web analytics
Kebebasan Akademik: Kebebasan yang Mudah Dicederai

Kebebasan Akademik: Kebebasan yang Mudah Dicederai

Definisi Kebebasan Akademik

Kebebasan akademik merupakan tiang penyangga kehidupan perguruan tinggi. Kebebasan akademik, sebagaimana disebutkan oleh UNESCO, adalah kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi serta kebebasan dalam meneliti, menyebarluaskan, dan menerbitkan hasil riset.[efn_note]Eva Pils & Marina Svensson, “Kebebasan Akademik di Bawah Ancaman di Seluruh Dunia, Berikut Ini Cara Membelanya”, https://theconversation.com/kebebasan-akademik-di-bawah-ancaman-di-seluruh-dunia-berikut-ini-cara-membelanya-125831, diakses 3 Juni 2020.[/efn_note] Hukum positif di Indonesia sudah mengakui akan adanya kebebasan akademik. Spesifiknya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 menyebutkan bahwa kebebasan akademik didefinisikan sebagai kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma. Sivitas akademika yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) juga termasuk mahasiswa. Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.

Jaminan dan Dasar Hukum Kebebasan Akademik

Dilihat dari hukumnya, negara sebenarnya sudah menjamin akan adanya diskusi yang bebas di dalam ranah akademik. Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah memberikan gambaran terkait kebebasan akademik dalam perguruan tinggi. Pada Pasal 31 ayat (5), disebutkan bahwa pemerintah diwajibkan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban. Usaha untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidaklah mungkin untuk terealisasi tanpa memberikan otonomi bagi lembaga yang diberikan tugas, dalam hal ini adalah lembaga riset serta perguruan tinggi. Penjelasan mengenai otonomi tersebut kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, tertera bahwa kebebasan akademik dan mimbar akademik merupakan hak yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Lebih spesifiknya, Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Kemudian dilanjutkan dalam Pasal 8 ayat (3) menyebutkan bahwa kebebasan akademik merupakan tanggung jawab tiap Sivitas Akademika dan wajib dilindungi oleh pimpinan perguruan tinggi. Perlu digarisbawahi bahwa dalam ayat tersebut, telah disebutkan bahwa kebebasan akademik merupakan sesuatu yang perlu dilindungi oleh pimpinan perguruan tinggi, dalam artian bahwa jika terdapat pelanggaran terhadap kebebasan ini, pimpinan perguruan tinggi diwajibkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindunginya. Jaminan terhadap kebebasan akademik yang dimiliki oleh mahasiswa dalam Undang-Undang a quo secara mandiri dikodifikasi dan dipertegas dalam satu pasal tersendiri. Pasal tersebut adalah Pasal 13 ayat (3), secara tegas disebutkan bahwa Mahasiswa memiliki Kebebasan Akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia, serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.

Bentuk Kebebasan Akademik

Kebebasan akademik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan melalui kajian, penelitian, dan penyebarluasan ilmu berupa seminar diskusi yang dilaksanakan baik oleh sesama sivitas akademika maupun kepada masyarakat luas untuk tujuan peningkatan kadar intelektual yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Meskipun bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diatas merupakan bentuk kebebasan akademik yang bertujuan baik, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Batasan tersebut berupa kewajiban untuk menjunjung tinggi etika akademik, nilai-nilai Pancasila dan ketertiban umum, dengan kata lain kebebasan akademik tidak boleh bertentangan dengan hal-hal tersebut.

Etika akademik yang wajib dijunjung tinggi tersebut, secara umum meliputi kebenaran, kejujuran, tanpa kepentingan langsung seseorang, berdasar pada kekuatan argumentasi, rasional, objektif, kritis, terbuka, pragmatis, tidak merubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, keseimbangan, universal.[efn_note]Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, “Peranan Etika Akademik di Perguruan Tinggi Dalam Membentuk Sikap Ilmiah”, Jurnal Al-Irsyad, Vol. V, No. 1, Januari-Juli 2015[/efn_note] Hal lain yang menjadi tidak kalah penting adalah menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga, apabila terdapat kajian, penelitian, dan seminar diskusi dalam lingkup lingkungan perguruan tinggi maupun gagasan keilmuan oleh sivitas akademika yang mampu dipertanggungjawabkan maka perguruan tinggi berkewajiban untuk melindungi dan memfasilitasi hal tersebut.

