“Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!” teriak massa Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis (16/1/2020). Massa berkumpul di depan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam Aksi Kamisan ke 618. Aksi Kamisan kali ini telah memasuki tahun ke-13, dimulai dengan Aksi Kamisan pertama pada tanggal 18 Januari 2007. Aksi Kamisan adalah aksi berdiri di depan Istana Negara untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.
Aksi yang diinisiasi keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) ini dilakukan dengan berdiri menggunakan payung hitam dan baju hitam setiap Kamis sore. Dalam peringatan ke-13 tahun kali ini, peserta aksi berusaha melakukan “Long March” mengelilingi Istana Negara. Sayangnya, kegiatan “Long March” ini dilarang oleh pihak aparat yang berjaga di tempat. “Tiga belas tahun kegiatannya semakin dipersulit, semakin dilarang oleh aparat. Untuk hari ini, trotoar tidak boleh dilewati”, ujar salah satu inisiator Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih.
Wanita yang akrab disapa Bu Sumarsih, merupakan peserta Aksi Kamisan sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 2007. Bersama Suciwati Munir, istri aktivis HAM Munir Said Thalib yang terbunuh, Bu Sumarsih bertindak sebagai Presidium dari JSKK. Anak semata wayang Bu Sumarsih, Bernardus Realino Norma Irawan atau akrab disapa Wawan, tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 13 November 1998. Dalam artikel wawancara Majalah Mahkamah 2018[efn_note]Raynal Payuk, “Maria Catarina Sumarsih: Diam Untuk Melawan” , Majalah 17/XXXIII/2019, BPPM Mahkamah,
diakses 19 Januari 2020.[/efn_note], Bu Sumarsih menceritakan bahwa anaknya tertembak saat berusaha menolong korban yang ditembak ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di depan Universitas Atma Jaya. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya tersebut meninggal setelah peluru aparat menembus dada kanannya.
Menyandera Diri Sendiri
Pada Aksi Kamisan ke-618, hadir pula Asih Widodo yang merupakan ayah dari Sigit Prasetyo, mahasiswa Teknik Sipil Universitas Persada Indonesia yang tewas tertembak juga pada Tragedi Semanggi I. Pria ini dikenal karena memodifikasi sepeda motor miliknya dengan foto almarhum anaknya dan tulisan protes terhadap TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam keterlibatan institusi tersebut dalam Tragedi Semanggi I. Sampai saat ini, Asih Widodo berharap pihak yang memerintahkan penembakan mahasiswa diadili termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto yang menjabat sebagai Menteri Keamanan, Pertahanan, dan Panglima Gabungan ABRI (Menhankampangab) kala itu. “Buat saya, Wiranto harusnya sudah dipenjara”, pungkasnya.
Pengangkatan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dalam periode kedua Presiden Joko Widodo memang mendapat kecaman dari aktivis yang menghadiri Peringatan 13 Tahun Aksi Kamisan. “Kita akan terus tuntut Jokowi untuk mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) pembentukan Pengadilan HAM dan membentuk KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), bukan malah mengangkat Prabowo dan Wiranto”, teriak Yati Andiryani, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS).
Hal ini bukan tanpa alasan, Wiranto adalah Panglima ABRI saat Tragedi Semanggi 1 dan memerintahkan pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa) yang ikut terlibat dalam tragedi tersebut[efn_note]Rakhmad Hidayahtulloh, “Kilas Balik Cerita Pam Swakarsa yang Diungkit Kivlan Zen”, Detik.com, https://news.detik.com/berita/d-4663260/kilas-balik-cerita-pam-swakarsa-yang-diungkit-kivlan-zen/2 diakses 19 Januari 2020.[/efn_note]. Di lain pihak, Prabowo Subianto merupakan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat pada periode penculikan aktivis demokrasi dan mahasiswa 1997/1998[efn_note]Iswara N Raditya, “Sejarah Tim Mawar, Penculikan Aktivis ’98, & Keterlibatan Prabowo”, Tirto.id
https://tirto.id/sejarah-tim-mawar-penculikan-aktivis-98-keterlibatan-prabowo-djgG diakses 20 Januari 2020.[/efn_note].
Bagi Yati Andriyani, keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat tokoh yang diduga terlibat memerintahkan pelanggaran HAM di masa lalu merupakan tindakan kontraproduktif terhadap agenda HAM. “Sebenarnya itu kontraproduktif, alih-alih menyelesaikan, malah mengangkat orang-orang tersebut membuat Jokowi seperti menyandera dirinya sendiri untuk tidak menyelesaikan masalah ini”, tegas perempuan yang akrab disapa Mbak Yati.
Kado Ulang Tahun Aksi Kamisan
Setelah 13 tahun berjalan, keluarga korban yang ikut dalam Aksi Kamisan hanya pernah diundang dua kali ke dalam Istana Negara. Pertama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 20 Maret 2008 dan kedua oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Maret 2018. Dalam kedua pertemuan yang terjadi satu tahun sebelum Pemilihan Presiden tersebut, Presiden SBY dan Jokowi sama-sama berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hingga memasuki awal tahun 2020, belum ada progres lebih lanjut penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bertindak sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM berat sedangkan penyidikan dan penuntutan berada dalam kewenangan Jaksa Agung. Semua Jaksa Agung sejak era Presiden SBY, selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan alasan bukti yang kurang lengkap. Contohnya Jaksa Agung 2014-2019, HM Prasetyo yang tidak menindak lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan kurang bukti dan sulit mencari saksi[efn_note]
Adrian Pratama Taher, “Jaksa Agung Sebut Kasus HAM Masa Lalu Sulit Dibawa ke Pengadilan”, Tirto.id, https://tirto.id/jaksa-agung-sebut-kasus-ham-masa-lalu-sulit-dibawa-ke-pengadilan-cLxR diakses 19 Januari 2020.[/efn_note]. “Ketika saya sebagai ibunya Wawan pernah minta hasil visum ke Danpomdam Jaya, komandannya pak Hendarji Soepandji mengatakan bahwa visum ini bisa diberikan ke keluarga korban setelah selesai digunakan dalam keperluan pengadilan. Namun ternyata ada ketentuan setelah 5 tahun visum ini dihancurkan”, kira-kira begitu respon Bu Sumarsih terhadap argumen Kejaksaan Agung terkait kurangnya bukti. “Mengenai alat bukti dan sebagainya, kalau hilang adalah kesalahan Pemerintah”, lanjutnya.
Pergantian Jaksa Agung pada kabinet periode ke-2 Presiden Joko Widodo, lagi-lagi tidak membawa perubahan besar dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan secara terang-terangan menyatakan Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat[efn_note]Dani Prabowo, “Polemik Tragedi Semanggi I dan II, Ini Definisi Pelanggaran HAM Berat”, Kompas.com https://nasional.kompas.com/read/2020/01/18/07430031/polemik-tragedi-semanggi-i-dan-ii-ini-definisi-pelanggaran-ham-berat?page=all diakses 19 Januari 2020.[/efn_note]. Pernyataan kontroversial tersebut dilontarkan di hadapan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada hari yang sama dengan peringatan 13 tahun Aksi Kamisan. Padahal Pasal 9 Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Fakta bahwa 17 mahasiswa meninggal dalam Tragedi Semanggi I dan 4 mahasiswa tewas dalam Tragedi Trisakti adalah bukti tidak terbantahkan bahwa terdapat serangan sistematik terhadap penduduk sipil yang terlibat demonstrasi kala itu[efn_note]M Rosseno Aji, “Begini Kejadian Tragedi Semanggi yang Disangkal Jaksa Agung”, Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1296699/begini-kejadian-tragedi-semanggi-yang-disangkal-jaksa-agung diakses 19 Januari 2020.[/efn_note]. Komentar Jaksa Agung bahkan berseberangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah diberikan ke Kejaksaan Agung[efn_note] Devina Halim, “Komnas HAM Minta Jaksa Agung Periksa Kembali Berkas Penyelidikan Kasus Semanggi I dan II”, Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/16/17541001/komnas-ham-minta-jaksa-agung-periksa-kembali-berkas-penyelidikan-kasus?page=all diakses 19 Januari 2020.[/efn_note].
“Pernyataan Jaksa Agung itu semakin meyakinkan, semakin melegalkan, bahwa Indonesia adalah negara impunitas”, Ucap Bu Sumarsih merespons pernyataan kontroversial Jaksa Agung terkait tragedi yang merenggut nyawa putranya. “Mestinya kalau ada amandemen UUD 45, saat dengar pendapat di MPR, mestinya harus disuarakan amandemen Pasal 1 ayat 3 UUD 45, bahwa Indonesia ini bukan negara hukum tetapi negara impunitas”, tutupnya.
Akan Berlipat Ganda
Dalam orasinya, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengingatkan bahwa represifitas dan pelanggaran HAM pada era Presiden Jokowi merupakan peninggalan dari Orde Baru yang terjadi karena tidak ada penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM sebelumnya. “Apa yang terjadi sekarang ini, merupakan kelanjutan dari sisa-sisa represifitas Orde Baru. Apakah kita akan diam melihat hal itu?”, teriak Usman Hamid. Massa yang diisi mayoritas anak muda berumur di bawah 30 tahun tersebut dengan serentak menjawab tidak.
Walaupun dimulai sebagai aksi yang mayoritas dihadiri keluarga korban, jumlah peserta yang berasal dari kalangan anak muda bertambah setiap tahunnya. Dalam Peringatan 13 Tahun Aksi Kamisan, terdapat kehadiran musisi muda yang fokus pada isu-isu HAM seperti Summer Rain, Tashoora, dan Syifasativa. Saat ini, Aksi Kamisan telah dilakukan di 23 kota di seluruh penjuru Indonesia. Walaupun penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu masih jauh dari titik terang, antusiasme generasi muda memberikan harapan baru bagi keluarga korban.
“Ini menjadi kewajiban kita sebagai anak muda yang setidaknya hadir di Aksi Kamisan di berbagai kota kewajiban kita untuk memperjuangkan tegaknya supremasi hukum dan HAM”, tutur Bu Sumarsih di depan para pemuda pemudi yang mewawancarainya. “Tapi pernahkah kita melakukan aksi seorang diri, berdua saja, atau cuma bertiga? Tidak pernah selama 13 tahun aksi ini berjalan. Malahan Aksi Kamisan sekarang telah dilakukan di 23 kota. Itu artinya kita berlipat ganda!”, sahut Yati Andriyani dengan menggebu.
Penulis: Raynal Payuk
Fotografer: Brian Achmad Ndrio (Eksternal)
Editor: Athena, Salwa, Mustika