web analytics
Teror dan Ancaman ‘Gigit’ Ganas Kebebasan Akademik

Teror dan Ancaman ‘Gigit’ Ganas Kebebasan Akademik

Berangkat dari semangat meluruskan opini publik tentang adanya pemberhentian presiden pada saat Covid-19 ini, Constitutional Law Society (CLS) menggelar diskusi menyoal pemakzulan presiden. Namun, karena alasan keamanan, diskusi tersebut terpaksa dibatalkan. Tepat satu hari sebelum diskusi tersebut diselenggarakan, Bagas Pujilaksono dalam postingannya pada laman tagar.id mengasumsikan bahwa diskusi tersebut adalah makar. Setelah diskusi tersebut viral, muncul oknum tidak bertanggung jawab yang melakukan tindakan represif berupa teror dan ancaman pembunuhan terhadap narasumber dan panitia pelaksana diskusi tersebut. 

Aditya Halimawan, Presiden CLS, dan panitia pelaksana pun mendiskusikan persepsi internal yang merujuk pada frasa ‘pemecatan’ yang digunakan dalam judul diskusi. Bukan atas dasar ketakutan ataupun keinginan untuk mengganti topik, namun penggantian judul diskusi dilakukan murni berdasarkan keinginan untuk mempertegas isu yang sebenarnya hendak diangkat dalam koridor akademik. 

Tindakan Represif Peretasan dan Ancaman Pembunuhan

Pada hari hendak dilaksanakan diskusi, peristiwa tidak terduga dialami oleh panitia pelaksana. Sekitar pukul 04.00 WIB, 29 Mei 2020, yakni tepat pada hari pelaksanaan diskusi, narahubung acara diskusi, Fisco Mudjito, diduga mendapatkan tindakan represif berupa peretasan terhadap akun WhatsApp-nya. Peretas pertama-tama mengeluarkan (kick) para panitia pelaksana diskusi yang terdaftar sebagai admin dalam grup DILAWAN, yakni grup beranggotakan para calon audiens yang difungsikan sebagai jembatan informasi terkait diskusi yang akan dilaksanakan. Kemudian, peretas menggunakan akun WhatsApp Fisco untuk menyebarkan broadcast secara personal kepada calon peserta bahwa acara dibatalkan dan grup tersebut kemudian dibubarkan dengan mengeluarkan seluruh calon peserta. 

Berita pembatalan tersebut lantas tersebar dengan cepat melalui berbagai media, yang kemudian berbondong-bondong meminta klarifikasi dari Adit selaku Presiden CLS terkait pembatalan diskusi, yang direspon dengan tidak lain bahwa berita tersebut adalah hoax. Melalui story dalam akun Instagram pribadinya, Adit memberikan klarifikasi bahwa akun WhatsApp narahubung diskusi telah diretas dan bahwa berita pembatalan diskusi adalah tidak benar. Pernyataan Adit tersebut disertai dengan pernyataan pembatalan acara diskusi. 

Tidak berhenti di sana, akun Instagram pribadi Adit diretas beberapa saat kemudian yang ditandai dengan hilangnya seluruh unggahan story dan postingan dalam akunnya. Selanjutnya, beberapa panitia pelaksana diskusi lainnya juga mendapatkan ancaman. Siang harinya sekitar pukul 13.00 WIB, Adit mendapatkan panggilan yang mengatakan bahwa panitia pelaksana diskusi telah melakukan tindakan makar serta diperintahkan untuk ‘berangkat sendiri’ ke Polsek atau ‘dijemput’. Salah satu akun Go-Jek panitia pelaksana lainnya bernama Anugerah juga diretas, yang kemudian digunakan oleh peretas untuk memesan tiga order Go-Food dan satu order Go-Car yang ditujukan pada alamat kediamannya seakan-akan sejumlah order tersebut dilakukan oleh Anugerah pribadi. 

Selain itu, narahubung diskusi yakni Fisco Mudjito, mengaku tidak bisa mengakses akun WhatsApp pribadinya sejak diretas hingga saat BPPM Mahkamah berkesempatan untuk mewawancarainya pada Sabtu lalu (30/05). Karena mendapatkan panggilan masuk berkali-kali dari orang tidak dikenal, Fisco mencabut SIM Card ponselnya. Fisco mengaku bahwa Ibunya juga mendapatkan pesan ancaman pembunuhan dari nomor tidak dikenal yang mengatasnamakan diri organisasi masyarakat Muhammadiyah Klaten. Berkenaan dengan pencatutan nama tersebut, pihak Muhammadiyah Klaten telah secara resmi mengkonfirmasi bahwa tindakan tersebut bukanlah berasal dari organisasinya melainkan adu domba dari peneror. Lebih lanjut, Fisco juga mengaku telah mendapatkan surat pernyataan resmi dari Muhammadiyah Klaten. 

Adit selaku Presiden CLS lebih memprioritaskan keamanan para panitia diskusi dan mengimbau seluruh panitia pelaksana diskusi dan anggota CLS lainnya untuk lebih meningkatkan keamanan akun sosial media pribadi, seperti mengaktifkan fitur two-step verification dalam aplikasi WhatsApp sebagai tindakan keamanan. 

Kebebasan Akademik Dicederai

Tulisan yang diunggah oleh Bagas, tidak hanya menuai respon proaktif oleh warganet yang dinilai masih awam dengan makar dan pemakzulan dalam kacamata hukum. Namun juga respon reaktif berupa dukungan kepada CLS dan kecaman kepada aksi teror serta ancaman yang dinilai mencederai kebebasan mimbar akademik. Dukungan terhadap CLS sendiri sempat disuarakan pada 29 Mei melalui media Twitter dan  tagar #standwithcls yang sempat unjuk gigi di urutan ke-5 trending topic Indonesia.

Dalam cuitan warganet, mereka sepakat bahwa kebebasan akademik dianggap telah diberangus, yang mana seharusnya melekat pada sivitas akademika melalui Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sejumlah warganet menyesalkan tulisan Bagas yang tak hanya berujung menyulut teror langsung kepada panitia dan narasumber diskusi, namun juga ancaman tidak langsung kepada para pemerhati ilmu pengetahuan untuk melakukan diskusi-diskusi ilmiah. Salah satu warganet @19Retnn, dalam cuitannya di akun media twitter mengatakan, “We demand an academic freedom where people can talk and have a good discourse, increase our understanding. Bring back CLS FH UGM insta account & other ‘hacked’ account. STOP threatening people who are related to that. This is bad precedent of our democracy,” cuitnya yang disertai dengan Tagar StandwithCLS

Pemberangusan Kebebasan Akademik, Sebuah Preseden Buruk

Adanya teror serta ancaman terhadap narasumber dan panitia pelaksana tersebut sangat mencederai kebebasan berpendapat di mimbar akademik. “Mungkin kemudian orang akan takut untuk berpendapat secara ilmiah. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan itu tidak berkembang,” sesal Mohammad Ibrahim, salah satu pengajar di Departemen Hukum Tata Negara FH UGM.

Ia menyayangkan hal ini dapat menjadi preseden buruk sebagai perguruan tinggi, karena apabila dibiarkan, bukannya tidak mungkin terjadi pula di daerah lain. Meski kebebasan akademik telah dijamin dalam undang-undang, ia menilai bahwa di sisi lain mungkin masih ada sebagian dari masyarakat yang belum siap memiliki sistem hukum yang mapan.

Sementara Dosen Departemen Hukum Pidana FH UGM, Sri Wiyanti Eddyono turut menegaskan bahwa upaya makar terhadap presiden adalah berupa serangan bukan upaya diskusi yang malah akan berbenturan dengan hak-hak individu untuk melakukan ekspresi dan kritisi terhadap pemerintah. Dalam arti luas, yang dilindungi semestinya bukan hanya negara melainkan juga warga negara dalam interaksinya dengan pemerintah, yang keseimbangannya harus jelas dalam kerangka makar. Ia juga berpesan untuk lebih berhati-hati untuk menyelenggarakan diskusi secara daring.

Pendapat Akademisi: Diskusi Ilmiah Bukanlah Sesuatu yang Membahayakan Negara

Kedua narasumber akademisi dari Departemen Hukum Pidana dan Departemen Hukum Tata Negara FH UGM sepakat bahwa penggunaan topik “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” dalam diskusi yang seharusnya diselenggarakan pada tanggal 29 Mei tersebut bukanlah sebuah tindakan yang mengindikasikan adanya upaya makar dalam bentuk apapun. 

Tentunya perlu diteliti lagi sejauh apa diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa dalam lingkup akademis dapat ‘membahayakan negara’. Meskipun, dalam era digital dengan penggunaan teknologi yang jauh lebih maju perlu juga diantisipasi dengan pembatasan peserta maupun hadirnya otoritas dari pihak kampus guna mengawal diskusi tersebut agar tetap berada pada jalur akademis. 

Sebuah Dilema Terminologi

Menurut Mohammad Ibrahim, penggunaan topik awal dengan frasa ‘pemecatan’ bukanlah sebuah kesalahan yang fatal, melainkan kesalahan perumusan kata belaka. Lebih lanjut ia juga menegaskan pentingnya penggunaan kata-kata yang jelas dan bisa dimengerti dalam koridor penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan sebaiknya menggunakan istilah yang merujuk pada UUD NRI 1945 dan tidak multitafsir. 

Ibrahim berpendapat bahwa penggunaan frasa ‘pemecatan’ tidak serta merta menjustifikasi agar kemudian seseorang dapat ditangkap ataupun dituduh atas tindakan makar. Perlu ditilik faktor-faktor lainnya, termasuk Prof. Dr. Ni’matul Huda sebagai narasumber diskusi yang kredibel dan telah berkontribusi pada ilmu pengetahuan baik sebagai ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi maupun buku-buku yang telah ditulis olehnya. Tidak hanya itu, perlu dipahami pula pentingnya edukasi bahwa dalam era reformasi, pemberhentian presiden telah diatur dalam UUD NRI 1945 setelah amandemen dengan mekanisme yang jelas dalam jalur yang konstitusional – seperti halnya yang hendak disampaikan oleh Adit dan teman-teman panitia penyelenggara dalam diskusi tersebut. 

Mohammad Ibrahim menitikberatkan perbedaan pemahaman terhadap konteks makar dalam masyarakat; di satu sisi para sivitas akademika memiliki hak kebebasan akademik yang dijamin oleh konstitusi, tetapi di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang belum memiliki pengertian akan hukum yang mapan. “Inilah yang kemudian menjadi tugas kita sebagai akademisi dan calon-calon penegak hukum untuk memberi dampak pada masyarakat untuk tahu (hukum),” tegasnya. 

Ibrahim: Tindakan Represif Berbuntut Tidak Berkembangnya Ilmu Pengetahuan

Tindakan-tindakan represif yang dilakukan terhadap setiap individu untuk berpendapat dalam koridor akademis bukan merupakan sesuatu yang diharapkan dapat terulang. Hal ini akan berakibat pada timbulnya ketakutan seseorang untuk berpendapat secara ilmiah. Selain itu, tindakan represif dalam berpendapat dapat berbuntut pada konsekuensi tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Adalah hal bijak apabila pihak-pihak reaksioner yang dirasa tidak setuju menyampaikan argumennya dalam cara yang lebih formal melalui sesi tanya-jawab dalam diskusi, komunikasi dengan pihak penyelenggara, maupun melalui media kajian ilmiah yang akan berbuah pada diskusi yang sehat – yang kesemuanya tentu perlu diawali dengan pemahaman awal menyeluruh terkait topik yang diangkat, misalnya dengan terlebih dahulu mengkaji ToR (Terms of Reference) tentang topik terkait, sebelum memberikan argumen termasuk ketika melakukan tudingan yang dapat menyebabkan miskonsepsi pada persepsi masyarakat.

Kebebasan akademik penting untuk eksis dalam mendukung Tri Dharma perguruan tinggi yang memberikan hak kepada setiap individu untuk berkarya dan berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Kedepannya, diharapkan peristiwa teror dan ancaman yang selain mengancam keselamatan seseorang, juga mencederai kebebasan akademik yang dimiliki sivitas akademika sesuai amanat undang-undang tidak lagi terjadi.

Penulis: Athena, Jennifer, Salwa
Editor: Mustika
Ilustrasi oleh: Winda

Leave a Reply

Your email address will not be published.