web analytics
Penghayat Kepercayaan dan Perjuangan Hak Sipil

Penghayat Kepercayaan dan Perjuangan Hak Sipil

Ketika agama diterima, setiap orang akan dipaksa untuk mengikuti agama yang ditetapkan oleh negara  sehingga agama hanya menjadi alat infiltrasi untuk menekan para penghayat

Sudah kurang lebih empat bulan lamanya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Permohonan tersebut diajukan oleh beberapa penghayat kepercayaan di berbagai daerah di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016, mengabulkan permohonan para Pemohon, yang menguji Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 junc to Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Putusan tersebut membawa konsekuensi baru yang melegakan hati penghayat kepercayaan. Pasalnya, dengan adanya putusan itu, mereka dapat menikmati hak mereka sebagai warga sipil. Apakah putusan tersebut benar-benar sudah diterapkan?

Dr. Samsul Maarif yang menjadi ahli dalam permohonan tersebut memberikan pandangan terkait implementasi putusan ini. Dalam wawancaranya dengan BPPM Mahkamah, dosen Center for Religious & Cross-Cultural Studies ini menjelaskan juga tantangan-tantangan bagi penghayat dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Bagaimana keterkaitan antara dibuatnya kolom kepercayaan di KTP dengan efek kepada administrasi kependudukan?

Saat ini, teman-teman masih terus berusaha agar penganut aliran kepercayaan dapat mencantumkan kepercayaan mereka di kolom agama saat membuat KTP, karena putusan ini sampai sekarang belum diterapkan. Sejak Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat, Selasa (7/11/2017) sampai sekarang masih mendiskusikan tentang bagaimana model dalam kolom KTP nanti. Karena ada beberapa opsi mengenai kolom kepercayan di KTP.  Opsi pertama adalah dengan menuliskan “penghayat kepercayaan”. Kedua dengan menuliskan “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama-nama aliran kepercayaan yang dianut sesuai dengan nama organisasi mereka. Opsi ini yang muncul di media masih didiskusikan karena banyak yang merespon bahwa menunjukkan hal ini kompleks. Sebenarnya tidak kompleks, tetapi lebih bersifat politis. Karena ini bersifat politis, kita tidak tahu sampai kapan putusan ini bisa dijalankan. Karena putusan ini belum diterapkan, maka belum ada dampaknya secara langsung. Akan tetapi Putusan MK ini tentu menambah kepercayaan para penghayat bahwa negara sudah mengakui keberadaan mereka.

Mengenai 3 pilihan kolom penghayat kepercayaan di KTP, apakah semua penghayat kepercayaan bisa langsung menuliskan nama kepercayaannya?

Kalau dilihat dari Putusan MK, sebenarnya tidak akan terjadi. Karena dalam kolom kepercayaan di KTP hanya akan dituliskan ‘Penghayat Kepercayaan’. Tidak semua, namun ada beberapa pengahayat kepercayaan yang berharap bahwa nama penghayat kepercayaan mereka dituliskan langsung dalam kolom di KTP. Seperti Penghayat Sunda Wiwitan, karena sudah diakui konkrit sebagai identitas warga negara. Jangankan hal seperti ini, menuliskan ‘Penghayat Kepercayaan’ saja masih menuai banyak respon. Jadi jika menuliskan nama penghayat kepercayaan nya secara politis agak berat. Karena mendapatkan penolakan.

Menurut Anda, apakah putusan tersebut bisa diterapkan dengan baik?

Semestinya, kita menghargai hasil Putusan MK yaitu dengan menjalankan putusannya. Jika kolom penghayat kepercayaan diterapkan bisa mengakomodasi aspirasi penghayat, semestinya bisa dilakukan. Walaupun mungkin keadaan saat ini belum dapat dikatakan ideal karena belum bisa menuliskan nama penghayat kepercaayaan secara langsung seperti yang diinginkan oleh penghayat Sunda Wiwitan. Akan tetapi, putusan ini sudah menjadi jalan menuju keadaan yang lebih ideal dari keadaan sebelumnya. Paling tidak, putusan tersebut sudah bisa menghindarkan praktik diskriminatif terhadap warga negara khususnya penghayat kepercayaan baik dari aparat negara maupun masyarakat.

Banyak masyarakat yang menolak agama disetarakan dengan penghayat kepercayaan, menurut Anda,  apakah ada perbedaan antara agama dan penghayat kepercayaan?

Respon masyarakat yang tidak mau menyamakan antara kepercayaan dengan agama cenderung memahami agama secara teologis. Pemahaman ini memandang bahwa agama lebih luas dan lebih dalam daripada kepercayaan. Kepercayaan itu hanya bagian kecil dari agama. Agama mempunyai banyak elemen yang tidak dicakup oleh kepercayaan. Hal ini merupakan perdebatan yang sebenarnya. Kemudian, di awal konstitusi tersebut dirumuskan dalam UUD 1945 pasal agama dan kepercayaan. Singkat saja, pemahaman dalam pasal tersebut bersifat politis dan teologis. Jadi, ketika menyatakan agama tidak setara dengan kepercayaan, agama lebih tinggi dari kepercayaan, pada dasarnya memiliki tujuan politik yaitu untuk menekan kelompok yang menganut kepercayaan.

Saya memahaminya begini, dari awal ketika konstitusi dibuat, ada upaya kelompok penganut agama Islam menjadikan Indonesia sebagai negara islam seperti dalam Piagam Jakarta sebelum diubah yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akan tetapi kelompok nasionalis menolak dan memprotes mengenai kalimat tersebut sehingga diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tetapi mereka yang mengelompokkan diri sebagai penghayat kepercayaan pada waktu itu mengusulkan kepercayaan (yang pada awalnya mereka menggap negara ini merupakan negara sekuler), namun hal ini tidak dapat dibendung karena agama sudah masuk kedalam konstitusi. Kepercayaan ini diusulkan dengan upaya untuk melindungi diri dari tekanan agama.

Bagi penghayat kepercayaan, ketika agama diterima, setiap orang akan dipaksa untuk mengikuti agama yang ditetapkan oleh negara. Sehingga agama menjadi alat infiltrasi, alat untuk menekan orang. Proses perdebatan pada proses konstitutsi begitu nampak. Selanjutnya, kita lupa atau sengaja melupakan sejarah konstitusi ini sehingga sampai sekarang mengira bahwa kepercayaan merupakan bagian dari agama. Dalam memahami agama dan kepercayaan penting sekali mendekati secara historis proses tersebut. Agama itu proses konstruksi.

Jadi agama yang kita pahami pertama di negara ini adalah Islam. Meskipun, secara historis, Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia lebih dahulu. Hindu  dan Budhha baru disahkan menjadi agama di Indonesia pada tahun 1959. Agama yang pertama kali diurus oleh negara atau yang dikatakan dalam UUD 1945 Pasal 29 itu merupakan agama Islam. Tahun 1946, definisi agama menyempit setelah adanya Departemen Agama. Ini membuat agama lain, dalam proses menyesuaikan diri dan diakui oleh Indonesia cukup lama. Memahami agama dan kepercayaan itu penting secara historis sehingga dalam memahami agama dan kepercayaan tidak dibawa ke atas secara teologis, seakan-akan tanpa politis.

Apakah penghayat kepercayaan dinaungi oleh Lembaga Negara?

Saat ini, penghayat kepercayaan dinaungi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarahnya, penghayat kepercayaan ingin masuk ke Kementerian Agama tetapi ditolak. Kemudian ‘diselamatkan’ oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bagaimana implikasi dari penerapan Putusan MK terhadap pemenuhan hak penghayat kepercayaan? Seperti dalam bidang pendidikan, apakah ada penerapan pendidikan penghayat kepercayan?

Ada kejadian di Semarang, yaitu seorang anak yang bersekolah di SMK Negeri 7 Semarang berinisial ZN tidak naik kelas karena tidak mengikuti pelajaran agama sebab ia merupakan penghayat kepercayaan. Sejak saat itu, Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bekerja keras membuat kurikulum dan silabus mengenai pendidikan penghayat kepercayaan.

Beberapa hari kemudian, terbit Permendikbud tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Peraturan ini pun sekarang sudah diterapkan tetapi hanya beberapa sekolah saja, seperti di SMK Negeri 7 Semarang. Yang memberikan materi pun, penyuluh dari Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, karena belum ada tenaga pendidik dari PNS. Saat ini, terdapat 40 (empat puluh) penyuluh penghayat kepercayaan. Namun, pendidikan ini belum merata karena sosialisasi yang belum sempurna. Masih banyak penghayat yang terpaksa mengikuti pelajaran agama demi pendidikannya. Selain itu, tidak semua sekolah menerima secara tulus Permendikbud ini.

Bagaimana pemenuhan hak ibadah penghayat kepercayaan, apakah akan ditanggung oleh negara?

Hal mengenai ini juga sudah ada peraturan nya yaitu Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Untuk rumah ibadah khusus penghayat disebut dengan sanggar atau sasana. Peraturan ini mewajibkan pemerintah daerah untuk memberikan anggaran penyediaan dan fasilitas para penghayat kepercayaan, seperti rumah ibadah dan juga penguburan.

Untuk kolom KTP, akan ada seleksi penghayat kepercayaan untuk menyatakan  pengahayat tersebut ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Apakah semua penghayat kepercayaan itu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa?

Kalau mengikuti wacana itu, kepercayaan itu justru paling konkret bahwa mereka ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama lengkap dari penghayat kepercayaan adalah Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan nama panggilannya adalah Penghayat Kepercayaan. Dari namanya saja sudah ber-Tuhan.

Dilihat dari bahan ajar mereka, konsep ketuhanannya sangat kental. Ini cerita panjang mengenai penghayat kepercayaan yang dulu diasosiasikan animisme, tradisi menyembah roh leluhur. Hal ini ditentang oleh kelompok agamawan karena dianggap bertentangan dengan ketuhanan dan harus ditinggalkan.

Dulu, animisme mereka digambarkan seakan tidak bertuhan, ini adalah stigma. Dari awal ketika animisme muncul, Edward Taylor mengkontraskan animisme dengan Kristen di Eropa. Animisme merupakan kebiasaan primitif yang seharusnya sudah tidak ada namun tanpa diduga masih bertahan. Animisme sangat dekat dengan alam dan roh didalamnya. Ketika disebut primitif seharusnya dibudayakan dan diberadabkan. Namun, banyak narasi dipakai untuk menjustifikasi bahwa ketinggalan zaman. Logika modernitas membuat sejarah yang kuat mengatakan  bahwa mereka yang menganut animisme ketinggalan. Proses inilah yang dibawa negara, difiltrasi negara untuk menjustifikasinya. Jadi penghayat ini dekat dengan alam, namun karena proses agamamisasi mewajibkan beragama dan mereka meninggalkan kepercayaan dan menganut agama yang diakui oleh negara.

Ada kekacauan perspektif masyarakat bahwa beragama juga berkepercayaan merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal itu?

Sekarang realitasnya orang yang menganut agama sekaligus menganut kepercayaan itu banyak, akan tetapi pemikiran masyarakat sampai hari ini cara memahami agama yang menimbulkan sifat secara eksluksif.  Pemahaman seperti itu disebut puritan, pure tidak mau terkontaminasi, supaya bersih tanpa campur kepercayan. Sedangkan teori sinkretik yang mengenai kepercayaan yang mencapurkan dua menjadi satu, yaitu agama dan kepercayaan menjadi satu. Sehingga teori sinkretik ini dianggap tidak murni yang menimbulkan pemikiran teori sinkretik ini termasuk syirik.

Setiap agama pasti terdapat asimilasi. Jadi, tidak mungkin murni. Sampai saat ini agama diajarkan  secara akademis membayangkan bahwa agama itu sangat murni dan tidak ada campuran dari kepercayaan. Sistem pendidikan ini membuat pemikiran kacau. Dalam hal ini potensial membuat agama menjadi eksklusif. Padahal secara historis agama saling mewarisi. Pengahayat menjadi korban dari sistem agama ini.

Ada stigma dalam masyarakat mengenai penghayat kepercayaan itu merupakan gangguan jiwa, bagaimana komentar Anda?

Adanya stigma negatif ini dikarenakan masyarakat banyak yang belum tau mengenai penghayat kepercayaan ini. Tugas kita adalah mengenalkan bahwa di masyarakat kita terdapat penghayat kepercayaan, sehingga dapat dihindari stigma semacam itu. Penting untuk menyuarakan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masuk kedalam bagian pendidikan. Pendidikan ini bukan hanya untuk penghayat kepercayaan, tetapi juga untuk kita agar mengenal bahwa Indonesia memiliki beragam warga negara.

Adakah indikator-indikator tertentu yang harus dipenuhi penghayat kepercayaan agar bisa menuliskan kepercayaannya di KTP?

Idealnya, kita tidak usah ikut campur sampai sejauh itu. Akan tetapi, fakta berbanding terbalik. Sekarang ada 187 kelompok penghayat yang resmi terdaftar. Syarat pendaftaran termasuk profil, buku mengenai kepercayaan tersebut dan anggota yang bergabung. Hal ini pun harus terus diperbarui. Dulu, pernah yang terdaftar sampai 200 lebih, tetapi mugkin karena kelompok penghayat tersebut merasa kerepotan untuk memperbarui dan mengurusi administrasi tersebut sehingga kelompok penghayat pun menjadi surut. Hal ini untuk menunjukkan bahwa mereka ber-Tuhan seperti yang tercantum dalam Pancasila sila pertama. Penghayat kepercayaan harus mendaftarkan nama kepercayaannya agar mendapat hak nya atau supaya hak nya tidak diganggu.

Bagaimana dengan penghayat yang baru muncul bukan dari kebudayaan leluhur, apakah diperbolehkan dalam masyarakat?

Ada yang sudah ditangkap atau tidak berkembang karena ditolak oleh masyarakat.

Apakah penghapusan kolom agama merupakan alternatif yang menjanjikan agar tidak terjadi diskriminasi dalam pelayanan publik?

Sebenarnya, diskriminasi tidak akan pernah selesai. Saya tidak menjamin. Waktu judicial review Putusan MK, saya sebagai saksi ahli juga ditanyakan seperti itu, saya tidak mengatakan selesai akan tetapi paling tidak mengatasi beberapa masalah penting yang dialami oleh penghayat kepercayaan, termasuk pendidikan, administrasi kependudukan, dan lain-lain. Tapi sekali lagi issue penghayat kepercayaan banyak, yang mengurusi penghayat ini banyak departemen. Ada satu lembaga yang melanggengkan stigma tadi, yaitu Badan Koordinasi Pengawasan Aliran  Kepercayaan Masyarakat atau BAKORPAKEM. Sejak awal tugas mereka mengontrol penghayat kepercayaan ini ya dengan landasan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor Per-019/A/JA/09/2015. Sepertinya lembaga ini perlu diubah agar stigma tersebut pun hilang. (Audrey Ardanentya, Farrah Erifa)

Foto istimewa : Melya Findi (http://satunama.org)

Leave a Reply

Your email address will not be published.