web analytics
Menggugat Gadjah Mada:  Tujuh Tuntutan untuk Rektorat

Menggugat Gadjah Mada: Tujuh Tuntutan untuk Rektorat

BPPM MAHKAMAH — Puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM lakukan aksi unjuk rasa di Balairung UGM Rabu (13/11/2019). Menurut Mahdi Yahya, koordinator lapangan, aksi ini berawal dari keresahan mahasiswa atas tak kunjung adanya titik temu tuntutan bahkan setelah melalui hearing rektorat. 

Aksi bertajuk “Menggugat Gadjah Mada” ini membawa tujuh tuntutan. Tuntutan tersebut meliputi: 

  1. Tolak larangan mobilisasi maba dan sahkan memo kegiatan kokurikuler; 
  2. tolak instruksi rektor UGM sahkan draf peraturan kekerasan seksual; 
  3. tolak rencana penerapan uang pangkal di UGM; 
  4. penjaminan kebebasan akademik; 
  5. wujudkan penanganan kesehatan mental secara menyeluruh di UGM; 
  6. Berikan legalitas terhadap Ormada;
  7. Berikan jaminan keamanan siber terkait privasi data pribadi.

“Aksi ini diadakan untuk memberikan sedikit penekanan agar rektorat lebih serius dalam menanggapi keresahan mahasiswa,” tutur Mahdi.

Selepas tuntutan tersebut dibacakan, Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono M.Eng., D.Eng., didampingi beberapa pimpinan universitas, Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr, dan Wakil Rektor Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia,  Prof. Dr. Ir. Bambang Agus Kironoto, serta perwakilan dari Forum Advokasi UGM, Kevin Krissentanu menemui mahasiswa dan memberikan tanggapan mengenai tuntutan yang diajukan. Jajaran rektorat lantas mengajak peserta aksi untuk berdiskusi dan memaparkan pertimbangan-pertimbangan mengenai isu yang diajukan.

Tuntutan pertama mengenai larangan kegiatan mobilisasi mahasiswa baru dan permintaan pengesahan memo kokurikuler telah dibahas sebelumnya dengan Direktorat Kemahasiswaan. Mahasiswa meminta memo yang nantinya disahkan adalah memo yang telah dibahas bersama dengan mahasiswa, bukan memo yang dibuat rektorat secara sepihak. 

“Draft memo yang akan disahkan itu sangat jauh dari aspirasi mahasiswa,” tegas Feri.

Menanggapi tuntutan tersebut, Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., mengajak mahasiswa untuk mengkaji kembali substansi mana yang tidak sesuai dengan aspirasi mahasiswa. 

“Pertimbangan kami banyak, kami juga harus memperhatikan pertimbangan dari orang tua mahasiswa,” jelas Djagal. 

Dalam aksi ini, Aliansi Mahasiswa UGM juga menuntut rektor untuk segera mengesahkan draft Peraturan Kekerasan Seksual. Draft ini sudah dibuat sejak Januari 2019 namun tak kunjung disahkan. Berkenaan dengan hal tersebut rektorat justru mengeluarkan instruksi rektor mengenai pencegahan kekerasan seksual. Instruksi rektor ini dianggap tidak memiliki kekuatan yang mengikat karena hanya bersifat himbauan dan sosialisasi.

Menurut Panut, draft yang sudah dibuat oleh tim sedang diselaraskan dengan peraturan-peraturan yang ada, “Sambil menunggu peraturan itu maka dikeluarkan instruksi rektor yang fungsinya menggantikan sementara.  Jika ada kasus kekerasan seksual akan ditindak dengan instruksi tersebut.”

Lebih lanjut, Rektorat menjanjikan waktu satu bulan untuk mengesahkan peraturan mengenai perlindungan kekerasan seksual.

Selanjutnya, menanggapi rencana UGM yang akan menerbitkan uang pangkal di tahun 2020. Permasalahan yang timbul adalah urgensi dari kebijakan uang pangkal. Mahasiswa meminta adanya transparansi dari pihak universitas supaya dapat memahami alasan UGM sebagai kampus kerakyatan menetapkan uang pangkal. 

Panut mengajak perwakilan mahasiswa untuk mengawal proses pengambilan kebijakan uang pangkal. Kebijakan ini masih dalam wacana yang belum ada keputusan apapun. 

“Tidak ada yang namanya rencana uang pangkal tetapi yang ada adalah sumbangan pengembangan institusi. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan apapun mengenai rencana tersebut.” tegas Panut. 

Mahasiswa meminta kepastian bahwa di tahun 2020 tidak akan ada uang pangkal. Alasannya karena wacana tersebut masih terburu-buru dan mereka meminta transparansi terlebih dahulu mengenai urgensi uang pangkal tersebut. 

“Nanti kami melibatkan perwakilan dari mahasiswa untuk mengkaji urgensi sumbangan pengembangan institusi.”  tambah Djagal.

Jaminan kebebasan akademik di lingkungan UGM turut disertakan dalam tuntutan. Aliansi Mahasiswa UGM menginginkan agar adanya perlindungan kebebasan akademik melalui regulasi yang jelas. Ada juga tuntutan mengenai penanganan kesehatan mental secara menyeluruh di UGM. Menurut survei, banyak mahasiswa yang mengalami mental illness dan fasilitas yang diberikan kampus dinilai belum memadai. UGM diharapkan memberikan fasilitas konseling psikologi secara menyeluruh dan memadai.

Tuntutan berikutnya adalah legalitas terhadap Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada). Ormada telah berperan dalam menyebarluaskan informasi mengenai UGM. Menurut Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2017 tentang Organisasi Mahasiswa, Ormada telah memenuhi syarat sebagai suatu komunitas. 

Mengenai tuntutan tentang jaminan keamanan siber terkait privasi data pribadi, sampai saat ini belum ada kepastian tentang hal tersebut. Sebagai konklusi, di akhir aksi Menggugat Gadjah Mada disahkan memo yang ditandatangani oleh wakil rektor bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan Djagal Wiseso Marseno. Dalam memo disebutkan: disahkannya memo kokurikuler yang telah disepakati bersama pada 20 November 2019; dalam waktu satu bulan telah disahkan peraturan kekerasan seksual; tidak ada uang pangkal di UGM yang ada hanya sumbangan sukarela dan tidak mempengaruhi seleksi masuk; menjamin dan melindungi kebebasan mimbar akademik, sesuai dengan statuta dari peraturan MWA UGM; Juni 2020 sudah dibangun Centre Health unit dengan penanggung jawab di setiap fakultas; sepakat legalitas paguyuban Ormada di UGM; dan adanya jaminan data pribadi melalui surat yang ditandatangani di MWA.

Reporter: Salwa
Editor: Alfina

baca juga https://mahkamahnews.org/2019/11/18/rangkaian-atraksi-dalam-gerakan-menggugat-gadjah-mada/

Leave a Reply

Your email address will not be published.