Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Ikhsan Prasetya Fitriansyah dan Felix Juanardo Winata, turut menjadi pemohon dalam judicial review Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Januari 2019 lalu. Turut menjadi pemohon pula dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid dan seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Para pemohon dalam perkara dengan Nomor 4/PUU-XVII/2019 tersebut didampingi oleh dua kuasa hukum – Viktor Santoso Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto.
Meskipun sebelumnya Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor telah diuji materil, permohonan ini tidak lantas menjadi nebis in idem, sebab materi muatan yang dijadikan dasar dari pengujian ini berbeda dengan pengujian sebelumnya. Dalam pengujian ini, para pemohon menyoroti kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Adanya kata “nasional” di belakang frasa “bencana alam” membuat hukuman mati tidak dapat diterapkan dalam setiap kasus korupsi yang dilakukan pada saat terjadi bencana alam karena yang dapat dijatuhi hukuman mati berdasarkan penjelasan pasal tersebut hanya korupsi yang dilakukan pada saat terjadinya bencana alam nasional. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 27 tahun 2004 tentang Penanggulangan Bencana, penerapan status bencana nasional harus didasarkan pada lima indikator, yaitu jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Status bencana nasional ini, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf c undang-undang di atas, ditentukan berdasarkan kewenangan pemerintah.
Padahal, tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf k Rome Statute of the International Criminal Court dan karenanya, menurut para pemohon, patut dijatuhi sanksi berupa hukuman mati, terlepas dari bencana alam tersebut berskala nasional atau tidak. Oleh karena itu, para pemohon ingin agar kata “nasional” di belakang kata “bencana alam” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dihapuskan karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ikhsan selaku salah satu pemohon menganggap keikutsertaan mahasiswa dalam permohonan uji materil ke MK ini sebagai sebuah ‘aksi nyata’ untuk kepentingan masyarakat luas. Lebih-lebih bagi masyarakat yang terkena dampak bencana alam. Menurut Ikhsan, Judicial Review merupakan sebuah cara yang sangat efektif untuk mengkritisi kebijakan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, karena putusan MK akan berdampak terhadap undang-undang hingga peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Lebih lanjut, Ikhsan juga mengajak mahasiswa, terutama mahasiswa Fakultas Hukum UGM, untuk berperan aktif dalam mengawal peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden. Salah satu caranya adalah dengan mengajukan uji materil apabila terdapat undang-undang atau peraturan di bawahnya yang dirasa merugikan masyarakat. Sebab, menurutnya, proses pengajuan uji materil tidak sesulit yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Selain itu, uji materil dapat pula menunjang praktik pembelajaran terhadap mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum. Dengan demikian, peranan mahasiswa sebagai agen perubahan akan menjadi selangkah lebih paripurna. (Nesya-Ejak)