BPPM Mahkamah — Rabu siang (15/07), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Online Kotagede dengan tajuk “Kepentingan Ekonomi Politik di Balik Pembangunan Jalan Tol Indonesia”. Diskusi tersebut menitikberatkan pembahasan pada kepentingan ekonomi politik di balik pembangunan jalan tol di Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar proyek pembangunan jalan tol. Adapun kegiatan tersebut menghadirkan tiga orang narasumber dengan latar belakang yang berbeda, di antaranya Yusticia Eka Noor Ida (Wakil Ketua Bidang Penelitian Pengembangan dan Hubungan Kelembagaan Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta), Achmad Chairudin (Editor Eksekutif INSIST Press dan Penerjemah Buku Menaja Jalan), dan AB Widyanta (Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada).
Pembangunan Jalan Tol Sebagai Bagian Proyek Strategis Nasional
Diskusi dibuka dengan pengantar oleh moderator dari LBH Yogyakarta, Budi Hermawan yang menyatakan bahwa proyek pembangunan jalan tol termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional. Jalan tol menjadi salah satu fokus utama dalam pembangunan infrastruktur yang direncanakan pemerintah di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama periode pertama Jokowi bersama Jusuf Kalla, sepanjang 980 km ruas jalan tol telah berhasil dibangun. Pun juga pada jalan nasional sepanjang 3.793 km dan jalan perbatasan sepanjang 2.778 km.
Memasuki periode kedua kepemimpinannya, Jokowi didampingi Ma’ruf Amin terus melanjutkan pembangunan jalan tol. Salah satu pembangunan yang termasuk Proyek Strategis Nasional adalah pembangunan ruas jalan tol Solo-Yogyakarta, Yogyakarta-Bawen, serta Yogyakarta-Cilacap. Pembangunan ruas jalan tol Solo-Yogyakarta sendiri menghabiskan 16 triliun dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dari awal tahun hingga Juni 2020, pemerintah telah melakukan konsultasi publik yang menjadi dasar dalam penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) untuk wilayah Yogyakarta. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah, konsultasi publik masih terus dilakukan secara daring selama pandemi COVID-19.
Saling Singgung Pembangunan Jalan Tol dengan Isu Lingkungan Hidup
Sebagai presentator pembuka, Yusticia Eka Noor Ida mengawali dengan pernyataan bahwa Pulau Jawa merupakan pulau berjumlah penduduk terbanyak sekaligus terpadat di dunia, yaitu 160 juta penduduk dan luas 138.973,6 km persegi. Konsekuensinya terdapat peningkatan pergerakan manusia dan barang, sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang dapat menopangnya. Kemudian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, terdapat gagasan pembangunan jalan tol dengan target sepanjang 1.000 km.
Yusticia mengatakan bahwa pembangunan jalan tol sangat bersinggungan dengan isu lingkungan hidup. Pembangunan jalan tol harus memperhatikan lingkungan hidup sesuai amanat Pasal 14 UU No. 32 tahun 2009 yang mengatur mengenai instrumen pencegahan dan kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa daya dukung lingkungan hidup diperkirakan akan menurun seiring dengan alih guna lahan yang sebelumnya didominasi oleh sawah menjadi jalan tol. Proyek pembangunan ini banyak mengorbankan lahan produktif pertanian. Di Jawa saja, sekitar 1.000 hektar lahan pertanian diperkirakan hilang. Hal tersebut setara dengan 5.000 ton padi per tahun, sehingga membuat petani kehilangan pekerjaannya. Sektor pertanian merupakan penopang ekonomi negara sementara Pulau Jawa memasok 53% kebutuhan pangan nasional.