Keadaan Kebebasan Akademik Saat Ini

Pada tahun 2019, Kaukus untuk Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) menilai Indonesia belum sepenuhnya melindungi kebebasan akademik di kampus. Pada tahun itu, KKAI mencatat terdapat enam model kasus represi kebebasan akademik yang menimpa dosen dan mahasiswa yakni: terbunuhnya mahasiswa ketika melakukan aksi, persekusi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi, gugatan tidak wajar (SLAPP/Strategic Lawsuit Against Public Participation), pembubaran pers mahasiswa, dan skorsing terhadap mahasiswa. Salah satu contoh dari kasus represi tersebut adalah kegiatan-kegiatan dalam ranah akademik, seperti diskusi maupun penulisan artikel, seputar penolakan revisi RUU KPK dan RKUHP. Sehingga cukuplah untuk disimpulkan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada paruh pertama belum menunjukkan upaya terbuka dalam mendukung kebebasan akademik di kampus.

Tahun yang kelam bagi kebebasan akademik ini juga menghantui para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Diskusi bertajuk “Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus” dibubarkan oleh Polsek Sukolilo dan keamanan kampus. Bagai jatuh tertimpa tangga, pihak rektorat secara sepihak mengeluarkan keputusan untuk membubarkan LPM Teropong. Pihak rektorat mengklaim bahwa pembubaran diskusi tersebut karena LPM Teropong belum mengantongi izin kegiatan. Padahal, ditilik secara historis, diskusi-diskusi yang digelar sebelumnya, dilaksanakan tanpa izin dari universitas kecuali jika berada di dalam ruangan kelas. 

Kampus seakan menjadi perpanjangan tangan kehendak pemerintah. Diskusi yang pada awalnya bertujuan untuk mencari solusi dari suatu permasalahan dipandang menyinggung kepentingan politik tertentu, akhirnya dibubarkan. Pihak kampus yang seharusnya menjadi tameng bagi sivitas akademikanya, malah mendukung tindakan tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan pijakan kebebasan akademik yakni dalam menerapkan penelitian harus bebas dari persoalan sampingan (administrasi, politik, dan agama).[efn_note]Mada Sutapa, “Sebuah Refleksi Kebebasan Akademik Dalam Masyarakat Ilmiah Perguruan Tinggi”, Jurnal Manajemen Pendidikan, No. 2, 2010, hal. 8.[/efn_note] Persoalan yang diperhatikan justru mengenai kecermatan, kejujuran, kenalaran, dan metode penelitian. 

Nasib sama juga menimpa para mahasiswa yang menjadi panitia diskusi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan oleh Constitutional Law Society (CLS) FH UGM. Beberapa panitia diskusi mendapat ancaman pemanggilan oleh kepolisian, ancaman pasal makar hingga ancaman pembunuhan. Akun WhatsApp panitia juga diretas dan official account Instagram komunitas tersebut sempat di take down. Demi alasan keamanan panitia dan narasumber, diskusi yang rencananya dilaksanakan pada Jumat (29/05/2020) secara virtual akhirnya dibatalkan. Kasus CLS FH UGM berkaitan erat dengan konstitusi Indonesia yang menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia (HAM). Salah satu bagian dari kebebasan berpendapat adalah kebebasan akademik. Patut dipertanyakan, kemana saja Pemerintah sebagai pelindung dan penegak HAM itu sendiri? 

Peristiwa represif terhadap kebebasan akademik juga menimpa para mahasiswa yang melakukan aksi. Sebut saja intimidasi terhadap mahasiswa dalam gerakan aksi bertemakan Reformasi Dikorupsi, yang berujung pada tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Randi dan Yusuf dalam aksi Reformasi Dikorupsi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Peristiwa lain yang juga sempat menyita perhatian adalah pembubaran Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) dikarenakan tulisan yang dianggap berbau pornografi dan mengandung unsur LGBT.

Berbagai peristiwa ini menandakan bahwa kebebasan akademik masih menjadi barang mahal bagi para akademisi di Indonesia.

Pemerintah, Kampus, dan Masyarakat

Kebebasan Akademik memang telah memiliki payung hukum untuk menjamin eksistensinya, akan tetapi tindakan represif masih terus berulang. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki otonomi penuh dalam menjamin terselenggaranya kebebasan akademik justru tidak jarang menjadi pihak yang mengancam hak seorang akademisi tersebut. Perguruan Tinggi yang menjadi tempat teraman bagi terselenggaranya ruang berpendapat, juga tidak jarang menjadi pihak pertama yang memblokir terselenggaranya kebebasan akademik itu sendiri. Hal ini dikarenakan masih kentaranya feodalisme kampus dan kentalnya politisasi kebijakan kampus dalam membangun sistem yang ada, sebagaimana pernah dikatakan KKAI dalam catatan yang mereka torehkan di akhir 2019. 

Aparat penegak hukum juga tidak lepas dari pihak yang membuat tindak represif terhadap kebebasan akademik terus berlangsung. Adanya penekanan terhadap insan akademisi menggunakan instrumen hukum atau cara-cara politisasi, serta tidak luputnya tindakan fisik seperti kekerasan dan intimidasi dalam penggunaan instrumen hukum sebagai bagian dari, pembungkaman kritik turut menjadi permasalahan yang belum memiliki titik terang hingga kini. Tindakan masyarakat yang impulsif dalam menanggapi suatu informasi yang beredar, menjadi beban sendiri bagi akademisi untuk membuka ruang berpendapat. Kurang aktifnya masyarakat untuk mengkonfirmasi keadaan sebenarnya terlebih dahulu dari apa yang mereka terima, seringkali menyebabkan munculnya tekanan atau intimidasi kepada akademisi dalam melakukan kegiatan tertentu. Masyarakat yang terkadang bertindak terlalu mendadak dalam menanggapi suatu peristiwa ini dapat memblokir kebebasan akademik itu sendiri. Apabila kejadian-kejadian tersebut terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan akan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, prinsip demokrasi dan negara hukum.

Faktanya, meski sudah terdapat payung hukum mengenai kebebasan akademik, perlindungan terhadap eksistensi kebebasan akademik belum diatur secara terperinci dalam sistem hukum Indonesia. Praktiknya, pemerintah seringkali lalai bahkan menjadi pihak yang mencederai terselenggaranya kebebasan akademik. Padahal, Pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin ruang kebebasan setiap warga negaranya dalam berpendapat, tidak terkecuali mahasiswa, dosen, peneliti, maupun akademisi lainya dalam menyuarakan suaranya.

Penulis: Alfina, Amalia, Karen, Nita, Pandu
Ilustrator: Winda


Daftar Pustaka

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336 Tahun 2012).

Jurnal

Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa, “Peranan Etika Akademik di Perguruan Tinggi Dalam  Membentuk Sikap Ilmiah”, Jurnal Al-Irsyad, Vol. V, No. 1, Januari-Juli 2015.

Sutapa, Mada, “Sebuah Refleksi Kebebasan Akademik Dalam Masyarakat Ilmiah Perguruan Tinggi”, Jurnal Manajemen Pendidikan, No. 2, Tahun VI, 2010.

Internet

Ariefena, Pebriansyah dan Aranditio, Stephanus,  “Kebebasan Akademik Masih Ditindas Sepanjang 2019, Ini Kampus Pembungkam”, https://www.suara.com/news/2019/12/31/132425/kebebasan-akademik-masih- ditindas-sepanjang-2019-ini-kampus-pembungkam, diakses 4 Juni 2020.

Pils, Eva dan Svensson, Maria,  “Kebebasan Akademik di Bawah Ancaman di Seluruh Dunia, Berikut Ini Cara Membelanya”, https://theconversation.com/kebebasan-akademik-di- bawah-ancaman-di-seluruh-dunia-berikut-ini-cara-membelanya-125831, diakses 3 Juni 2020.

Prabowo, Haris, “Segudang Masalah di Balik Pembubaran Diskusi Soal Papua di Surabaya”, https://tirto.id/segudang-masalah-di-balik-pembubaran-diskusi-soal-papua-di- surabaya-ejJJ, diakses 5 Juni 2020.

Solichah, Zumrotun, “KKAI: Represi Terhadap Kebebasan Akademik Masih Terjadi di Tahun 2019”, https://www.antaranews.com/berita/1230276/kkai-represi-terhadap- kebebasan-akademik-masih-terjadi-di-tahun-2019, diakses pada 4 Juni 2020.

Tempo, “Kaukus Kebebasan Akademik: Kampus Belum Terbebas dari Represi”, https://nasional.tempo.co/read/1289428/kaukus-kebebasan-akademik-kampus-belum- terbebas-dari-represi/full&view=ok, diakses 3 Juni 2020.

Wibowo, Kukuh S, “Gelar Diskusi Soal Papua, Pers Mahasiswa Dibredel”, https://nasional.tempo.co/read/1258937/gelar-diskusi-soal-papua-pers-mahasiswa- dibredel, diakses pada 5 Juni 2020.

Wiratman, Herlambang P, “Deportasi Peneliti Asing, Pembubaran Diskusi Kampus: Kuatnya Narasi Antisains Pemerintah Jokowi”,https://theconversation.com/deportasi- peneliti-asing-pembubaran-diskusi-kampus-kuatnya-narasi-antisains-pemerintahan- jokowi-131903, diakses pada 4 Juni 2020.

2 thoughts on “Kebebasan Akademik: Kebebasan yang Mudah Dicederai

Leave a Reply

Your email address will not be published.