web analytics
Mengembalikan Kejayaan Angkudes di Sleman, Mungkinkah?

Mengembalikan Kejayaan Angkudes di Sleman, Mungkinkah?

Nasib angkutan desa (angkudes) di wilayah Sleman sangat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan berkurangnya armada angkudes yang diikuti pula oleh menyusutnya jalur trayek. Di zaman yang semakin modern ini, jenis transportasi umum dihadapkan dengan berbagai tantangan. Mulai dari mudahnya kredit kendaraan pribadi, hingga berkembangnya transportasi berbasis aplikasi daring.  Maka tak berlebihan jika dikatakan angkudes sedang ‘sekarat’.

Pada zamannya, angkudes menjadi salah satu transportasi andalan masyarakat Sleman. Pelanggan setianya pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak sekolahan, orang yang berangkat kerja, sampai simbah-simbah yang pergi ke pasar untuk berjualan. Harga yang ekonomis menjadi magnet utamanya. Dalam diskusi bertajuk Ngaji Transportasi “Angkudes dan Bus Kota Sekarat! Selametin Nggak Ya?”, Irsyad Adireja dari Pemuda Tata Ruang (Petarung) menceritakan bahwa tarif angkudes pada tahun 2007-2008 hanya sebesar Rp1.500,00. Dengan sejumlah uang tersebut, lanjutnya, ia bisa berangkat ke sekolah dari rumahnya di daerah Palagan yang berjarak sekitar tujuh kilometer. Di Sleman, angkudes ini lebih akrab dikenal sebagai angkot tuyul atau colt kuning.

Namun, semua itu menguap. Perlahan tapi pasti, jumlah armada angkutan umum semakin sedikit. Dalam laporannya bertanggal 23 April 2018, Tribun Jogja memaparkan bahwa dari 289 armada angkudes, kini hanya tersisa 111 armada di Sleman. Dari jumlah tersebut, terhitung hanya 41 armada saja yang beroperasi. Begitu pula yang terjadi dengan jumlah trayeknya. Saat ini, tersisa 9 trayek saja dari semula yang berjumlah 16 rute trayek.

Keadaan yang serupa terjadi pada angkutan umum jenis bus kota. Jumlah armada bus kota menyusut drastis dari 590 hingga pada tahun 2015 tersisa sekitar 190-an saja. Pertanyaan yang muncul kemudinan adalah, mengapa hal ini bisa terjadi?

Dalam diskusi ngaji transportasi yang diselenggarakan oleh Pijak.id dan Petarung tersebut, Irsyad Adireja menjelaskan bahwa faktor penyebab mundurnya angkutan umum khususnya angkudes ialah trayek dan desain angkutan. Menurutnya, jenis mobil angkutan yang cenderung kecil tidak mendukung untuk jalur trayek yang panjang. Rute Pakem-Kranggan misalnya, yang dalam rute tersebut banyak melewati sekolah. Rute trayek yang panjang dan ramai tentunya perlu diseimbangkan dengan armada yang mampu mengakomodasi jumlah penumpang.

Irsyad Adireja melanjutkan, faktor berikutnya adalah kesejahteraan sopir.

“Sopir angkutan umum di Sleman rata-rata bukan pemilik kendaraan. Dia hanya menjalankan kendaraan milik juragannya,” ujarnya. Upah yang diterima juga tidak pasti karena bergantung pada jumlah penumpang yang didapat hari itu. Di sisi lain, sopir juga mempunyai kewajiban untuk membayar setoran kepada juragan angkudes. Apalagi, sopir juga harus membayar biaya bensin dan perawatan armada. Sopir pun akhirnya berusaha keras agar dapat memenuhi semua itu. Salah satunya, dengan ngetem saat jam-jam sepi penumpang dan menjejalkan penumpang kala jam-jam ramai.

Faktor ketiga menyangkut perubahan perilaku penumpang. Perubahan ini, menurut Irsyad, ditunjang oleh mudahnya mengambil kredit kendaraan pribadi. Untuk motor misalnya, kredit dengan mudah didapatkan hanya dengan membayar down payment sebesar 500 ribu rupiah dengan cicilan ringan. Selain itu, munculnya transportasi daring dengan segala kelebihannya juga membuat penumpang banting setir dari angkutan umum ke moda transportasi yang satu ini.

