Teman
Oleh Rosa Pijar
“Bukankah kau bilang kau sangat ingin merokok tadi?”
Sapa Doris yang kemudian duduk di sampingku. Ya, beberapa waktu lalu, mulutku terasa amat pahit. Aku sangat ingin merokok, terlebih melihat tumpukan laporan yang hampir menyaingi tingginya Gunung Everest, membuatku butuh asupan nikotin untuk dapat menyelesaikan semua pekerjaan yang ada sebelum Pak Kepala benar-benar merumahkanku. Hanya saja ketika kesempatan itu tiba, hasrat untuk merokok itu pergi. Secepat angin sore ini membawa tumpukan daun-daun di pinggir taman kantor kembali berserakan.
“Langit akhir-akhir ini selalu mendung. Aku selalu gelisah saat akan berangkat ke kantor. Apakah aku harus membawa jas hujan atau tidak. Kau tahu bagasi motorku selalu penuh barang bawaan. Menambahkan satu jas hujan sudah tidak memungkinkan lagi,” lanjut Doris masih dengan wajah ramah tamahnya.
“Jika kau enggan untuk membawanya. Kau bisa meminjam milikku. Aku tidak keberatan untuk hujan-hujanan sebentar. Toh, kostku tidak jauh dari kantor,” tawarku tulus.
Aku benar-benar tidak keberatan harus berhujan-hujanan jika itu karena Doris. Sungguh. Doris adalah satu dari sedikit orang yang bisa aku anggap teman di lingkungan kantor. Dari sekian banyak orang yang aku coba ajak bicara semenjak pertama kali menginjakkan kaki di kantor ini, hanya Doris yang bertahan menjadi teman bicaraku hingga sekarang. Tidak hanya sekadar membicarakan urusan pekerjaan, tetapi juga persoalan keseharian.
Mendengar tawaranku, Doris tersenyum sumringah. “Kau tahu, kau adalah teman paling baik yang pernah aku miliki hingga saat ini.”
Aku pun ikut tersenyum. Sudah berulang kali Doris memujiku seperti itu. Aku harap aku akan terus mendengar pujian dari Doris untuk seterusnya. Sementara digenggamanku, masih tergenggam erat selembar halaman yang aku sobek dari novel milik kakakku dan sepuntung rokok lengkap dengan pemantiknya.
Keesokan harinya, seperti sudah ditakdirkan sebagai pembuktian akan ketulusanku atas tawaranku terhadap Doris, hujan turun lebat. Terus mengguyur dari siang hingga sore seakan tidak ada esok hari di mana hujan kembali bisa turun untuk membuktikan eksistensinya. Di benakku, sudah tersusun skema rute perjalanan pulang tercepat tanpa harus ‘sangat’ basah, meskipun harus berhujan-hujanan. Semua rencana sudah tersusun sempurna sampai aku ingat bahwa hari ini ada satu penghalang terbesar yang membuatku harus menjilat ludah sendiri. Hari ini aku membawa laptop.
Berulang kali aku memikirkan untuk meninggalkan laptopku di kantor dan kembali lagi untuk mengambilnya saat hujan reda atau tetap berada di kantor sampai hujan reda, tapi aku tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya. Sebab hari ini adalah jadwal makan-makan bersama karyawan kantor. Satu kegiatan yang begitu enggan aku ikuti yang membuatku sukses selama tiga tahun ini bergelar pengarang cerita terbaik untuk menghindari kegiatan tersebut. Dan jika hujan terus turun, café yang terletak di bagian depan gedung kantor akan menjadi pilihan para karyawan untuk melaksanakan kegiatan rutin tiga bulan sekali tersebut. Yang mana akan sulit bagiku untuk kembali masuk ke kantor, kecuali aku mendadak bisa tidak terlihat, sehingga kehadiranku tidak akan disadari oleh karyawan yang lain. Atau tetap berada di kantor dan mau tidak mau memaksakan diri ikut ke dalam kegiatan makan-makan bersama karyawan.
Di tengah pergulatan pikiran yang melandaku, Doris yang menjadi pokok dari sumber pergulatan pikiranku sedang asik mengobrol dengan Joko. Yah, berbeda denganku, Doris adalah orang yang supel. Tidak sulit baginya untuk menjalin pertemanan dengan banyak orang. Karakteristik yang bertolak belakang antara aku dan Doris itulah yang aku yakini membuat kami masih bertahan berteman hingga saat ini, meskipun aku kerap memilih untuk diam saja saat bersama Doris. Bukan karena tidak mau bicara, tapi sudah bawaan diriku sulit untuk memulai percakapan atau menanggapi suatu pembicaraan.
“Heh Didit, sini! Ada yang ingin kami bicarakan denganmu,” ucap Joko dengan suara pelan, sembari melihat situasi di sekelilingnya.
“Aku dan Doris hari ini memilih untuk makan di luar. Kau tahu rumah makan baru yang terletak di ujung jalan. Banyak orang mengatakan makanan di sana enak. Kami sedang tidak tertarik untuk ikut makan-makan bersama karyawan yang lain. Aku sungguh tidak tahan melihat muka Dona terus tersenyum manis dan bersikap menjilat kepada Pak Kepala. Kau ingin ikut tidak? Bukankah kau juga membenci Dona? Aku dengar dia mempermalukanmu di depan Pak Kepala demi mencari muka.”
“Aku? Entalah, aku sudah tidak begitu memikirnya,” jawabku ragu-ragu.
“Jangan begitu, Dit. Jangan pendam masalahmu sendirian. Tenang saja, Joko ini orang yang baik dan pintar menjaga rahasia. Segala keluh kesahmu tentang kelakuan Dona si penjilat tidak akan diketahui oleh siapa pun,” bujuk Doris dengan tatapan menggebu-gebu.
Aku hanya terdiam. Tidak banyak pilihan yang bisa aku dapatkan, maka sore sepulang kantor, aku pun pergi mengikuti Doris dan Joko bersiap di parkiran untuk menuju rumah makan yang dibicarakan.
“Kau sudah janji untuk meminjamkan jas hujanmu, kan?”
“Iya, tapi hari ini aku membawa…”
“Laptop? Tenang saja sini aku bawakan. Aku ini orang yang bertanggung jawab ketika meminjam. Jaraknya tidak terlalu jauh kok, kau tidak akan terlalu basah saat sampai sana.”
Aku segera menyerahkan jas hujan dan laptopku kepada Doris. Sebenarnya terbersit di pikiranku untuk menyangkal ucapannya. Akan tetapi, entah mengapa tubuhku sudah bergerak secara otomatis untuk mengiyakan ucapan Doris dan aneh jika tiba-tiba aku ingin mengambil kembali jas hujan dan laptopku. Setelah menerima dua barang keramat dariku, Doris pun segera pergi meninggalkanku untuk mengambil motornya.
Rumah makan yang kami kunjungi bukanlah rumah makan mewah. Hanya rumah makan biasa dengan perabot-perabot tua untuk membangun suasana klasik di dalamnya. Meskipun bukan rumah makan mewah, rumah makan ini memiliki kehangatan tersendiri yang membuat para pengunjung merasa nyaman berada di sana. Hal itu langsung kami rasakan saat membuka pintu rumah makan terlebih olehku yang basah kuyup hasil dari perjalanan dari kantor hingga sampai rumah makan ini tanpa mengenakan jas hujan.
Di depanku, Joko dan Doris sudah sibuk memilih makanan yang akan mereka santap. Saat sampai pada pilihan minuman, Doris menolehkan kepalanya ke arahku dan berkata dengan suara lirih, “Kau yang akan membayar, bukan? Hari ini aku tidak terlalu banyak membawa uang dan besok aku harus ke bengkel jadi aku harus berhemat. Tidak enak jika kita memaksa Joko untuk membayar dengan uang sendiri-sendiri. Jadi traktir kami hari ini. Aku tahu kau orang yang baik, kau mau, kan?”
Seperti sebelum-sebelumnya saat Doris memintaku mentraktirnya makanan, aku mengangguk. Di pikiranku kembali terputar ingatan akan kejadian yang terjadi kemarin saat aku dan Doris duduk di taman juga alasanku kehilangan hasrat untuk merokok. Saat itu sebelum Doris datang, aku membaca sepenggal kalimat pada secarik kertas yang disobek dari novel milik kakakku. Kalimat itu berbunyi, “Teman adalah salah satu dari banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli.”
Mengingat kalimat itu, aku tersenyum pahit. Kenyataannya selama ini, teman yang ada di sampingku adalah teman yang aku beli.
Sumber foto: Pinterest