web analytics
Mengulik Perkembangan Pendidikan di Indonesia Lewat Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

Mengulik Perkembangan Pendidikan di Indonesia Lewat Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

Melihat wajah Pendidikan Indonesia di masa pandemi ini sangat relevan dengan buku yang berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah.” Dalam rangka mengupas isi dari buku tersebut, Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia UII menyelenggarakan Seri Diskusi Pendidikan Murah melalui siaran langsung media sosial Instagram, pada Rabu (01/07). Pemantik dalam diskusi kali ini adalah Eko Prasetyo, yang sekaligus penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.

Kegiatan Seri Diskusi Pendidikan Murah diawali dengan penjelasan dari penulis mengenai latar belakang terbitnya buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Penulis memaparkan bahwa buku ini lahir ketika terjadi pertarungan politik antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-6 Indonesia, dengan Megawati, Presiden ke-5 Indonesia, pada masa Pilpres 2004. Beberapa poin utama yang melatarbelakangi penulis saat penulisan buku yaitu faktor biaya pendidikan yang sangat mahal dan sulit, imbas dari komersialisasi pendidikan, pendidikan yang kerap dipercayai sebagai eskalator untuk mengubah nasib seharusnya terbuka terutama untuk orang miskin, serta mengkritik biaya operasional pendidikan yang sangat mahal seperti registrasi, biaya buku, dan terlalu seringnya pergantian kurikulum.

Dialog kemudian dilanjutkan dengan moderator menanyakan masih relevankah permasalahan dalam buku tersebut pada pendidikan saat ini. Alumni dari UII tersebut mengungkapkan bahwa permasalahan terbesar dari pendidikan di Indonesia adalah tingkat akses. Hingga saat ini, akses pendidikan bagi orang miskin di Indonesia masih tergolong sulit. Biaya tidak sebesar dahulu tetapi akses tidak mudah bagi orang miskin. Perlu ada peningkatan kebijakan agar orang miskin bisa lebih mudah untuk mendapatkan beasiswa pendidikan. 

Selanjutnya, Eko Prasetyo menyoroti terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, Nadiem dipilih bukan karena faktor sebagai pendidik ataupun yang mempunyai ide dalam pendidikan, melainkan faktor dirinya yang merupakan pemilik perusahaan Gojek. “Gojek sendiri membuat semua hal menjadi lebih mudah dan efektif. Nampaknya hal itu yang menjadi dasar filosofi agar membuat pendidikan menjadi lebih mudah dan efektif,” ungkapnya.

Hal tersebut senada dengan analogi yang sering diutarakan Nadiem bahwa anak sekolah harus belajar dengan cara yang berbeda-beda, seperti seorang perenang menggunakan berbagai gaya dalam berenang. Menurut Agus, ide kampus merdeka dari Nadiem bermakna meletakkan universitas sebagai pasar dunia kerja. Bahkan, apabila memungkinkan, para mahasiswa diberi kesempatan magang lapangan kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kekhawatiran Nadiem apabila universitas menciptakan banyak pengangguran kerja. Makna kedua kampus merdeka menurutnya adalah ide kebebasan, hal tersebut diejawantahkan dalam salah satu wacana dari kampus merdeka yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk saling berpindah antar fakultas. “Ide itu dibuat demi tujuan membuka pikiran mahasiswa bahwa antar fakultas itu bukan berdiri sendiri melainkan saling berkolaborasi, dengan seperti itu mahasiswa dapat melihat keragaman ilmu pengetahuan,” pungkasnya.

Penulis: Ridwan Taufik
Editor: Rosa Pijar

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.