Alfa Narendra, mahasiswa S3 Transportasi UGM memaparkan bahwa pemerintah tidak bisa dengan gegabah memotong jumlah kendaraan pribadi. Pasalnya, walaupun transportasi pribadi sangat mengancam eksistensi transportasi umum, kontribusi pajak yang dihasilkan transportasi pribadi terhadap Pendapatan Asli Daerah DIY cukup besar. Jumlah pajaknya mencapai 37,94% pada tahun 2010, 38,02% pada tahun 2011, 39,16% pada tahun 2012, dan 37,68% pada tahun 2013[1].

Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodasi kebutuhan penumpang pedesaan. Penumpang-penumpang ini, notabene memiliki kepadatan wilayah longgar, penghasilan rendah, volume barang besar dengan nilai barang yang kecil, serta jarak tempuh yang jauh yang memakan waktu tempuh yang lama dengan keadaan yang seperti ini. Sebab, apabila angkutan umum disandingkan dengan angkutan pribadi, orang-orang jelas akan memilih angkutan pribadi. Sementara, untuk mengurangi jumlah angkutan pribadi saja bisa sangat merugikan, mengingat besarnya kontribusi angkutan pribadi terhadap PAD DIY.

Dalam pemaparannya tersebut Alfa menyediakan berbagai alternatif pemecahan masalah. pertama adalah menerapkan sistem buy the service, yaitu dengan membeli pelayanan dari pihak ketiga. Dengan mekanisme seperti ini, armada serta perawatannya diserahkan pada pihak ketiga. Namun, kendalanya adalah bahwa sistem buy the service hanya dapat dilakukan apabila ada anggaran dari pemerintah. Tentu ini akan menyulitkan daerah-daerah dengan pajak minim, karena pemerintah daerahnya akan kesulitan untuk membiayai pelayanan tersebut.

Alternatif kedua, adalah dengan menciptakan transportasi yang lebih fleksibel, yaitu demand rersponsive. Sistem tersebut merupakan jalan keluar yang tepat, terutama ketika tidak ada anggaran dari pemerintah.  Adapun kelebihan dari demand responsive yaitu longgar dalam waktu, ruang, pengguna, dan muatan. Jadi, pada dasarnya angkutan umum tidak harus melewati trayek yang kaku, sehingga supir tidak perlu ngetem lama karena menunggu penumpang dan tidak perlu menempuh jarak yang terlalu jauh apabila sepi penumpang. Supir hanya perlu menyesuaikan dengan keadaan.

Pilihan selanjutnya ialah dengan memanfaatkan aplikasi media sosial yang ada sekarang. Contoh aplikasi media sosial yang dapat digunakan adalah Whatsapp. Alfa menuturkan sopir dan para penumpang bisa berkomunikasi lewat Whatsapp untuk membuat janji kapan dan dimana penjemputan akan dilakukan. Dengan demikian, sopir juga tidak perlu ngetem dan penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama. “Atau, bisa juga menggunakan aplikasi seperti Moovit atau Fintech, namun pengoprasiannya memang sedikit lebih rumit,” tambahnya.

Alfa juga berpendapat bahwa pemerintah harus melonggarkan aturan mengenai angkutan umum karena aturan tersebut dinilai sangat merugikan kesejahteraan sopir. Ia mencontohkan adanya peraturan yang mengatakan angkutan umum harus hadir setiap 15-20 menit sekali, serta peraturan yang mewajibkan sopir untuk mengurangi biaya penumpang anak-anak dan anak sekolah. Padahal kekurangan biaya penumpang-penumpang tersebut ditanggung oleh sang sopir sendiri. Dengan meningkatkan kesejahteraan sopir, setidaknya pemerintah sudah memperbaiki satu aspek dalam upaya pengembalian transportasi umum seperti pada zaman dulu.

Lalu, jika kembali kepada pertanyaan awal, mungkinkah mengembalikan kejayaan angkutan di Sleman? Jawabannya sederhana: mungkin. Kendalanya hanya terletak pada kemauan pemerintah dan masyarakat untuk menghidupkan kembali transportasi umum yang kini bak mati suri. Apabila pemerintah memberikan fasilitas yang memadai dan masyarakat mengapresiasi, mengapa tidak mungkin? (Nesya Ashari, Tata Wardhani)

[1] Rachmat Bayu Firdas, 2014, Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pendapatan Asli Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010-2013, Universitas Negeri Yogyakarta. Tugas Akhir

Leave a Reply

Your email address will not be published.