web analytics
Omnibus Law: Mencari Partisipasi Publik di Tengah Gaung Investasi

Omnibus Law: Mencari Partisipasi Publik di Tengah Gaung Investasi

BPPM Mahkamah (9/3/20) – Terdapat beberapa persamaan dalam aksi #GejayanMemanggilLagi pada 9 Maret 2020 dengan aksi #GejayanMemanggil pada 23 September lalu, yaitu Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) yang memberikan mosi tidak percaya kepada regulator. Hal tersebut lantaran para pembuat undang-undang dianggap tidak mengindahkan aspirasi publik atas keberadaan pelbagai Rancangan Undang-undang (RUU) kontroversial, salah satunya RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap melemahkan fungsi lembaga tersebut.

Aksi #GejayanMemanggil tersebut memantik lahirnya gerakan-gerakan di pelbagai wilayah seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Mataram, Semarang, dan berbagai daerah lainnya. Sebagaimana dilansir oleh tirto.id[efn_note]

Adi Briantika, “Aksi Reformsi Dikorupsi: 1.489 Orang Ditangkap, 380 Jadi Tersangka”, 2019, https://tirto.id/aksi-reformasi-dikorupsi-1489-orang-ditangkap-380-jadi-tersangka-ejaY, diakses pada 16 Maret 2020 pukul 17.00 WIB.

[/efn_note], Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) per 3 Oktober 2019 merilis data 390 aduan terkait kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang oleh kepolisian di pelbagai daerah akibat aksi di pelbagai daerah. Hal tersebut melahirkan adanya Aksi Gejayan Memanggil Jilid II sebagai bentuk kekecewaan atas tindakan represif aparat kepada massa aksi.

Sikap yang sama juga dinyatakan ARB dalam Mosi Parlemen Jalanan Senin lalu. Dalam salah satu poinnya, mosi tidak percaya kembali diberikan kepada pemerintah dan seluruh lembaga yang mendukung pengesahan Omnibus Law. Suatu undang-undang yang baik haruslah memuat tiga unsur penting yaitu filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dalam hal ini, unsur sosiologis tidak terpenuhi. Suatu undang-undang haruslah mendapat pengakuan dari rakyat yang menjalankannya. Tetapi pada kenyataannya, meskipun rancangan undang-undang telah mendapat penolakan dari publik, pada akhirnya masih saja berujung pada disahkannya draf tersebut. 

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pembuat kebijakan ini patut dipertanyakan sebab terjadinya. Terlebih masyarakat yang menolak terutama berasal dari pihak-pihak yang mendapat dampak peraturan perundangan yang dirancang itu sendiri. Para perwakilan rakyat seharusnya berperan sebagai perpanjangan tangan atas kebutuhan hukum rakyat, alih-alih sebagai penentu nasib dan jalan hidup rakyat. Untuk itu, partisipasi publik merupakan kunci krusial yang berguna sebagai penyeimbang bagi regulator agar tidak hanya melihat kepentingannya sendiri, melainkan juga rakyat yang seharusnya memegang kendali atas demokrasi.

Partisipasi Publik yang Dihilangkan

Beredarnya draf beserta naskah akademik RUU omnibus, membuat buruh mempertanyakan kembali di mana letak partisipasi publik yang seharusnya mereka miliki. “Omnibus Law ini kan juga diam-diam dibuat oleh pemerintah, pemerintah membuat rancangan dan (Satgasnya pun) buruh tidak dilibatkan, padahal isinya membahas tentang ketenagakerjaan,” ujar Ali,  koordinator Forum Komunikasi Buruh Bergerak (FKBB). Dalam guyuran hujan ia menyatakan bahwa meski telah ada naskah akademik tandingan yang diberikan oleh pelbagai universitas, pemerintah tetap menggunakan naskah akademik dari Satgas dengan menggunakan perspektif rezim.

Partisipasi publik sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Bab IX tentang Partisipasi Masyarakat, pada Pasal 96 disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan ini dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Hal tersebut dapat disampaikan melalui adanya rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat dalam hal ini, diartikan sebagai orang perseorangan atau kelompok yang memiliki kepentingan atas substansi dalam rancangan peraturan perundang-undangan. Dalam RUU Omnibus Law ini, perlu didengarkan pula suara dari kelompok buruh, perempuan, lingkungan hidup, dan kelompok lain yang terdampak atas rancangan tersebut alih-alih hanya mendengar suara para pengusaha tentang kerikil-kerikil investasi.

Namun, sering kali yang terjadi di lapangan adalah bahwa draf itu sendiri telah terbentuk, namun baru dapat diakses secara resmi ketika telah diserahkan ke DPR. Pada akhirnya, hal ini mengakibatkan waktu pemberian masukan oleh masyarakat terbatas oleh jangka waktu pengesahan rancangan tersebut. Ujungnya, sosialisasi baru akan dilaksanakan ketika RUU hendak disahkan. Pun ketika suatu kelompok menghadiri rapat pembahasan RUU, sering kali kehadiran mereka dianggap sebagai ‘persetujuan’ akan rancangan undang-undang tersebut. Oleh karenanya, kerap terjadi suatu perwakilan kelompok yang menolak hadir saat rapat pembahasan. Sebagai contoh adalah Surat Terbuka dari WALHI pada 2 Maret 2020 yang menolak undangan rapat pembahasan RUU Cipta Kerja, yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat lingkungan hidup[efn_note]

WALHI, “Surat Terbuka: WALHI Menolak Hadir dalam Pembahasan RUU Omnibus Law Cilaka”, 2020, https://walhi.or.id/surat-terbuka-walhi-menolak-hadir-dalam-pembahasan-ruu-omnibus-law-cilaka, diakses pada 16 Maret 2020 pukul 20.15 WIB.[/efn_note].

Menilik RUU Lain, yang Turut Mengesampingkan Para Stakeholder

Tidak hanya Omnibus Law, dalam satu tahun terakhir setidaknya sudah ada pelbagai rancangan peraturan perundang-undangan yang ditolak oleh para stakeholder. Pertama, adalah RUU Permusikan yang mendapat penolakan dari ratusan musisi dari pelbagai kelompok. Sebagai contoh, salah dua penolakan ini bertolok pada Pasal 5 dan 6 RUU Permusikan. Hal ini lantaran para musisi merasa akan dirugikan haknya dengan adanya pasal karet yang berpotensi menimbulkan persekusi oleh para penguasa, memarjinalkan musisi independen disamping industri besar, dan pelanggaran hak musisi lainnya. 

Selain itu, problematika yang melahirkan aksi di pelbagai penjuru negeri pada September silam yakni ditinjau kembalinya undang-undang KPK. Direvisinya undang-undang tersebut dianggap mengancam independensi KPK, membatasi dan mempersulit penyadapan, adanya potensi kepentingan politik dalam Dewan Pengawas yang dipilih DPR, membatasi peran masyarakat dalam penyelesaian kasus korupsi, dan lain sebagainya. Pada konteks ini, bukan hanya KPK yang menolak, namun juga masyarakat yang menyokong penuh lembaga tersebut untuk tidak dilemahkan. Meski telah mendapat protes dari pelbagai lapisan masyarakat, RUU ini tetap disahkan pada 17 September lalu. Mengikuti di belakangnya, RKUHP juga mendapat penolakan dari pelbagai kalangan dan telah ditunda pengesahannya untuk dipelajari lebih lanjut. Selain itu, ada pula RUU Minerba, RUU Lembaga Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan, di mana pembahasannya ditangguhkan hingga periode mendatang.

Politik Hukum dalam Pembentukannya

Merujuk pada opini Zainal Arifin Mochtar (Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM) dalam Kompas[efn_note]Zainal Arifin Mochtar, 2020, “Politik Hukum RUU Cipta Kerja”, Kompas, Nomor 249 Tahun ke-55, halaman 6, diakses pada 16 Maret 2020 pukul 19.15 WIB.[/efn_note], pada 9 Maret 2020. Ia mengutip konsep politik hukum ala Mahfud MD, yang salah satu bahasannya adalah mengenai adanya “cetak biru” dari kebijakan dan peraturan yang hendak dicapai.

Dalam tulisannya, cetak biru dijelaskan sebagai konsep yang berisi pandangan menyeluruh dari suatu undang-undang dan sistem yang akan dibangun dalam bungkus kebijakan yang akan dibuat. Pandangan tersebut meliputi filosofis, yuridis, dan sosiologis. Ketiga unsur tersebut sekurang-kurangnya harus hadir dalam naskah akademik. Ia menilai dari 2.278 halaman naskah akademik yang dibuat, tidak banyak menyebutkan mengenai bangunan apa yang diharapkan dalam konsep hukum kedepannya. Terlebih lagi, dari total 11 kluster dalam RUU omnibus ini, tidak jelas tentang apa yang hendak dibangun ke depan dalam tema demikian. Padahal, Undang-Undang haruslah memandang secara ke depan tentang apa yang hendak dicapai, bukannya bersifat sekali pakai. Ia juga menyebutkan bahwa tarik-menarik kepentingan politik harus diwaspadai dalam proses pembentukan dan persetujuan rancangan peraturan perundang-undangan ini.

Aksi Lanjutan

Ali menjelaskan, para buruh akan mengawal hari demi hari RUU Omnibus Law ini. Ia menegaskan akan ada aksi yang lebih besar disertai dengan mogok kerja oleh para buruh pada pada 23 Maret mendatang. Hal tersebut mengingat bahwa waktu menuju pengesahan RUU ini yang tidak lama lagi. Untuk itu, perlu ada desakan yang lebih tegas dari masyarakat agar RUU yang sangat merugikan buruh ini tidak disahkan. Tak hanya aksi, berbagai bentuk penolakan juga digaungkan, seperti adanya kajian bermuatan kritik, seminar, dan sarana kritisi lainnya. 


Penulis: Athena
Editor: Mustika
Foto oleh: Raynal

One thought on “Omnibus Law: Mencari Partisipasi Publik di Tengah Gaung Investasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *