidayat untuk mengundurkan diri atas kesadaran pribadi. Setelah melaporkan Arief Hidayat, Abdul Ghoffar dibebas tugaskan sementara dengan alasan untuk pembinaan dan penegakan kode etik PNS.

Beberapa kalangan akademisi mendukung langkah Abdul Ghoffar untuk melaporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik MK. Abdul Ghoffar telah membuktikan salah satu tuduhan yang diberikan Arief Hidayat adalah tidak benar. Ghoffar mempunyai bukti daftar presensi dirinya selama setahun kepada Dewan Etik MK.

Kartu Merah Akademisi untuk Arief Hidayat

Sanksi ringan untuk Arief Hidayat disesalkan berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat sipil, kalangan dosen dan akademisi mengkhawatirkan rusaknya iklim kepercayaan serta marwah martabat MK.

Hatsu Cipto Handoyo mengatakan, posisi MK yang ‘supreme’ akan tidak lagi ‘supreme’ apabila ketua hakimnya melakukan pelanggaran etik. Menurutnya, dalam konteks kewenangan MK, sebagian besar kerja MK adalah hermeneuitik. Kerja hermeneuitik yang selalu dipengaruhi oleh tabularasa dari sang penafsir tentu akan rusak apabila sang penafsirnya cacat etis. “Tindakan Ketua Hakim MK ini akan sangat membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap putusan MK. Apalagi kepercayaan MK telah tergerus oleh permasalahan dua mantan hakimnya,” jelasnya.

Di lain sisi, Eko, Ketua Pusat Studi Pemerintahan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Islam Indonesia menekankan betapa pentingnya MK sebagai lembaga terkahir dalam menyelesaikan permasalahan menyangkut HAM di tingkat domestik. Posisi MK yang penting ini membuat Hakim Konstitusi haruslah menjaga etika dan moralnya. Oleh karena itu pilihan mundur bagi Hakim Konstitusi yang telah dijatuhkan sanksi pelanggaran kode etik adalah keharusan. Hal ini ia rasa perlu dilakukan bukan hanya untuk menjaga martabat MK, namun juga memberi contoh yang baik untuk kedepannya. Eko memberikan contoh pejabat negara lain yang mengundurkan diri setelah melakukan perbuatan yang tercela.

“Seharusnya Arief tidak perlu memecat staffnya,” jelas Eko. Ia mencontohkan Menteri Transportasi Inggris yang mengundurkan diri hanya gara-gara ia telat dua menit ke ruang sidang parlemen. “Telat hanya satu dua menit saja,” dia menyatakan diri mundur dari jabatannya” tegasnya.

Oce Madril melanjutkan dengan memberi contoh bahwa sudah ada beberapa pejabat publik dari dalam negeri yang mengundurkan diri karena masalah etika ataupun kinerjanya. Salah satu nya adalah Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri setelah anaknya diketahui bertemu dengan salah satu pihak yang besengketa di MK. Arsyad Sanusi langsung mengundurkan diri setelah kasus tersebut terungkap ke publik pada 2011. “Ada kemudian, Dirjen misalnya, Dirjen Pajak, tidak mencapai target, kemudian mengundurkan diri. Dirjen Lalu Lintas Darat, kalau gak salah, waktu itu ada kemacetan parah, kemudian mengundurkan diri. Memang tidak terlalu banyak presedent, tetapi presedent-presedent ini sebetulnya, cukup menjadi contoh bagi yang bersangkutan,” terang Oce.

Senada dengan Oce Madril, Zaenal Arifin Mochtar melihat pelanggaran yang dilakukan oleh Arief Hidayat bukanlah pelanggaran ringan, tapi pelanggaran berat.  Arief Hidayat melakukan pertemuan informal dengan Komisi III DPR pada saat dia akan dicalonkan kembali menjadi Hakim Konstitusi oleh DPR.  Proses pemilihan kembali dari Arief Hidayat juga dipermasalahkan oleh Zaenal karena melanggar asas-asas pemilihan Hakim Konstitusi pada Pasal 19 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi No 24 Tahun 2003.

“Dia kan terpilih di komisi tiga tanpa melalu proses yang benar. Karena kalau dibaca Pasal 19 Undang-Undang MK dan Pasal 20 Ayat 1, itu kan ada asas-asas pemilihan transparan, accountable , partisipatif,” tuturnya. Zaenal menduga tidak adanya transparansi dalam proses pemilihan ini. Tak hanya itu, diduga tidak ada partisipasi yang memadai dalam proses tersebut. “Saya tidak berada disini untuk memerintahkan Arief untuk mundur, tapi bayangan saya, pilihan mundur adalah hal yang arif,” pungkas Zaenal. (Faiz Al-Haq, Raynal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *