Masa akhir sekolah sering dijadikan celah oleh beberapa oknum untuk melakukan berbagai penarikan biaya dari siswa. Pada tahun ketiga, khususnya masa menjelang kelulusan, pengawasan terhadap praktik administrasi hendaknya perlu diperketat, agar tidak terjadi maladministrasi.
Tahun Ketiga: Mencari Kesempatan di Tahun Kelulusan
Sebagaimana disampaikan dalam laman resminya, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berprestasi di sekolah layak mendapat kesempatan untuk menjadi calon mahasiswa melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Siswa yang berkesempatan menjadi pendaftar seleksi tidak dipungut biaya apapun sebab seluruh biaya penyelenggaran ditanggung oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 Permenristekdikti Nomor 90 Tahun 2017 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri; pembiayaan pelaksanaan SNMPTN dibebankan pada anggaran Kementerian. Namun, menjadi hal menarik ketika dalam proses pendaftarannya, terdapat oknum dari pihak sekolah yang meminta sejumlah uang sebagai ‘uang lelah’. Sejumlah uang ini dimintakan oleh oknum tersebut kepada siswa yang berkesempatan menjadi pendaftar.
Kasus lain yang cukup menarik adalah penarikan uang penebus Ijazah ataupun Sertifikat Hasil Ujian Nasional (SHUN) yang harus dibayar oleh alumni yang ingin mengambilnya. Bagi alumni yang tidak ingin membayar resikonya adalah penundaan bahkan penahanan pemberian dokumen tersebut dari sekolah. Padahal dalam Pasal 8 Permendikbud Nomor 14 Tahun 2017 tentang Ijazah dan Sertifikat Hasil Ujian Nasional dijelaskan bahwa anggaran dan pelaksanaan penyediaan/penggandaan dan pendistribusian Ijazah dan SHUN adalah tanggung jawab Kemendikbud. Sebagai contoh, dalam Pasal 8 ayat (1) Permendikbud Nomor 14 Tahun 2017 dijelaskan; Anggaran penyediaan/penggandaan dan pendistribusian blangko Ijazah dan SHUN menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mengenal Pungutan dan Sumbangan
Dalam Pemendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, telah didefinisikan apakah yang dimaksud dengan pungutan dan sumbangan. Selain itu, kita dapat mengacu pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. pada Pasal 1 Permendikbud No. 75 Tahun 2016 dapat kita lihat, pungutan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Sementara sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Yuris Rezha, memberi penjelasan mengenai definisi dari pungutan dan sumbangan yang dapat merujuk pada dua Permendikbud di atas.
“Pertama, Permendikbud Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan, di situ mendefinisikan apa perbedaan pungutan dan sumbangan. Tapi masalahnya, Permendikbud itu hanya diatur untuk SD dan SMP karena dulu pendidikan dasar kan masih sampai 9 tahun, belum sampai 12 tahun. Kemudian untuk SMA bisa pakai Permendikbud Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah.”
Lebih lanjut Yuris juga mempertegas mengenai perbedaan antara pungutan dan sumbangan itu, mengacu pada kesimpulan kedua Permendikbud tadi.
“Pungutan sifatnya wajib, biaya dan waktunya sudah ditentukan. Kalau sumbangan sifatnya sukarela dan tidak memiliki dampak ketika seseorang tidak menyumbang.” ujarnya.
Penarikan dana pendidikan sendiri bisa dilakukan Komite Sekolah dalam bentuk sumbangan dan bukan pungutan. Pungutan yang bisa dilakukan oleh sekolah adalah pungutan resmi dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tepatnya pada Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan. Pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian dapat dikatakan sebagai pungutan liar. Lebih lanjut mengacu pada PP No. 48 Tahun 2008, Yuris menjelaskan perbedaan antara pungutan resmi dan pungutan liar.
“Untuk mengetahui apakah pungutan itu resmi atau tidak, dapat dilihat pada PP tentang Pendanaan Pendidikan tahun 2008. Yang saya pahami di situ tentang pungutan resmi yaitu, satu, dia harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang kedua, punya dasar (pelaksanaan) entah itu keputusan kepala sekolah, peraturan dinas pendidikan (setempat), keputusan atau sebagainya. Ketiga, harus transparan, artinya bisa diakses dana ini untuk apa, ada proses audit yang berkala, lalu kemudian ada pembukuan secara berkala juga. Kalau pungutan-pungutan yang dilakukan sekolah tidak memenuhi indikator-indikator tadi yang lebih lanjut (diatur) dalam PP tentang Pendanaan Pendidikan tadi, ya saya pikir itu yang bisa disebut pungutan liar.” tuturnya.
Kemudian, apakah pungutan liar ini dapat dikatakan korupsi? Yuris menambahkan bahwa pungutan liar ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila telah memenuhi unsur-unsur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, seperti suap-menyuap, gratifikasi, ataupun pemerasan.
“Pungli dan korupsi itu memang dekat, bahkan bisa saya katakan pungutan liar bisa jadi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ketika memenuhi unsur-unsur dalam pasal Undang-undang Tipikor. Kalau kemudian misalnya pungutan liar ini dilakukan oleh penyelenggara negara, jelas di situ Undang-undang Tipikor bisa masuk. Misalnya guru atau kepala sekolah, dia kan termasuk dalam golongan penyelenggara negara, di situ dapat kena pasal, misalnya suap-menyuap, bisa tentang gratifikasi, atau pasal pemerasan.”
Dengan penjelasan yang telah diuraikan di atas, Yuris berpendapat bahwa pungutan biaya pada pendaftaran SNMPTN dan pengambilan Ijazah tersebut patut diduga keras sebagai pungutan liar.
“SNMPTN itukan seharusnya gratis ya, kalau itu diperbayar apalagi dibayarnya tidak ada dasar hukum dari pihak sekolah, tidak ada perencanaan, tidak transparan uangnya kemana, jelas itu pungutan liar saya bisa bilang gitu. Patut diduga keraslah itu pungutan liar. Ijazah pun juga seperti itu, setahu saya tidak ada alasan apapun sekolah menahan ijazah.” tegasnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Yuliani Putri Sunardi, aktivis pendidikan sekaligus salah satu pendiri Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), saat dimintai pendapat mengenai pungutan yang terjadi pada pendaftaran SNMPTN dan pengambilan Ijazah.
“Wah itu (pungutan uang pendaftaran SNMPTN) udah pungli banget itu.” ujarnya.
Yuli sendiri sering menemukan praktik pungutan liar saat pengambilan Ijazah di sekolah. Selain itu, ia sering melakukan pembebasan Ijazah siswa di berbagai Sekolah Menengah di Yogyakarta.
Selain dari kedua contoh pungutan tadi, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam Focus Grup Discussion (FGD) yang dilakukan di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta dengan peserta guru dan orang tua siswa pada Juli 2003, memberi gambaran mengenai jenis-jenis pungutan. Pungutan yang termasuk illegal diantaranya biaya lari, biaya bangku sekolah, biaya renang, biaya les, biaya ujian, biaya ulang tahun, perbaikan sekolah, peralatan sekolah, buku, perpustakaan, biaya pembelian rapor, biaya sampul rapor, biaya ijazah, biaya perpisahan, biaya pensiun, biaya kenang-kenangan, dan biaya masak. Pada masa itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Kepmendiknas 044/U/2002.
Sanksi yang Mengancam
Pelaporan pungli yang mengarah pada praktik administratif dapat diadukan pada Ombudsman sebagai laporan tindakan maladministratif. Sementara pelaporan pungli yang mengarah pada ranah pidana dapat diadukan pada Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).
Dalam laman resminya, Ombudsman menerangkan sanksi yang dapat dikenakan dalam kasus pungutan liar di sekolah dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif. Pelaku tindakan pungli dapat dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 huruf e yang berbunyi,”Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 368 KUHP menanti pelaku karena pemerasan dengan ancaman pidana penjara maksimal sembilan tahun. Selain itu, pelaku pungli yang berstatus PNS dapat dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
Sementara hukuman administratif yang dapat dijatuhi pada pelaku pungli antara lain Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi ini dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.
Perlawanan Terhadap Pungli
Pemberantasan pungli sendiri tak hanya menjadi tugas lembaga yang berwenang saja, namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Sosialisasi mengenai pungli juga sangat penting dilakukan lembaga berwenang di sekolah-sekolah agar pihak sekolah, wali murid, ataupun siswa dapat memahami penarikan dana manakah yang termasuk pungutan ilegal. Penegak hukum harus bertindak tegas dalam menangani oknum-oknum yang melakukan pungli di sekolah. Angka pungli yang terhitung kecil hendaklah jangan diremehkan, sebab apabila diakumulasikan secara keseluruhan maka akan mencapai angka yang cukup besar.
Perlawanan terhadap pungli ini sangat diperlukan, selain karena merupakan perbuatan melanggar hukum, kita harus mengingat bahwa tidak semua siswa berasal dari keluarga yang memiliki perekonomian mapan. Siswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah ini lah yang sangat terkena dampak dari pungutan liar ini. Siswa yang tidak membayar pungli tadi terancam akan kehilangan hak yang seharusnya ia miliki.
Peran siswa dalam perlawanan pungutan liar juga sangat diperlukan. Siswa harus bisa mengkritisi tiap pungutan yang patut diduga sebagai pungutan liar. Siswa yang menemui praktik pungutan liar ini hendaknya segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib, agar praktik ini dapat dihentikan.
Meskipun dalam praktik pungli terdapat kesepakatan antara oknum dengan wali murid ataupun siswa, perbuatan ini tidak dapat dibenarkan karena jelas melanggar hukum. Kejahatan pada perbuatan pidana lain pun dapat melalui kesepakatan ataupun permufakatan dengan ancaman sanksi yang menanti pihak-pihak yang terlibat.
Penulis : Savero
Ilustrator : Selma
Editor : Faiz Al-Haq