web analytics
Menilik Makna Falsafah Negara dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila

Menilik Makna Falsafah Negara dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila

BPPM Mahkamah — Munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menimbulkan berbagai macam polemik di masyarakat. Timbul sejumlah kritik dari beberapa golongan yang memperdebatkan apakah isi RUU HIP ini telah sesuai dengan makna sesungguhnya falsafah negara. Dalam rangka menjawab pertanyaan besar tersebut, Social Movement Institute mengadakan diskusi via Google Meet pada Kamis (09/07) dengan tajuk “Simpang Siur Makna Falsafah Negara”. Pemantik dalam diskusi ini adalah Asfinawati yang merupakan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Azis Anwar Fachrudin sebagai perwakilan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM.

Diskusi ini dibuka dengan pernyatan Azis Anwar Fachrudin, “Upaya re-ideologi Pancasila semakin menguat semenjak era pasca Reformasi, bahkan Pancasila sering kali dijadikan justifikasi untuk meredam kekuatan oposisi”. Selanjutnya, Azis menjelaskan bahwa dalam sejarah perkembangnya, makna dari Pancasila senantiasa tidak luput dari kritik. Namun, semakin ke sini, kritik pada makna Pancasila justru dianggap sebagai bentuk makar terhadap negara. Aziz berpendapat bahwa Pancasila kerap kali dijadikan alat untuk mengalahkan oposisi. Menengok pada masa Orde Baru, Pancasila dipergunakan untuk membubarkan beberapa partai. Bahkan, pada tahun 2017 lalu, Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk membubarkan ormas.

Asfinawati berpandangan bahwa terdapat maksud tersembunyi dengan dibuatnya RUU HIP, yaitu adanya upaya pemerintah untuk membungkam kritik dari beberapa golongan dengan cara menyeragamkan ideologi masyarakat. Azis juga turut menyetujui pandangan tersebut dengan menambahkan banyaknya kesamaan poin-poin pada RUU HIP dengan kebijakan pada masa Orde Baru. Timbulnya kerancuan hierarki sumber hukum juga menjadi hal yang ditakutkan akibat adanya RUU HIP, di mana hal tersebut menyebabkan Pancasila sebagai sumber hukum teratas dan terlalu luas pengaruhnya.

Pada sesi diskusi ini, timbul pertanyaan menarik dari salah satu peserta. ”Mengapa Pancasila sebagai sumber hukum yang tertinggi sering kali dijadikan alat oleh pemerintah untuk mendukung perbuatan otoriternya, bukankah sebagai sumber hukum yang tertinggi Pancasila seharusnya berfungsi untuk mendamaikan?” Asfinawati menerangkan bahwa hal tersebut disebabkan sebuah ideologi yang berusaha ditunggalkan merupakan cerminan otoritarian itu sendiri. Oleh karena itu, ketika suatu negara telah memilih untuk memiliki ideologi, akan selalu terbuka peluang besar bahwa pemerintahannya menjadi otoritarian, tinggal pilihannya bagaimana cara melihat ideologi itu sendiri. Ketika ideologi dipakai terlalu dominan maka hal itulah yang kemudian menciptakan pemerintah otoritarian yang anti kritik. Azis turut memberikan pandangannya bahwa seringnya Pancasila dijadikan justifikasi oleh pemerintah karena pemerintah membutuhkan instrumen pembenaran yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga pada negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis yang acap kali juga menggunakan ideologi untuk menguatkan pihak pemerintah.

Diskusi ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila seharusnya tidak perlu untuk disahkan karena makna Pancasila telah diejawantahkan dalam konstitusi. Lebih lanjut, RUU ini juga menyebabkan semakin menyempitnya makna Pancasila yang akan dipergunakan pemerintah untuk mengembalikan rezim menjadi otoritarian. Selain itu, menilik urgensinya, masih banyak masalah negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pemantik diskusi berpendapat lebih baik urusan RUU Haluan Ideologi Pancasila dikesampingkan terlebih dahulu.

Penulis: Dicky Christian
Editor: Rieska Ayu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.