Selain itu, di sepanjang jalan Solo-Yogyakarta terdapat masyarakat yang bekerja menggantungkan hidup dengan berdagang, sehingga pembangunan jalan tol dapat menjadi distorsi sosial juga pelanggaran lingkungan bila pengawasan lemah dalam proses kajian dan konstruksi. Pembangunan jalan tol juga hendaknya tidak merusak banyak situs purbakala di sepanjang trase Klaten-Yogyakarta yang dilindungi UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Uraian Kepentingan Ekonomi Politik Pembangunan Jalan Tol dalam “Menaja Jalan”
Achmad Chairudin melanjutkan pembahasan dengan mengulik isi dari buku “Menaja Jalan” yang telah diterjemahkan dari versi aslinya karangan Prof. Jamie S. Davidson (Dosen Departemen Political Science, National University of Singapore). Chairudin mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia khususnya jalan tol berjalan dengan sangat masif terutama sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai Joko Widodo. Namun, kajian mengenai pembangunan jalan tol tersebut masih sangat sedikit. Buku ini membahas tentang studi kasus Tol Trans-Jawa yang memang sudah dicanangkan sebelum Orde Baru dan baru dimulai saat kepemimpinan Soeharto. Lebih lanjut, juga dipaparkan secara gamblang tentang kepentingan ekonomi politik yang bermain di belakang proyek pembangunan infrastruktur khususnya jalan tol.
Selain itu, “Menaja Jalan” turut menilai bahwa mekanisme-mekanisme informal sangat berpengaruh dalam pembangunan infrastruktur khususnya tentang pembebasan lahan. Mekanisme informal tersebut ditentukan berdasarkan 3 bagian. Pertama, hubungan pemerintah, bisnis, dan perburuan renten (bunga uang). Dalam poin pertama ini, banyak pengusaha yang terlibat dalam proyek pembangunan jalan tol dan meraup keuntungan dari hal tersebut. Terkait perburuan renten, buku ini menilai hal tersebut tidak selamanya negatif karena ketika renten atau konsesi jalan tol diberikan terhadap Badan Usaha Milik Negara seperti PT Jasamarga, hal itu akan berdampak positif terhadap pembangunan infrastruktur jalan tol. Kedua, pembuatan aturan main ekstra parlementer. Bagian ini menyoroti bagaimana peran Asosiasi Tol Indonesia (ATI) dalam mempengaruhi kebijakan tentang proyek pembangunan jalan tol. Ketiga, pembebasan lahan yang tentunya menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga akan selalu menjadi perdebatan panas dalam prosesnya.
Diungkapkan bahwa kekuasaan negara atas tanah itu problematis di Indonesia, sehingga berdampak pada pembebasan lahan yang menyangkut kepentingan umum. Pembebasan lahan ini sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya proses pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di era Soeharto, pembebasan lahan sangat efektif karena menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer. Sementara di era SBY, jalan kekerasan memang ada dalam pembebasan lahan namun tidak se-ekstrim masa Orde Baru. Dalam pembebasan lahan terlihat jelas mekanisme informal ini berlangsung. Di akhir pemaparannya, Chairudin mengatakan bahwa jalan tol lebih merupakan infrastruktur komersial ketimbang infrastruktur publik karena unsur bisnisnya yang lebih kental. Ketika pembangunan infrastruktur yang tujuannya mendongkrak pertumbuhan ekonomi itu gagal tercapai, maka sia-sia saja ribuan hektar lahan produktif pertanian yang dikorbankan baik dari aspek lingkungan hidup maupun penghidupan masyarakat petaninya.
AB Widyanta: Hadirnya Jalan Tol Ditujukan untuk Memproduksi Kepentingan Kapitalis
Terakhir, AB Widyanta melanjutkan diskusi dengan membuka penjelasan tentang pembangunan infrastruktur pasca reformasi yang tidak terlepas dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang diinisiasi di era SBY. MP3EI dijalankan dengan koridor-koridor ekonominya di sektor perkebunan, pertambangan, pariwisata, kelautan, dan sebagainya. Tentunya semua itu digunakan untuk jalur gerak logistik yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hadirnya jalan tol ditujukan untuk memproduksi kepentingan kapitalis dan keuntungannya hanya dinikmati oleh mereka yang berkepentingan dalam penyaluran logistik (material mentah menjadi suatu produk industri).
Ia menuturkan bahwa jalan tol juga lebih banyak digunakan masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Kalau memang jalan tol merupakan infrastruktur publik, seharusnya lebih disediakan fasilitas berupa mobilitas yang lebih masif dan bukan individual. Pembangunan jalan tol dilakukan dengan pendekatan-pendekatan sosial yang kurang mementingkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan jalan tol perlu ditinjau ulang kedepannya karena jalan tol cenderung merupakan fasilitas kaum oligarki dan globalis. Sedangkan kaum petani akan semakin kecil dalam mendapatkan sumber daya pertanian produktif yang menjadi penghidupannya.
Penulis: Wilman Yesaya
Editor: Athena Huberta