web analytics
LSI Gelar Diskusi Publik Bertajuk Korupsi, Religiusitas, dan Demokrasi

LSI Gelar Diskusi Publik Bertajuk Korupsi, Religiusitas, dan Demokrasi

Pada hari Rabu (26/9) Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) mengadakan acara bertajuk “Diskusi Publik: Korupsi, Religiusitas dan Demokrasi”. Acara ini bertempat di lantai dua Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada. Yeremia Dwi H., selaku ketua dari acara ini mengatakan bahwa acara ini dapat terselenggara sebab LSI sedang mengadakan diskusi publik di lima kota besar di Indonesia, salah satunya ialah Yogyakarta.

Acara tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu: Kuskridho Ambardhi, MA, Ph.d selaku Executive Director Lembaga Survei Indonesia (LSI), Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf selaku dosen di Religious & Cross-Culture Studies UGM, Arya Budi, S.IP, MAPS. selaku dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH. LL.M yang merupakan dosen Fakultas Hukum UGM dan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM.

Kuskridho Ambhardi menjelaskan bahwa survei yang dilakukan LSI melibatkan responden sejumlah 1520 orang yang diambil secara acak dari seluruh provinsi di Indonesia. Survei ini dilakukan secara tatap muka guna mengetahui bagaimana respon masyarakat mengenai isu korupsi, relijiusitas, dan demokrasi. Dirinya menjelaskan bahwa survei ini sudah dilakukan dua kali, yaitu pada tahun 2017 dan 2018. Salah satu poin yang ditanyakan kepada responden adalah mengenai korupsi secara umum. Ia menjelaskan bahwa responden diberikan pertanyaan mengenai apakah korupsi dalam dua tahun ini mengalami peningkatan, penurunan, atau sama sekali tidak mengalami perubahan. Ia kemudian memaparkan bahwa mayoritas responden mengatakan bahwa korupsi meningkat di Indonesia, yaitu 54 persen di tahun 2017 dan 57 persen di tahun 2018.

Kuskridho juga menjelaskan mengenai poin selanjutnya dari survei yang dilakukan LSI yaitu tentang bagaimana persepsi masyarakat mengenai seberapa serius pemerintah melawan korupsi. Hasilnya enam puluh empat persen responden pada tahun 2018 mengatakan bahwa pemerintah sangat serius dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, namun sayangnya angka ini turun tiga persen dari tahun sebelumnya. Ia kemudian menjelaskan poin ini digunakan untuk mengetahui seberapa jauh publik mengetahui peran pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Dalam poin selanjutnya, Kuskridho menjelaskan bahwa LSI membedakan antara sikap dan perilaku terkait seberapa sering masyarakat berinteraksi dengan pengurus administrasi publik dan seberapa sering mereka diminta memberi uang/hadiah ketika mereka berurusan dengan pengurus administrasi publik. Ia lalu mengatakan bahwa temuan LSI ini cukup menarik. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa berdasarkan survei tersebut pengalaman masyarakat berurusan dengan polisilah yang dinilainya cukup menarik. Meskipun masyarakat tidak terlalu sering berinteraksi dengan polisi, akan tetapi pengalaman diminta untuk memberi uang/hadiah yang paling sering dialami masyarakat. .

Kemudian dalam poin selanjutnya mengenai demokrasi, LSI dalam surveinya menemukan bahwa tujuh puluh persen responden setuju dengan sistem demokrasi dibandingkan sistem pemerintahan yang lain. Kemudian ia mengatakan bahwa seharusnya diatas kertas, orang-orang yang pro terhadap demokrasi itu juga akan bersikap anti korupsi karena hal ini berhubungan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, akuntabilitas yang ada dalam demokrasi berhubungan juga dengan korupsi karena prinsip tersebut tidak menghendaki adanya korupsi. Namun, kemudian ia memaparkan bahwa hubungan sikap pro terhadap demokrasi tidak berhubungan signifikan dengan sikap terhadap anti korupsi.

Hal lain yang ada dalam survei LSI adalah mengenai afiliasi responden dengan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Kuskridho menjelaskan bahwa seharusnya organisasi keagamaan menjadi sumber moral dan relijiusitas para anggotanya. Oleh sebab itu, seharusnya mereka yang tergabung dengan anggota ormas keagamaan memiliki sikap anti korupsi lebih tinggi dibanding yang lainnya.

Hasil survei yang ditemukan LSI mengatakan bahwa sebanyak 42% responden mengatakan bahwa mereka berafiliasi dengan organisasi tertentu. Organisasi kemasyarakatan tersebut dapat dikategorikan ke dalam organisasi yang berlatar agama dan tidak. Dalam hal ini cukup banyak responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan, yaitu 24,7%, sedangkan untuk mereka yang mengikuti organisasi non keagamaan sebesar 28,7%. Kemudian, ia menjelaskan bahwa LSI menemukan bahwa mereka yang menjadi anggota ormas keagamaan memiliki proporsi anti korupsi lebih sedikit dibandingkan mereka yang mengikuti organisasi non keagamaan.

Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH. LL.M dalam acara yang sama menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena korupsi terbagi menjadi dua yaitu: corruption by needs dan corruption by greeds. Mayoritas orang yang memiliki kecenderungan sikap untuk korupsi itu terjadi karena adanya corruption by needs atau korupsi karena kebutuhan.

Selain itu, dosen yang akrab disapa Mas Uceng ini menjelaskan bahwa ada dua dasar ajaran etis, yaitu moral atau keagamaan dan ajaran etis berdasar rasio. Menurutnya, orang-orang yang terafiliasi dengan ormas keagaamaan tertentu ketika menghadapi masalah terkait tawaran korupsi, orang cenderung akan menggunakan rasio. Apabila tawaran itu dirasa menguntungkan bagi orang tersebut maka sikap pragmatisnya akan naik dan mengesampingkan ajaran etis berdasar agama tadi. Hal inilah yang kemudian menjawab mengapa orang yang terafiliasi dengan ormas keagamaan tertentu memiliki kecenderungan untuk lebih ‘toleran’ terhadap korupsi. (Muhammad Rizal, Foto : Istimewa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *