web analytics
Swagayugama Berbangga Diri Menjadi Pelestari

Swagayugama Berbangga Diri Menjadi Pelestari

Beralun syahdu gamelan menggema di Aula Gelanggang Mahasiswa UGM, Bulaksumur, Sleman, Sabtu (27/4) petang. Alunan syahdu itu berasal dari Pentas Ambal Warsa 51 UKM Swagayugama. Pentas bertajuk “Berbangga Diri Menjadi Pelestari” menghadirkan Empat penampilan untuk memperingati hari jadi yang ke-51.

Selepas pukul 19.30 WIB, hadirin Pentas Ambal Warsa dipukau dengan irama karawitan. Seiring tabuh bersambut, 7 penari cilik memasuki panggung dengan gemulai. Membawakan tari Nawung Sekar, penari-penari ini sukses membuat hadirin hanyut dalam decak kagum. Berbalut jarik jingga, penari cilik ini berayun lembut bagai bunga menebar kekaguman pemirsanya. Tari Nawung Sekar yang merupakan tari dasar gaya Yogyakarta ini tuntas dibawakan penari-penari cilik dari Taman Pemulangan Seni Budaya Pakembinangun dengan eloknya.

Redup pencahayaan diatur dengan apik. Remang kemudian terang, 9 penari masuk mengisi panggung. Dengan iringan khidmat suara sinden dan tabuhan gamelan, tari Sari Kusuma dibawakan sekelompok perempuan berbalut sandang hitam emas. Sesuai dengan ragam tarinya, selendang jingga penari sesekali berayun anggun nan lembut. Tari Sari Kusuma merupakan gambaran sebuah perjalanan seorang gadis yang belajar menari. Mulai dari saat pertama dia mencoba hingga berkembang menjadi lebih baik lagi.

Kidung Senja di Kota Jogja

Pentas peringatan dirgahayu UKM Swagayugama ini belum berhenti memukau para hadirin Aula Gelanggang. Dengan memadukan tabuh gamelan dan petikan gitar, Swagayugama menghadirkan suasana yang lain. Sajian ‘Kidung Senja di Kota Jogja’ keluar dari gaya klasik khas Swagayugama. Kombinasi gamelan dan gitar sukses membuai hadirin mencipta senja dengan rasa yang berbeda.

Tiap orang tentu memiliki senjanya masing-masing. Mengutip Jagad Mellian Tejo Mesti, “Senja Ibarat cinta. Dengan sombong menunjukkan pesonanya. Terbuai kita akan pesonanya. Lupa akan ketiadaanya. Mari menikmati senja di Jogja”

Burisrawa Rante

Waktu beralih semakin larut, kidung senja beralih kembali dengan tabuh gamelan. Hadirin menanti apa yang akan ditampilkan. Sosok tinggi besar melonjak kesana kemari memasuki panggung. Hadirin senyap memasang mata telinga, sosok itu sukses mengambil perhatian hadirin. Sosok yang dimaksud adalah Arya Burisrawa, tokoh wayang berwujud setengah raksasa, badannya tinggi dan gagah. Burisrawa Rante sendiri adalah sendratari yang mengisahkan cerita dirantainya Burisrawa akibat tindakannya.

Dalam sendratari yang ditampilkan, Burisrawa dikisahkan tengah dimabuk cinta dengan Dewi Wara Sembadra. Sesekali ia terkekeh khas mengajak Sembadra agar mau diperistri.

“Hahaha,  Hihihi, ayo tha mbok Sembadra”, ujarnya khas.

Dimabuk cinta membuat Burisrawa gelap mata. Dicabutlah kerisnya untuk menggoda Sembadra. Namun alih-alih mau dan tergoda Sembadra malah terkena tusukan keris hingga terluka.  Hanyut dalam drama tarian, para hadirin terpukau dengan pembawaan totalitas Burisrawa.

Suguhan tak kalah apik ditampilkan dalam aksi perang Burisrawa berikut balanya melawan Antareja dan Gatotkaca. Burisrawa yang digambarkan sebagai sosok yang gagah dan besar tetap berniat untuk memperjuangkan cintanya pada Dewi Sembadra. Namun kesaktian Antareja dan Gatotkaca yang masih kerabat Dewi Sembadra tidak dapat dikecilkan. Perang yang dilukiskan dalam sendratari ini berlangsung tegang. Alunan gamelan beradu cepat membuat hadirin semakin larut terpukau. Walau dengan jumlah lebih banyak nampaknya Burisrawa harus mengakui keunggulan Gatotkaca dan Antareja. Akhirnya, rantai tertaut di kedua tangan dan kaki Burisrawa.   

Burisrawa Rante adalah sendratari yang sarat akan pesan. Mengutip keterangan UKM Swagayugama, “Hidup seakan membutuhkan masalah supaya kita tahu bahwa kita memiliki kekuatan untuk melaluinya, butuh pengorbanan supaya kita dapat merasakan kerja keras, butuh air mata supaya kita tahu perasaan untuk merendahkan hati, butuh dicela supaya kita tahu cara untuk menghargai, butuh orang lain supaya tahu kita tidak sendiri. Diriku tidak bisa menjadi seperti orang lain, dan orang lain pun tidak bisa menjadi seperti diriku. Inilah aku dengan segala caraku untuk mendapatkan cintamu.” Burisrawa Rante menutup Pentas Ambal Warsa beriring tepuk tangan riuh para hadirin.

Penulis: Faiz Al-Haq

Foto: Audra Ranatika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *